Senin, 16 September 2013 0 komentar

ASKEP RADANG SINUS (Sinusitus Infeksiosa)

RADANG SINUS

Sinusitus Infeksiosa
Pengertian
Adalah peradangan pada sinus aksesoris hidung/sinus paranasal.

Etiologi
1.    virus
Sinusitus virus terjadi biasanya terjadi selama infeksi saluranm napas atas. Virus yang lazim menyerang hidung dan nasopharing juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung dan penyakit virus yang menyerang hidung perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.
2.    Bakteri
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Organisme penyebab sinusitis mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang paling sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun adalah: S. Pneumoniae, H. Influenzae, bakteri anaerob, branhamella catarrhalis, streptokok alfa, Satpylococcus aureus, dan S. Pyogenes.
3.    Jamur
Sinusitus Akut
Sinusitis maksilaris
Sinusitus maksilaris akut biasanya mengikuti infeksi saluran napas atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing dan deviasi septum nasi merupakan factor-faktor predisposisi local yang paling sering ditemukan.
Gejala
Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Transluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.

Pemeriksaan Penunjang
1.    Radiology
Radiogram sinus harus dibuat dengan posisi tegak dan telentang. Gambaran radiology mula-mula berupa peneblan mukosa, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat atu akibat cairan yang memenuhi sinus, akhirnya akan terbentu air fluid level yang khas akibat akumulasi pus.
2.    USG
3.    Hitung darah lengkap
4.    Biakan Hidung
Terapi
1.    Farmakologik
a.    Antibiotik spectrum luas
Missal:  amoksisilin, ampisilin, eritromisin plus sulfonimid
Alternative lain: amoksisilin/klavulanat, sefalosklor, sefuroksim, dan trimetropin plus selfonamid.
b.    Dekongestan: pseudoefedrin
c.     Tetes hidung poten: fenilefrin/oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama kemudian harus dihentikan.
d.    Analgetik: aspirin atau asetaminofen
2.    kompres hangat pada wajah untuk meringankan gejala
3.    Pengangkatan benda asing
4.    koreksi bedah septum nasi yang berdeviasi

Sinusitus Ethmoidalis
Biasa terjadi pada anak-anak, seringkali bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Pada orang dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris, serta dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala
Gejala berupa nyeri dan nyeri tekan diantara kedua mata dan diatas jembatan hidung, drainase dan sumbatn hidung.
Terapi:
1.    Farmakologik
a.    Antibiotik sistemik
b.    Dekongestan hidung
c.    Obat semprot atau tetes vasokonstriktor topical.
  1. etmoidektomi: jika terjadi ancaman terjadinya komplikasi atau perbaikan yang tidak memadai

Sinusitus Frontalis
Selain ditemukan gejala infeksi yang khas juga terdapat nyeri kepala yang khas. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasa pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan m,ereda himgga menjelang malam. Pasien biasanya mengatakan dahi tersa nyeri bila disentuh, dan mungkin terdapat pembengkakan superorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau perkusi di atas daerah sinus yang terinfeksi. Transluminasi dapat terganggu. Radiogram memperlihatkan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus yang menyeluruh, atau suatu air fluid level.
Terapi
  1. Farmakologik: antibiotic, dekongestan, tetes hidung vasokonstriktor
  2. Drainase denag teknik trepanasi bila terjadi kegagalan penyembuhan segera atau timbul komplikasi.

Sinusitis Sfenoidalis
Sangat jarang terjadi. Ciri: nyeri kepala mengarah pada verteks kranium. Gejala menjadi satu dengan gejal infeksi sinus lain.

Sinusitis kronik
Adalah sinusitis yang berlangsung selama beberapa bulan atau tahun. Gambaran patologi sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversible. Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau pseudotolip. Epitel permukaan tampak mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia, ayau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histology yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh, terjadi infiltrate sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa.

Etiologi:
Sinusitis akut yang berulang dengan penyembuhan yang tidak lengkap.
Patofisiologi
Perubahan struktur ostium sinus, lesi                                       poliposis nasal
dlm rongga hidung, septum nasi                                              (rhinitis alergika)
 


Kegagalan drainase dan ventilase sinus
Kegagalan mengobati sinusitis akut berulang
regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap
Kegagalan mengeluarkan secret hidung
Predisposisi infeksi

polusi
zat kimia


Gejala
Selama aksaserbasi akut mirip dengan gejala sinusitis akut, namun diluar masa itu gejala yang timbul berupa:
1. Perasaan penuh pada wajah dan hidung
2. hipersekresi yang seringkali purulen
3. Kadang nyeri kepala
4. Hidung sedikit tersumbat
5. Terdapat gejal-gejala factor predisposisi: rhinitis alergika yang menetap
6. batuk kronik dengan laryngitis atau faringitis
Terapi
1. Terapi infeksi dan factor penyebab infeksi secara berbarengan
2. Intervensi bedah

Komplikasi sinusitis
1. Komplikasi orbita
2.mukokel: Kista yang mengandung mucus yang timbul dalam sinus
3.Komplikasi intracranial: meningitis akut, abses dura, abses otak
4.osteomilitis dan abses subperiosteal
5. penyakit sinus lain

Sinusitis non infeksiosa
Barosinusitis
Disebabkan gangguan ostium sehingga ostium tidak mamppu menjaga keseimbangan tekanan dalam sinus. Pengobatan antara lain dengan: dekongestan sistemik dan topical, antibiotic, menghindar perubahan tekanan hingga pulihnya fungsi ostium sinus.
Sinusitis Alergika
Polip dalam hidung biasanya berasal dari sinus dan dapat memenuhi sinus tersebut. Perubahan polipoid mengubah mekanisme homeostatic normal dalam sinus dan merupakan predisposisi sinusitis akut dan kronik.
Terapi polipoid:
1. farmakologik
     a. Steroid (topical dan sistemik)
     b. Dekongestan
     c. Antihistamin
2. Reseksi: jika menyumbat jalan napas atau ostia sinus
3. Pembedahan  sinus tambahan dengan teknik fenestra naso antrum atau sinus frontalis jika polipoid meluas dan berulang. Jika polipoid menyerang konka dilakukan turbinektomi parsial, bedah beku atau diatermi untuk mengecilkan konka.


No
Diagnosa
Tujuan/Kh
Intervensi
Rasional
1.
Nyeri akut b.d agen injury
Klien dapat mengontrol nyeri
KH:
-Klien mengatakan nyeri yang dirasakan berkurang
-Klien dapat mendeskripsikan bagaimana mengontrol nyeri
-Klien mengatakan kebutuhan istirahat dapat terpenuhi
-Klien dapat menerapkan metode non farmakologik untuk mengontrol nyeri
1. Identifikasi nyeri yang dirasakan klien (P, Q, R, S, T)

1.     Pantau tanda-tanda vital.
2.     Berikan tindakan kenyamanan.
Ajarkan teknik non farmakologik (relaksasi, fantasi, dll) untuk menurunkan nyeri.


4. Berikan analgetik sesuai indikasi
Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.


Memberikan dukungan menurunkan ketegangan otot, meningkatkan relaksasi, menfokuskan ulang perhatian, meningkatkan rasa control diri dan kemampuan kopimg.
Titik managemen intervensi
2.
Resiko infeksi b.d prosedur invasif
Pasien tidak mengalami infeksi
KH:
Klien bebas dari tanda-tanda infeksi
-Klien mampu menjelaskan tanda&gejala infeksi
1.     Mengobservasi&melaporkan tanda&gejal infeksi, spt kemerahan, hangat, rabas dan peningkatan suhu badan
2.     mengkaji suhu klien netropeni setiap 4 jam, melaporkan jika temperature lebih dari 380C





3.     Menggunakan thermometer elektronik atau merkuri untuk mengkaji suhu


4.     Catat7laporkan nilai laboratorium




5.     kaji warna kulit, kelembaban kulit, tekstur dan turgor lakukan dokumentasi yang tepat pada setiap perubahan

6.     Dukung untuk konsumsi diet seimbang, penekanan pada protein untuk pembentukan system imun
Onset infeksi dengan system imun diaktivasi&tanda infeksi muncul

Klien dengan netropeni tidak memproduksi cukup respon inflamasi karena itu panas biasanya tanda&sering merupakan satu-satunya tanda
Nilai suhu memiliki konsekuensi yang penting terhadap pengobatan yang tepat
Nilai lab berkorelasi dgn riwayat klien&pemeriksaan fisik utk memberikan pandangan menyeluruh
Dapat mencegah kerusakan kulit, kulit yang utuh merupakan pertahanan pertama terhadap mikroorganisme
Fungsi imun dipengaruhi oleh intake protein
3.
Kurang pengetahuan b.d kurang mengakses informasi kesehatan
Pengetahuan klien meningkat
KH:
-Klien & keluarga memahami tentang penyakit Stroke, perawatan dan pengobatan
1. Mengkaji kesiapan&kemampuan klien untuk belajar



2. Mengkaji pengetahuan&ketrampilan klien sebelumnya tentang penyakit&pengaruhnya terhadap keinginan belajar

3. Berikan materi yang paling penting pada klien




4. Mengidentifikasi sumber dukungan utama&perhatikan kemampuan klien untuk belajar & mendukung perubahan perilaku yang diperlukan
5. Mengkaji keinginan keluarga untuk mendukung perubahan perilaku klien
6. Evaluasi hasi pembelajarn klie lewat demonstrasi&menyebautkan kembali materi yang diajarkan
Proses belajar tergantung pada situasi tertentu, interaksi social, nilai budaya dan lingkungan
Informasi baru diserap meallui asumsi dan fakta sebelumnya dan bias mempengaruhi proses transformasi
Informasi akan lebih mengena apabila dijelaskan dari konsep yang sederhana ke yang komplek
Dukungan keluarga diperlukan untuk mendukung perubahan perilaku





Sabtu, 14 September 2013 0 komentar

ASKEP Diabetes mellitus (DM)

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit kadar glukosa di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup. Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas yang bertanggung jawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang normal insulin memasukan gula ke dalam sel sehingga bisa menghabiskan energi atau disimpan sebagai cadangan energi (Soegondo S,2005).
Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes mellitus yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula. Hal ini mungkin disebabkan minimnya informasi di masyarakat tentang diabetes terutama tentang gejala-gejalanya. Sebagian besar kasus diabetes adalah diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh faktor keturunan. Diabetes tipe 2 ini sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas akibat gaya hidup yang dijalaninya (Soegondo S, 2005).
Hal itu dibuktikan dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang menderita penyakit diabetes mellitus tipe 2 (tidak tergantung insulin) hingga mencapai kurang lebih 90% hingga 95% pasien (Smeltzer dan Bare, 2001). Peneliti Departemen Kesehatan menyatakan bahwa di Indonesia menempati urutan ke empat di dunia setelah India, China, Amerika Serikat dan Indonesia (Harjosubroto, 2007). Jumlah penderita diabetes mellitus terus meningkat secara seknifikan, karena dipicu oleh faktor-faktor seperti gaya hidup dan kurang gizi.







B.     Tujuan penulisan
1.      Tujuan umum.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mempelajari asuhan keperawatan Diabetes Mellitus tipe 2.


2.      Tujuan khusus
Setelah mempelajari teori dan konsep Asuhan keperawatan Diabetes Mellitus tipe 2,mahasiswa mampu mengaplikasikanya di dalam kasus pemicu tentang:
a.       Perlengkapan data pada pengkajian.
b.      Penyusunan diagnosa keperawatan keluarga dengan penyakit anak usia sekolah
c.       Penentuan prioritas diagnosa keperawatan
d.      Penyusunan rencana,intervensi keperawatan

C.    Metode Penulisan










BAB  II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Pengertian
Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan kategori yang ditandai oleh kenaikan keadaan glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
Diabetes Melitus adalah suatu  kelainan metabolisme kronis yang terjadi karena berbagai penyebab, ditandai oleh konsentrasi glukosa darah melebihi normal, disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang diakibatkan oleh kelainan sekresi hormon insulin, kelainan kerja insulin atau kedua-duanya (Depkes RI, 2005).
Diabetes Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin yang absolut atau relatif gangguan fungsi insulin (WHO, 2005).

B.     Etiologi
Mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada Diabetes Melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes Melitus tipe II.

Faktor-faktor lain adalah:
a.       Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas      65 tahun).
b.      Obesitas.
c.       Riwayat keluarga.
d.      Ras  (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).

C.    Patofisiologi
                                                Proses penyakit Pada Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel yang mengakibatkan tidak efektifnya insulin untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
                        Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresi. Namun pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini  akibat sekresi insulin berlebihan, dan kadar glukosa akan di pertahankan  dalam tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian bila sel-sel beta tidak mampu megimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan mengakibatkan Diabetes Melitus tipe II (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
D.    Manefestasi Klinik
            Manifestasi klinis dari Diabetes Melitus tipe II, sepereti lambat (tahunan) intoleransi glukosa progresif, poliuria (akibat dari diuresis osmotik bila diambang ginjal terhadap reabsorpsi glukosa dicapai dan kelebihan glukosa keluar melalui ginjal), polidipsia (disebabkan oleh dehidrasi sel akibat lanjut dari poliuria), keletihan, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vagina, keputihan akibat kelainan ginekologis (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
E.     Komplikasi
a.   Komplikasi Akut
1)                    Ketoasidosis Diabetik, adalah gangguan metabolik yang terjadi akibat defisiensi insulin di karakteristikan dengan hiperglikemia eksterm (lebih 300 mg/ dl). Pasien sakit berat dan memerlukan intervensi untuk mengurangi kadar glukosa darah dan memperbaiki asidosis berat, elektrolit, ketidakseimbangan cairan. Adapun faktor pencetus Ketoasidosis Diabetik: obat-obatan, steroid, diuretik, alkohol, gagal diet, kurang cairan, kegagalan pemasukan insulin, stress, emosional, dan riwayat penyakit ginjal.
2)                  Hipoglikemia merupakan komplikasi insulin dengan menerima jumlah insulin yang lebih banyak daripada yang di butuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma).
b.         Komplikasi jangka panjang
1)                  Mikroangiopati Diabetik merupakan lesi spesifik Diabetes Melitus yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot dan kulit.

2)                  Makroangiopati Diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan karena insufisiensi insulin yang menjadi penyebab jenis penyakit vaskuler. Gangguan–gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, hiperproteinemia dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika yang terkena adalah arteri koronaria  dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price, S. A. & Wilson L.M, 2006).

F.     Penatalaksanaan Medis
      Kerangka utama penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu perencanaan makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik, dan penyuluhan.
1.         Perencanaan makan (meal planning)
            Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), telah  ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60-70%), protein (10-15%). Lemak (20-25%). Apabila diperlukan santapan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik, terutama untuk golongan ekonomi rendah. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/ hari. Jumlah kandungan serat  ± 25 g/ hari, diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasai bila terdapat hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya.

2.         Latihan jasmani
            Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIEPE ( continous, rhytmical, interval, progressive, endurance training).  Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, renang, bersepeda, dan mendayung.
3.         Obat berkhasiat hipoglikemik
      a.         Sulfonilurea
            Obat ini bekerja dengan cara menstimulsai pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin sebagai aklibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
b.      Biguanid
            Obat ini menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk (indeks masa tubuh/ IMT > 30) sebagai obat tunggal.

c.       Inhibitor α glukosidase
            Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase didalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.

G.    Patoflow



























H.    Askep Teori Diabetes Mellitus tipe 2
      Diabetes Mellitus adalah masalah yang mengancam hidup yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.

DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
             a.       Aktifitas dan istirahat
Gejala: letih, lemah sulit berjalan / bergerak, tonus otot menurun, kram  otot, gangguan istirahat/ tidur.
Tanda: Takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktifitas, letargi/ disorientasi, koma dan penurunan kekuatan otot.

             b.      Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, infark miokard akut, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama.
Tanda: takikardi, perubahan tekanan darah postural: hipertensi, nadi menurun/ tidak ada, disritmia, kulit panas, kering dan kemerahan: bola mata cekung.

             c.       Integritas Ego
            Gejala: stress, tergantung pada orang lain.
            Tanda: Ansietas.

             d.      Eliminasi
Gejala: Perubahan pola kemih, poliuria, nokturia, rasa nyeri atau terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru tau berulang, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda: urin encer, pucat, kuning: poliuri(dapat berkembang menjadi oliguria/ anuria jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun: hiperaktif (diare).

             e.       Makanan/ Cairan
Gejala: Hilang nafsu makan, mual, muntah, tidak mengikuti diet; peningkatan masukan glukosa/ karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/ minggu, haus, penggunaan diuretik (tiazid).
Tanda: kulit kering/ bersisik, turgor jelek, kekakuan/ distensi abdomen, muntah, hipertiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halitosis/ manis, bau buah (nafas aseton).

             f.       Neurosensori
Gejala: Pusing/ pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi: mengantuk, letargi, stupor/ koma, gangguan memori (baru, masa lalu),kacau mental, refleks tendon dalam menurun, aktivitas kejang.

             g.      Nyeri/ Kenyamanan
            Gejala: Abdomen yang tegang/ nyeri (sedang/ berat).
            Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.

             h.      Pernafasan
Gejala: Kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/ tidak).
            Tanda: batuk, dengan/ sputum purulen (infeksi), frekuensi pernapasan.
             i.     Keamanan
Gejala: Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Tanda: Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi/ ulserasi, menurun kekuatan umum/ rentang gerak, parastesia/ paralisis otot termasuk otot pernafasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam).

      j.        Seksualitas
Gejala: raba vagina (cenderung infeksi), masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.

      k.      Penyuluhan
Gejala: Faktor resiko keluarga: DM, stroke, hipertensi, penyembuhan yang lambat, penggunaan obat seperti steroid, diuretik (tiazid): dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah), menggunakan obat diabetik.
Tanda: Memerlukan bantuan dan pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan glukosa darah.



      l.        Test Diagnostik
Beberapa tes yang di lakukan yaitru glokosa darah: meningkat 100-200 mg/dl atau lebih, aseton plasma (keton): positif secara mencolok, asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat, urin: gula dan aseton positif: berat jenis dan osmolaritas mungkin meningkat, Tes Toleransi Glukosa (TTG) memanjang (≥ 200mg/dl) untuk pasien yang kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress, hemoglobin glikosilat diatas rentang normal untuk mengukur presentase, glukosa yang melekat pada hemoglobin rentang normal 5-6% (Doenges, M. E, et al, 2000).

Diagnosa keperawatan pada pasien DM 2 meliputi:
a.         Kekurangan  volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan: Volume cairan terpenuhi.
Kriteria hasil: Mempertahankan volume cairan yang adekuat dan keseimbangan elektrolit, turgor kulit normal, hidrasi adekuat, TTV stabil, pengisian kapiler baik.
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Pantau TTV.
R/: hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat ringannya hipovolemia ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebih dari 10 mmHg dari posisi berbaring keposisi duduk/ berdiri.

2)        Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
R/: merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.

3)                    Ukur masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urin.
R/: memberikan perkiraan kebutuhan akan cairab pengganti, fungsi  ginjal, dan keeektifan dari terapi yang diberikan.
Kolaborasi:
4)                  Berikan terapi cairan dan elektrolit sesuai indikasi.
R/: tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajad kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.

b.        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d defisiensi insulin.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil: BB ideal.
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Timbang berat badan.
R/: mengkaji pemasukan makanan yang adekuta (absorpsi dan utilisasinya).
2)                  Tentukan program diet dan pola makan klien.
R/: mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
3)                  Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, kembung, mual, muntahan makanan yang belum dicerna.
R/: hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung (distensi/ ileus paralitik).
4)                  Berikan makanan yang mengandung nutrient dan elektrolit.
R/: pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gasrtointestinal baik.
5)                  Identifikasi makanan yang di sukai/ tidak di sukai.
R/: jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makanan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
6)                  Observasi tanda-tanda hiperglikemia, seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/ dingin, denyut nadi cepat, peka rangsangan, cemas, sakit kepala.
R/: metabolisme karbihidrat mulai terjadi (gula darah akan berkurang, dan sementara tetap diberikan insulin  maka hipoglikemia dapat terjadi).
Kolaborasi:
7)                  Kolaborasi dalam pemeriksaan gula darah.
Rasionalisasi: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin terkontriol.


8)                  Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan diet.
R/: sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuain diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
           
c.                   Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa.
Tujuan: tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, tanda-tanda infeksi tidak ada, nilai leukosit dalam batas normal (4000-10000/ mm3).
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Observasi tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, calor, tumor, fungsiolaesa).
R/: pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nasokomial.
2)                  Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invasif.
R/: kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
Kolaborasi:
3)                  Observasi hasil laboratorium (leukosit).
R/:  gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian caairan dan terapi insulin terkontrol.


4)                    Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/: penanganan awal dapat membantu mencegah terjadinnya sepsis.

d.                  Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit.
Tujuan: tidak terjadi perubahan sensori perseptual.
Kriteria hasil: mempertahankan tingkat mental biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakkan sensori.
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Pantau dan tanda-tanda vital dan status mental.
R/: sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
2)                  Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai kebutuhannya.
R/: menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
3)                    Bantu pasien ambulasi dalam perubahan  posisi.
R/: meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa keseimbangan dipengaruhi.


e.                   Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, perubahan kimia darah: insufisensi insulin.
Tujuan: tidak terjadi kelelahan akibat penurunan metabolik.
Kriteria hasil: Keluhan lelah tidak ada, dapat melakukan aktivitas secara mandiri.
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Observasi TTV.
R/: mengidentifikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
2)                  Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
R/: meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai     tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi klien.
3)                  Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktivitas.
R/: pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan meskipun tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
4)                  Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.
R/: mencegah kelelahan yang berlebihan.

f.                   Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/ progressif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan: tidak terjadi ketidakberdayaan.
Kriteria hasil:  mengakui perasaan putus asa, mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaaan, membantu dalam merencanakan perawatan sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Anjurkan pasien/ keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan dirumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
R/: mengidentifikasi area perhatiannya dan mudahkan cara pemecahan masalah.
2)                  Berikan kesempatan pada kelurga untuk mengekspresikan perhatiannya.
R/: meningkatkan perasaan terlibat dan memberikan kesempatan keluarga untuk memecahkan masalah.
3)                  Anjurkan pasien untuk membuat keputusan sehubungan dengan perawatannya.
R/: mengkomunikasikan  pada pasien bahwa beberapa pengendalian dapat dilatih pada saat perawatan dilakukan.
4)                  Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usahat yang dilakukan.
R/: meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.

g.                  Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis, dan kenutuhan pengobatan b/d kurang pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan: Klien mengerti tentang penyakit yang dideritanya.
Kriteria hasil: klien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, klien melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan.
Intervensi:
Mandiri:
1)                  Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian, dan selalu ada untuk pasien.
R/: menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum  pasien bersidia mengambil bagian dalam proses belajar.
2)                  Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.
R/: partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusia dan kerja sama pasien dengan prinsip-prinsip yang depalajari.
3)                  Pilih strategi belajar.
R/: penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi meningkatkan penyerapan pada individu yang belajar (Doengos, M. E, et. Al, 2000).

 
;