Jumat, 30 Agustus 2013

PERTIMBANGAN ETIK dan HUKUM dalam KEPERAWATAN MATERNITAS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Asuhan keperawatan maternitas dan perinatal sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan etik dan hukum  kepada perawat dibandingkan area asuhan keperawatan lain. Perawat maternitas dan perinatal memerikan pelayanan dan keperawatan yang luas untuk klien diberbagai lingkungan praktik yang berbeda. Perawat ini dihadapkan dengan isu seputar kelahiran, kehidupan, kematian dan kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari- hari. Hal yang penting dalam isu ini adalah keterlibatan dua klien, ibu dan janin atau bayi baru lahir.
Bab ini membicarakan tentang pertimbangan etik dan hukum dalam asuhan keperawatan maternitas dan perinatal. Sebagai dasar diskusi ini, tinjauan etik, hukum, akuntanbilitas keperawatan dijelaskan. Dijelaskan juga, informasi spesifik seputar isu etik dan hukum sebelum konsepsi, aborsi dan keperawatan janin, neonatus yang sakit dan ibu.
Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik.
Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien.Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan.
Secara umum terdapat dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas.Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang etik dan hukum dalam keperawatan.

1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pertimbangan etik dan hukum dalam keperawatan khususnya keperawatan maternitas.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
ü  Definisi etik,
ü  Definisi hukum,
ü  Hubungan antara etik dan hukum,
ü  Aspek hukum pada perawatan maternitas dan perinatal,
ü  Pertimbangan etik dan hokum sebelum konsepsi,
ü  Pertimbangan etik dan hokum dalam aborsi,
ü  Pertimbangan etik dan hokum untuk janin, neonatus dan ibu yang sakit.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERTIMBANGAN ETIK DAN HUKUM
2.1 Tinjauan Etik dan Hukum
2.1.1 Etik
Etik merupakan prinsip prilaku yang mengarahkan hubungan seseorang dengan orang lain. Etik merupakan  keyakinan dasar tentang nilai- nilai yang benar dan salah menyediakan sebuah kerangka untuk pengambilan keputusan dan tindakan. Misalnya, etik menyediakan dasar untuk memutuskan apakah seseorang harus pergi keja atau tidak dipagi hari. Tidak ada aturan dalam situasi seperti itu sehingga keputusan pribadi harus seperti itu sehingga keputusan pribadi harus dibuat untuk melakukan apa yang benar.
Seseorang dapat berpura- pura sakit dan tinggal dirumah; namun, rekan sejawat, para sahabat, akan sepakat bahwa pura- pura sakit adalah tingkah laku yang tidak pantas. Terlebih lagi, seseorang atasan memiliki hak untuk mencatat bawahannya jika hal seperti itu terjadi berulang- ulang. Kadang- kala muncul situasi yang mengharuskan pengambilan keputusan, tetapi tidak ada satupun solusi yang tampaknya benar- benar memuaskan. Sebuah dilema etik muncul. Muncul lebih dari satu solusi; mungkin solusi tersebut saling bertentangan. Satu atau seluruh solusi yang mungkin tidak disukai. Keputusan etik memiliki konsekuensi terhadap diri seseorang dan orang lain (Ellis et al., 1995).
Ahli filosofi moral telah mengidentifikasi tiga perinsip etik yang mendasari penilaian moral dan pengambilan keputusan etik. Ketiga prinsip ini adalah beneficience, menghargai otonom, dan keadilan (Good Et all., 1993; kontak 5-1). Perawat perlu memprhatikan ketiga perinsip tersebut saat mengambil keputusan etik mengenai ksejahteraan kliennya.
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sedangkan menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”
A.    Fungsi Etika
1)      Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
2)      Etika ingin menampilkanketrampilan intelektual yaituketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
3)      Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikapyang wajar dalam suasana pluralism
B.     Macam-Macam Etika
1)      ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika Deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2)      ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang mengajarkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Etika Normatif juga memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan dilakukan.
Secara umum etika dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Etika Umum, mengajarkan tentang kondisi-kondisi & dasar-dasar bagaimana seharusnya manusia bertindak secara etis, bagaimana pula manusia bersikap etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat pula dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori etika.
2)      Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam kehidupannya dan kegiatan profesi khusus yang dilandasi dengan etika moral. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud  Bagaimana manusia bersikap atau melakukan tindakan dalam kehidupan terhadap sesama.  Etika Khusus dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
A.    Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
B.     Etika sosial, yaitu mengenai sikap dan kewajiban, serta pola perilaku manusia sebagai anggota bermasyarakat. Etika sosial meliputi banyak bidang, antara lain :
ü  Sikap terhadap sesama
ü  Etika keluarga
ü  Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis,dokumentalis, pialang informasi.
ü  Etika politik
ü  Etika lingkungan
ü  Etika idiologi adalah filsafat atau pemikiran kritisrasional tentang ajaran moral sedangka moral adalahajaran baik buruk yang diterima umum mengenaiperbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkandengan moral serta harus dipahami perbedaan antaraetika dengan moralitas.

2.1.2 Hukum
Hukum adalah peraturan perilaku atau tindakan yang dikenal mengikat atau ditegakkan oleh pihak berwenang, seperti pemerintah lokal, negara bagian, atau nasional. Hukum dirancang untuk mencegah tindakan satu pihak yang mengganggu pihak- pihak lain. Seluruh hukum pada dasarnya berasal dari hukum dasar, kecendrungan pembawaan lahir manusia untuk melakukan hal yang baik dan menghindari hal yang buruk. Pemerintah Federal Amerika Serikat dan ngara- negara bagiannya memegang konstitusi untuk membuat dan menegakkan hukum. Sistem hukum menyusun pedoman, bukan menetapkan peraturan yang kaku untuk praktik. Semua huum, tidak peduli asal usulnya, adalah subyek terhadap perubahan dan interprestasi. Ellis et al. (1995) menyatakan bahwa etik dan hukum dapat berjalan berdampingan dan saling mendukung. Jika, seseorang individu memilih untuk mencuri uang dari majikannya, prilaku tersebut bukan saja tidak etis, tetapi juga melanggar hukum. Banyak hukum ditulisuntuk menyediakan sebuah dasar untuk menegakan prinsip etik yang dianggap perlu untuk kesejahteraan sebagaian besar masyarakat.
A.    Bentuk-Bentuk Hukum
1)      Hukum Publik
Hukum publik mengatur hubungan antara warga negara dengan negara yang menyangkut kepentingan umum tertentu yang mempelajari bentuk negara, bentuk pemerintahan, hak-hak asasi warga negara, dan sebagainya.Yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat mendasar (fundamental) dari nagara.
ü  Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah serangkaian peraturan hukum yang mengatur bentuk negara, susunan dan tugas-tugas serta hubungan antara alat-alat perlengkapan negara. Hukum Tata Negara hanya khusus menyoroti negara menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat teknis yang dibuat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Hukum Tata Negara.
ü  Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan perbuatan mana diancam dengan sangsi pidana tertentu.Bentuk atau jenis pelanggaran dan kejahatan dimuat didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ü  Hukum Acara/hukum formal
Hukum acara/hukum formal merupakan seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk menyelesaikan, melaksanakan, atau mempertahankan Hukum Material. Hukum Acara dibedakan antara Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Dalam Hukum Acara Pidana, diatur tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan penuntutan. Dalam Hukum Acara juga diatur siapa-siapa yang berhak melakukan penyitaan, penyidikan, pengadilan mana yang berwenang mengadili dan sebagainya.Semua itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP),yaitu UU No.8 Tahun 1981.
ü  Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara merupakan seperangkat peraturan yang mengatur cara berkerja alat-alat perlengkapan negara, termasuk cara melakukan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh setiap organ negara dalam melakukan tugasnya. Hukum Administrasi Negara
2)         Hukum Perdata (privat)
Perdata sama artinya dengan warga negara,pribadi,sipil,atau privat.Sumber pokok hukum perdata adalah Burgerlijk wetboek (BW) yang dalam arti luas juga mencakup Hukum Dagang dan Hukum Adat. Jadi Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan orang perorangan

2.1.3 Hubungan Antar Etik dan Hukum
Etik mungkin membahas tentang pertanyan yang berbeda dari hukum. Sebagai contoh datang ketempat kerja sesuai dengan yang diharapkan tidak diperintah oleh hukum walaupun kebanyakan orang memiliki pandangan yang sama pada situasi seperti ini. Meskipun demikian, kadang- kadang individu menemukan bahwa hukum dan keyakinan etik mereka berbeda. Contohnya adalah seseorang tentara yang dituntut membunuh musuhnya dalam peperangan. Seluruh negara menganggap hal tersebut sah secara hukum, tetapi sebagian orang memiliki syarat etik dan menetapkan keberatan yang besar jika diberikan kesediaannya dalam berperang. Individu semacam ini sering sering diberi tugas untuk tidak berperang walaupun mereka berada dizona perang. Contoh dalam keperawatan adalah seorang perawat yang menolak membantu aborsi karena merasa tidak etis mengambil nyawa janin. Perawat semacam ini mungkin diberi tugas lain yang tidak memiliki pertentangan antara etika pribadi dengan kegiatan dan hukum yang berlaku.
Para penulis dibidang etik menyimpulkan bahwa tidak semua pilihan atau masalah bersifat etis (Ellis et al., 1995, Busy et al., 1989). Mereka menguraikan beberapa karakteristik yang membuat masalah etik menjadi unik :
v  Masalah tidak dapat seluruhnya dipecahkan dari data empiris; misalnya haruskah orang yang sehat dipaksa untuk mendonorkan organ tubuhnya keseseorang yang akan mati jika tidak mendapat donor organ tersebut ? jelas, ilmu pengetahuan apapun tidak akan dapat menjawab pertanyaan ini dengan pasti. Beragam ilmu pengetahuan dan rasa kemanuasiaan dapat memberikan informasi, tetapi jawabannya berada diluar disiplin ilmu.
v  Masalah bersifat membingungkan. Terdapat konfik dan ketidakpastian tentang jumlah dan jenis informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Jika bayi yang baru lahir memiliki anomali kongenital mulipel yang dapat diperbaiki, tetapi memiliki penyimpangan kromosom yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada usia dini, haruskah dilakukan upaya yang agresif untuk membutnya tetap hidup selama mungkin walaupun upaya tersebut dapat menyebabkan sakit dan penderitaan bagi orang tua dan bayi tersebut ?
v  Jawaban atas maslah etik akan sangat besar hubungannya dengan bberapa bidang yang menjadi perhatian manusi. Keputusan tersebut akan sangat luas pengaruhnya pada persepsi seseorang terhadap orang lain, hubungan sesama manusia, hubungan mereka dengan masyarakat, dan hubungan berbagai masyarakat dan dunia luas. Jika misalnya, dibuat keputusan untuk memaksa seseorang mendonorkan bagian salah satu anggota tubuhnya ke seseorang anggota keluarga, keputusan tersebut berdasarkan pada beberapa premis dan asumsi (yang mungkin tidak dimiliki oleh seluruh masyarakat):  Hak seseorang akan integritas tubuhnya mungkin dilanggar jika orang lain hendak mengambil hak orang lain hendak, mengambil keuntungan darinya , hak manusia untuk hidup mencakup hak untuk mengharuskan orang lain untuk menjalankan operasi yang menyakitkan dengan hasil kehilangan bagian tubuh secara permanen dan kerusakan integritas tubuh secara umum, dan profesional kesehatan dan orang lain yang berwenang dapat mendesak atau memaksa seseoranguntuk mengorbankan integritas tubuhnya demi kesejahteraan orang lain. Pilihan ini melibatkan konsep hak asasi manusia, batasan- batas kebajikan, dan kekuasaan dari pihak yang berwenang. Walaupun contoh tersebut dramatis, isu lain, hak wanita untuk mengkonsumsi obat- obatan dan alkohol pada masa kehamilan atau berapa lama untuk memperpanjang hidup bayi baru lahir yang mengalami gangguan yang tidak dapat disembuhkan, adalah kurang jelas. Perawat harus menggunakan karakteristik tersebut saat menentukan apakah keputusan melibatkan suatu masalah etik atau tidak.

2.2 Aspek Hukum pada Perawatan Maternitas dan Perinatal
Bidang maternitas dan perinatal terutama memiliki resiko tinggi untuk terjadinya malpraktik dan kelalaian profesional karena beberapa alasan. Beberapa rumah sakit menghadapi krisis keuangan sehingga mereka menerapkan pola staf yang tidak memadai, yang asangat berbahaya bagi klien dan perawat. Selain itu, kemajuan teknologi untuk memantau ibu dan janin pada masa prakonsepsi, konsep dan pasca konsepsi dan banyaknya pelaksaan teknik dan prosedur yang menyebabkan resiko yang menghasilkan pengaruh iatrogenik yang dapat merusak ibu, janin atau kedua- duanya, yang kadang- kadang ireversibel. Mungkin yang paling penting, kemungkinan adanya du dua pegklaim di setiap kesukan yang terjadi di kedua ibu dan bayi sehingga menggandakan resiko yng dimiliki perawat dan tenaga kesehatan lain (Ellis et al., 1995; Lederman et al., 1991).


2.2.1 Prakti Keperawatan dan Akuntabilitas
Saat ini, praktik keperawatan diatur oleh setiap negara dalam bentuk undang- undang prakti keperawatan. Undang- undang praktik keperawatan menetapkan ruang lingkup praktik, yang menyatakan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan oleh perawat dengan menetapkan syarat tertentu untuk pendidikan, lisensi, dan standar keperawatan karena syarat tersebut berada di setiap negara tanggung jawab perawat adalah mengenal undang- undang praktik keperawatan diwilayah tempat praktinya.
Standar perawatan menggambarkan tingkat perawat yang dapat diharapkan pada praktisi. Standar tersebut berasal dari definisi dari praktik keperawatan yang ditetapkan oleh undang- undangprakti keperawatan. Standar keperawatan ditentrukan oleh rumah sakit atau instansi lain yang memperkerjakan perawat dan oleh organisasi profesional, seperti association of  Womens , Obsetric and Neonatal Nurses (Asosiasi Kesehatan Wanita, Perawat Obstetrik Dan Perawat Neonatus), yang dulu dikenal sebagai Nurses Associationof the American of Obstetricians and Gyinecologysts. Perawat sangat memegang teguh terhadap standar tersebut. Penting bagi perawat untuk mengetahui dan mengimplementasikan standar keperawatan yang berlaku dimasyarakat karena kegagalan melakukan akan menghasilkan pelanggaran tugas atau kelalaian (Ellis et al., 1995). Fakta tertentu perlu ditegakkan bahwa seseorang –perawat perlu ditegakkan bahwa seorang perawat telah gagal memenuhi standar keperawatan.
Dalam praktik kperawatan saat ini, perawat bertanggung jawab atas prawatan klien mereka tidak hanya secara moral dan etik, tetapi juga secara hukum. Dimasa lalu, sebelum perawat kesehatan menjadi sangat kompleks dan perawat mengembangkan peran mereka, institusi dan para dokter dianggap paling bertanggung jawab. Akan tetapi dengan meningkatnya pendirian dalam keperawatan, perawat bertanggung jawab terhadap klien untuk mendapatkan asuhan keperawtan dan dalam tingkat tertentu bertanggung jawab terhadap kesejahteraan klien.
Akuntabilitas juga meluas melebihi ruang lingkup perawatan yang diberikan oleh individu perawat. Jika perawat mengetahui bahwa perawatan yang diberikan oleh anggota tim lainnya tidak tepat atau bermutu rendah, ia juga memliki kewajiban hukum dan etik untuk melaporkan kpihak yang berwenang (Ellis et al., 1995 ; Purcell, 1988 ; Reilly, 1989). Tindakan hukum dapat dilakukan untuk menindak seorang perawat yang melakukan pelanggaran tugas atau kelalaian. Asuransi tanggung wajib pribadi, adalah tindakan preventif untuk melindungi perawat dari kerugian besar yang mungkin di hasilkan dari tindakan hukum yang  menentang mereka. Setiap perawat harus memiliki asuransi tanggung wajib profesional. Hal ini sebagai tambahan atas asuransi yang disediakan oleh institusi yang memperkerjakan perawat. Asuransi instutisional biasanya hanya meliputi jam kerja perawat di institusi tersebut, bukan pada saat mereka praktik diwaktu yang lain. Biaya hukum dalam tuntutan perkara dan kemungkinan penyelesaian atau persidangan dapat sangat menghancurkan. Terlebih lagi, semakin sering institusi menuntut perawat yang terlibat jika institusi mengalami gugatan malpraktik (Elliset al., 1995 ; Lodeman, 1991). Karena cakupan asuransi yang adekuat biasanya dapat dibeli dengan harga yang pantas, hal tersebut merupakan investasi yang sangat berharga untuk perlindungan pribadi perawat.

2.3 Perkembangan Etik dan Hukum Sebelum Konsepsi
Pasangan sering kali mendapat kesulitan untuk hamil. Natinal Center for Healty Statistic memperkirakan bahwa saat ini hampir separuh wanita menikah yang berusia 15 hingga 14 tahun mengalami infertilisasi sampai beberapa derajat, dan 10% pasangan menikah gagal hamil setelah satu tahun tidak menggunakan kontrasepsi (Goode et al., 1993).
Dalam 15 tahun terakhir, kemajuan teknik kedokteran, telah menghasilkan metode reproduksi tanpa hubungan seksual, termasuk inseminasi buatan dan fertilisasi in vitro dengan transfer embrio (In Vitro Fertilization With Embryo Transfer, IVE/ ET). Seperti halnya kontra sepsi, reproduksi buatan dipertahankan oleh para pendkungnya sebagai pengokohan kehidupan, sementara dicelaoleh para penentangnya karena tidak ada alamiahnya. Selain itu, telah muncul sesuatu yang disebut penulis sebagai “huckstrims” atau publisitas yang mengelilingi banyak teknolgi, terutama IVF /ET. Sebagaian memandang publisitas ini sebagai eksploitasi terhadap pasangan yang tidak subur, terutama jika disertai dengan publisitas tentang tingkat kesuksesan beberapa pusat yang menggunakannya. Profesional yang mendorong kehati- hatian tersebut menyatakan bahwa insiden kelahiran hidup (
bukan kehamilan) masih rendah dengan teknik- teknik tersebut (Goode et al., 1993 ; Macklin, 1991 ; Shearer ; 1988).

2.3.1 Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan, merupakan sperma pada os serviks atau didalam uterus secara mekanis, dapat dilakukan dengan dua metode. Dalam inseminasi buatan dari suami (artificial insemiation from the husband, AIH), sperma yang berasal dari suami klien disimpan dalam saluran reproduksi istrinya. Metode ini mungkin tidak terlalu kontoversial dibandingkan semua metode reproduksi yang dibantu karena jelas siapa orang tua genetis dan sosiologisnya. Beberapa golongan agama keberatan dengan dilakukan masturbasi sebagai cara pengumpulan sperma, tetapi pada umumnya metode ini tidak menimbulkan pertannyaan etik dan hukum.
Metode kedua, inseminasi buatan dari donor (artificial inseminaton from a donor, AID), lebih problematika. Dengan AID, wanita di insminasi dengan sperma dari donor yang tidak dikena. Metode ini memisahkan orang tua sosiologisnya (suami wanita tersebut) dari perannya dalam konsepsi keturunan. AID menjadi tindakan yang sangat diminati ketika suami tidak dapat atau sangat sedikit menghasilkan sperma. AID juga digunakan ketika suami menderita cacat genetik atau sensitif Rh. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan prosedur ini tlah berkurang karena kemungkinan adanya penularan  human immunodeficiency virus (HIV), sekarang dilakukan skrining HIV pada seluruh donor dan setiap spesimen. Selama suami setuju, donor tidak dianggap sebagai ayah yang sah atas anak tersebut. Seperti yang dilihat, model terapeutik ini menempatkan kontrak diatas semua pihak diatas semua pertimbangan genetik atau “garis keturunan “. Model ini telah disarankan sebagai model untuk transfer embrio, tetapi adanya pertanyaan apakah model itu sesuai (Holmes., 1988, Macklin 1991: Goode et all., 1993).
Kewajiban hukum dipenuhi berdasarkan persetujuan tindakan tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak istri, suami dan donor. Direkomendasikan agar seluruh pihak tidak menuliskan nama. Direkomendasikan juga agar dokter diberi wewenang untuk memilih donor. Rekomendasi ini menimbulkan pertanyaan tentang batas kewenang profesional, terutama karena akhir- akhir ini terdapat sekandal jika dokter diberi hak ini; persetujuan biasanya meliputi ketentuan bahwa rofesional kesehatan tidak bertanggung jawab jika anak itu lahir dengan abnomarlitas. Pertanyaan tentang keabsahan anak dapat diselesaikan dengan adopsi(Goode, 1993; Bonnicksen, 1988).

2.3.2 Fertilisasi In Vitro dan Transfer Embrio
A.    Definisi Fertilisasi invitro
Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF) adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus.  Pada kondisi normal, pertemuan ini berlangsung di dalam saluran tuba.  Dalam proses bayi tabung proses ini berlangsung di laboratorium dan dilaksanakan oleh tenaga medis sampai menghasilkan suatu embrio dan di iplementasikkan ke dalam rahim wanita yang mengikuti program bayi tabung tersebut.  Embrio ini juga dapat disimpan dalam bentuk beku (cryopreserved) dan dapat digunakan kelak jika dibutuhkan.  Bayi tabung merupakan pilihan untuk memperoleh keturunan bagi ibu-ibu yang memiliki gangguan pada saluran tubanya.  Pada kondisi normal, sel telur yang telah matang akan dilepaskan oleh indung telur (ovarium) menuju saluran tuba (tuba fallopi) untuk selanjutnya menunggu sel sperma yang akan membuahi sel telur tersebut tersebut.  Dalam bayi tabung proses ini terjadi dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan (embrio) maka segera di iplementasikan ke rahim wanita tersebut dan akan terjadi kehamilan seperti kehamilan normal.






Dari segi tehnik, karena prosedur konsepsi buatan ini sangat menegangkan, tingkat keberhasilannya belum begitu tinggi, dan biayanya sangat mahal, maka pasangan suami istri (pasutri) yang diterima untuk program ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
ü  Telah dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya.
ü  Terdapat indikasi yang sangat jelas.
ü  Memahami seluk beluk prosedur konsepsi buatan secara umum
ü  Mampu membiayai prosedur bayi tabung ini

B.     Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan
1)      Jika benihnya berasal dari Suami Istri
ü  Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
ü  Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hokum ps.255 KUHPer.
ü  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps.1320 dan 1338 KUHPer.)
2)      Jika salah satu benihnya berasal dari donor
ü  Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA.Dasar hokum ps.250 KUHPer.
ü  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps.250 KUHPer.
3)      Jika semua benihnya dari donor
ü  Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
ü  Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi in vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi in vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1)      sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoklonal.
2)      sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri
2.3.3 Ibu Pengganti
Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.
Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
1)      hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
2)      dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3)      pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.

2.3.4 Amniosintesis
Amniosintesis telah ada lebih dari satu dekade dan diskusikan secara lengkap pada bab 13. Masalah etik dan hukum mengenal prosedur ini mencakup kesalahan kelalaian dan kesalahan perbuatan. Contohnya jika seorang wanita yang dicalonkan untuk menjalani tes karena usia (diatas 35 tahun ) melahirkan dengan anak anomali kromosom atau memiliki riwayat penyakit genetik dan tidak diperhatikan pada saat tes, profesional perawat kesehatan dapat  bertanggung jawab jika ia melahirkan bayi yang cacat.
Resiko dan keuntungan tes juga harus dijelaskan kepada klien, dan harus mendapat persetujuan tindakan. Jika ibu telah dites, diberi tahu bahaya janinnya normal, kemudian melahirkan bayi yang cacat, profesional perawat kesehatan dan laboraturium yang melakukan tes harus bertanggung jawab. Meskipun profesional kesehatan mempunyai keyakinan pribadi tentang efektifitas tes, memiliki pendapat mengenai apakah pendapat tentang wanita harus menggugurkan kandungan jika hasil tes adanya janin yang cacat, atau memiliki keberatan berdasarkan moral, etika atau agama berdasarkan tes tersebut, profesional keperawatan kesehatan tetap berkewajiban memberi tahu klien tentang tes dan merujuk ketempat lain (Stern, 1988 ; Freda, 1994)

2.4 Pertimbangan Etik dan Hukum dalam Aborsi
Konflik saat ini, antara kelompok pro- pilihan (prochoice) dan pro kehidupan (profile) telah menyulutkan api yang membangkitkan sekitar topik aborsi. Perawat harus mengerti posisi etik mereka dalam masalah ini jika ingin memberikan keperawatan yang berkualitas kepada klien. Perawat terlibat konseling pada klien tentang aborsi dari sudut pandang yang beragam, ulasan singkat tentang pertimbangan etik dan hukum dijelaskan pada bagian selanjutnya.

2.4.1 Perkembangan Etik
Etika  dalam masalah aborsi berkisar pada masalah mengakhiri kehidupan janin dengan cara memindahkan janin dari sistem pendukung kehidupannya. Telah diperdebatkan bahwa apbila manusia diberika sebuah pilihan, ia akan memilih kesehatan dan tidak akan mengalami penderitaan. Lebih jauh, perdebatan berlanjut, manusia tudak memiliki hak untuk membebankan oleh akibat tragis dari penyakit yang terdeteksi pada janin. Dengan menggugurkan janin yang cacat, “ ketiadaan” terjadi bukan penderiataan karena hidup dengan  abnormalitas. Janin yang rusak dapat diganti dengan yang normal pada kehamilan berikutnya. Walaupun alasan ini mendukung pengguguran janin yang rusak, alasan ini tidak mebahas tindaka etika aborsi pada hasil konsepsi yang sehat (atau tidak direncanakan). Hal ini juga menimbulkan masalah tentang siapa yang menetukan normal atau sehat (cohen, 1990 ; Overall, 1990 ; Freda , 1994).
Pendukung kelompok pro- pilihan mengambil sikap bahwa ibu memiliki tanggung jawab pokok dan kebebasan memilih atas apa yag terjadi pada tbuhnya. Kelompok pro- pilihan ini bukan kelompok pro- aborsi. Pendukung kelompok pro- pilihan menekankan penggunaan aborsi hanya untuk sebagai usaha terakhir. Meraka menjunjung tinggi nilai penggunaan kontasepsi, amniosintesis untuk menentukan defek janin, dan adopsi jika memungkinkan. Pendukung kelompok pro kehidupan percaya bahwa janin adalah manusia sejak konsepsi dan karena itu menghancurkan kehidupan manusia adalah pembunuhan dan tidak dapat dipertahankan secara moral.
2.4.2 Pertimbangan Hukum
Pada tahun 1973, dalam kasus bersejarah  Ros vs wade, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aborsi adalah tindakan yang sah di Amerika serikat. Keputrusan tersebut membuat hukum- hukum negara bagian yang melarang aborsi menjadi tidak berlaku karena hukum- hukum semacam itu menyerang privasi ibu (Annas, 1986). Keputusan tersebut juga menetapkan beberapa point lain sebagai berikut.
v  Negara bagian tidak dapat  mencegah sorang wanita untuk melakukan aborsi setiap saat pada trisemester pertama yang dilakukan  oleh dokter yang memiliki izin.
v  Negara bagian dapat mengatur dan bahkan melarang aborsi pada trisemester ke tiga, kecuali jika kehidupan atau keselamatan ibu terancam.
v  Negara bagian memiliki hak untuk memberi perlindungan terhadap janin pada trisemester terakhir.
2.5 Pertimbangan Etik dan Hukum untuk Janin Neonatus yang Sakit dan Ibu
Mungkin  area perinatologi dan neonatologi yang paling dipenuhi dengan perselisihan, diskusi, perdebatan dan dilema etik dan hukum adalah area keperawatan intensif neonatus dan penelitian janin serta penangananannya. Ironisnya, banyak masalah pada area ini merupakan hasil kemajuan teknologi yang dikembangkan dalam bidang neonatologi dan perinatologi. Janin yang secara alami mengalami abortus atau telah lahir mati pada 5 tahun yang lalu, sekarang dapat dipertahankan di uterus sampai janin mendekati cukup bulan. Bayi yang tidak memiliki kesempatan untuk bertahan hidup pada satu dekade yang lalu, sekarang dapat menjalani hidup yang relatif sehatdan produktif. Kemudian, apa yang menjadi penyebab perdebatan ?
Dengan terus berkembang kemajuan teknologi dan keahlian, akan ada lebih banyak usaha untuk menyelamatkan janin pada tahap sedini mungkin, walaupun dwngan kondisi yang parah. Dalam banyak kasus seperti ini, bayi baru lahir “selamat” dapat mengalami kecacatan yang parah secara fisik atau mental. Usaha heroik dilakukan oleh profesional kesehatan untuk memperpanjang kehidupan, sementara ini dipertahankan apakah ini demi kepentingan bayi baru lahir dan keluarga. Petugas kesehatan dan orang tua sering kali dilema etik dan moral ini karena peraturan dan pedoman federal (Cunningham et al., 1990 ; Penticuf, 1994).
        2.5.1 Janin
Janin memiliki hak sejak waktu konsepsi dan dapat menjadi ahli waris atas sebuah kepercayaan dan harta benda. Walaupun secara hukum tidak dianggap sebagai manusia hingga saatnya lahir, hak janin di junjung tnggi dipengadilan. Sebagai contoh, seorang wanita di instruksikan untuk menjalani seksio sesaria oleh pengadilan karena adanya gawat janin. Wanita tersebut menoloak prosedur dan bersikeras meninggalkan rumah sakit. Setelah berundig dengannya, staf resmi rumah sakit resmi mendapat perintah agar wanita tersebut menjalani seksio sesari. Ini merupakan pertama kali wanita dipaksa melakukan pembedahan. Pada kasus lain, pengadilan menginstruksikan seorang ibu yang merupakan saksi jehovan untuk mendapatkan transfusi darah guna menyelamatkan jiwa janinnya (Nelson et al., 1988 ; Mattingly, 1992).
a.      Penelitian Janin
Walaupun pendanaan pemertintah federal untuk penelitian janin tetap menjadi isu tren kontroversial, banyak pendukung percaya bahwa penelitian tersebut memiliki potensi besar untuk mencegah penyakit yang merugikan. Akan tetapi banyak, negara bagian yang mengadakan penelitian janin secara ilega, khususnya ketika janin megalami abortus atau janin masih didalam utrus. Etika transplantasi jaringan janin seru diperdebatkan. Beberapa pertanyaan sulit muncul mengenai hak ibu vs janin :
v  Apakah ibu memiliki hak untuk menentukan apa hendak dilakukan terhadap janinnya?
v  Apakah ibu berencana untuk aborsi memiliki hak untuk mengizinkan percobaab untuk uterusnya?
v  Dapatkah janin yang digugurkan diusahakan tetap hidup untuk tujuan penelitian?
Pedoman federal mengharuskan penelitian janin dirancang untuk memenuhi kebutuhan janin, berisiko mnimal, dan berpotensi untuk mengembangkan ilmu kedokteran yang penting. Pedoman gelobal ini mengizinkan interprestasi yang luas. Para ahli setuju bahwa kita berada diambang penemuan yang hebat. Akan tetapi, dengan kemajuan ini akan datang keputusan yang lebih sulit bagi calon orang tua dan mereka yang merawatnya (Stotland, 1990; Ryan 1990 ; Robertson, 1994 ; McCormick, 1994).
b.      Terapi janin
Kemajuan teknologi telah menghasilkan kemampuan untuk mengeluarkan cairan spinal dari otak janin (sefalosintesis), mengkateterisasi janin di dalam uterus, mengeluarkan bagian tubuh janin yang paling bawah dari uterus utuk memperbaiki obstruksi saluran kemih, mentransfusi janin di dalam uterus, memperbaiki gastrokisis, dan memperbaiki defek skeletal melalui pembedahan. Walaupun ini menjadi batu loncatan yang penting dalam lingkup terapi, peneliti biasanya memberikan peringatan dan memperhatikan sifat eksperimen pada berbagi terapi (McCormick, 1994; Grodin, 1990 ; Evans et al., 1990). Mareka yang melakukan pendekatan yang lebih konservatif menyatakan bahwa satu- satunya malformasi anatomi yang mmerlukan prtimbangan adalah malinformasi yang mengganggu perkembangan organ janin dan jika malformasi telah diperbaiki, akan memungkinkan berlanjutnya perkembangan janin secara normal.
Committee on Biothics of the American Academy of Pediatrics (1990) mengatakan bahwa wanita dan janinnya lebih sering dipandang sebagai dua entitas yang dapat ditangani. Namun, mereka memperingatkan bahwa semntara beberapa prosedur diagnotik janindalam terapi uterus, seperti amniosintesis dan transfusi janin intra uterus, telah menjadi praktik standar yang terbukti efektif, itervensi janin lain, seperti galihan pirau untuk hidrosefalus atau uropati obstruktif, dianggap sebagai prosedur penelitian dan bukan standar praktik kedokteran. Dengan demikian, kegunaannya swaat ini kurang jelas. Menurut pendapat mereka, intervensi ini harus didaftarkan kbadan pendaftaran iternasional yang didirikan untuk mencatat pengalaman dari intervensi eksperiemental ini. Secara umum, pendapat ini diperaktikkan oleh mayoritas praktisi lain ingin mendorong batasan penelitian demi “kebaikan masyarakat” dimasa depan (Grodin, 1990 ; Stotlend, 1990 ; Robertsond, 1994).
        2.5.2 Neonatus yang Sakit
Pertanyaan dan konflik etik dan hukum juga muncul pada neonatus yang sakit. Beberapa banyak neonatus yang harus menderita demi kehidupan? Yang paling penting, mana yang harus dihargai – kesucian kehidupan atau kualitas kehidupan ? Dokter, perawat, dan orang tua akan terus menghadapi dilema ini sejalan sejalan dengan terus menurunnya angka mortalitas bayi. Rata- rata 3,5 juta neonatus dilahirkan di Amerika Serikat setiap tahun, sekitar 2500.000 lahir dengan defek yang bermakna atau mengalami cidera pada saat mengalami kemajuan dalam upaya untuk menyelamatkan jiwa, tetapi hasil jagka panjangnya masih dipertanyakan.
        2.5.3 Ibu
                Satu masalah hukum dan etik yang kontroversial seputar ibu adalah apakah ibu hamil harus dipaksa oleh hukum untuk menerima terapi medis atau pembedahan untuk kepentingan janin. Beberapa kasus keadaan luar biasa berfokus pada maslah ini. Dalam satu kasus, pertannyaan etik beredar seputar ketepatan menggunakan sistem pendukung kehidupan pada ibu dalam jangka pendek untuk meningkatkan hasil janin subtansial. Telah diperhatikan bahwa penggunaan tubuh ibu untuk kepentingan janinnya dapat diizinkan jika ibu telah memberikan persetujan sebelumnya atau mendatatangani kartu donor anatomi. Jika tidak mendaptkan persetujuan dari ibu,izin harus didapat dari keluarga terdekatnya(Annas 1986b). Kasus seperti ini tidak terelakan lagi dapat menciptakan kontroversi dan pendapat yang bertentangan antara kelurga dan pemberi perawatan kesehatan. Mereka mempertanyakan batas- batas kebajikan, kewenangan, dan hak klien atas integritas tubuhnya. Dalam keadaan saat ini, pendapat ini tidak akan dipertahankan oleh kebanyakan klien, petugas kesehatan, pakar etika.
                Pada bulan April 1990, District of Columbia court of Appleas menyatakan pendapatnya dalam Re A. C., kasus yang banyak dipublikasikan mengenai perintah pengadilan untuk melakukan seksio sesaria pada seorang wanita yang sekarat pada Juni 1987. Keputusan pengadilan yang menetapkan bahwa “sebenarnya semua kasus yang mempertanyakan tentang apa yang harus dilakukan akan diputuskan oleh klien- wanita hamil- atas nama dirinya dan janin” adalah sebuah   penetapan keteladanan atas otonomi wanita hamil dalam membuat keputusan perawatan kesehatannya sendiri (Allen, 1990). Mahasiswa dapat memebaca perincian tentang penetapan keteladanan  ini dari sumber- sumber yang tertera didaftar bacaan yang dianjurkan.
Dalam penjelasannya, pengadilan menekankan pentingnya integritas tubuh klien dan menegaskan bahwa ini adalah milik individu yang kompeten dan tidak kompeten. Keputusannya juga mengakui secara yudisial wewenang wanita hamil untuk mengmbil keputusan secara otonomi, yang lebih jauh menyatakan bahwa ikut campur tangan dalam menyeimbangkan kepentingan ib dan janin. Pendapat ini sama dengan pendapat komite American College of Gynecologist (ACOG) mengenai konflik Ibu Janin. Melalui keputusan dalam A.C., pemberi perawatan kesehatan diharapkan menghindari usaha lewat pengadilan (Allen, 1990). Tidak seperti kasus ekstrem sebelumnya, masih ada pertanyaan mengenai seberapa jauh hukum harus memaksa wanita untuk menerima terapi medis rutin atau terapi pembedahan untuk kepentingan janinselam kehamilan. Terapi tersebut tidak mencakup kehadiran rutin sesui perjajian medis, mematuhi beragam pemeriksaan dan terapi,atau bahkan mematuhi rekomendasi untuk tidak melakukan hubungan seksual, memakai obat- obatan, mengkonsumsi akohol atau berolahraga. Di mata sebagaian orang, jika ibu menolak mematuhi program yang dianjurkan, ia harus dikenakan tuntutan kriminal. Namun, sebagian besar spesialis etika atau dokter percaya (sebagaimana ditetapkan dalam A.C), bahwa tidak ada dasar hukum, etika atau moral yang membenarkan pengadilan  untuk memerintahkan serang wanita untuk mrnjalani prosedur medis atau prosedur pembedahan untuk kepentingan janin, terutama jika wanita hamil keberatan terhadap pelarangan, terapi atau prosedur (Nelson et al., 1988 ; Annas, 1986b ; Ryan 1990 ; Gates 1990).
        2.5.4 Tanggung Jawab Perawat
                                Perawat bekerja dalam perawatan maternitas dan perinatal, memiliki tanggung jawab terhadap wanita dan janin atau bayi baru lahir. Pengetahuan mengenai nilai dan kenyakinan diri sediri yang dibarengi dengan pengetahuan standar, ruang lingkup praktik dan peraturan hukum membantu dalam pengam bilan keputusan yang efektif.
                                Perawat memiliki kewajiban tertentu terhadap wanita. Ia harus memiliki pengetahuan dan keahlian untuk menggunakan peralatan yang diperlukan untuk keperawatan wanita, khususnya monitor janin. Ia harus mengetahui panduan untuk pemantauan yang dikembangkan oleh ACOG. Perawat harus pandai membaca monitor secara akurat , membuat catatan yang sesuai dan melaporkan komplikasi secepatnya kepada dokter. Kaset rekaman monitor harus disimpan dengan baik karena kaset tersebut seringkali menjadi bukti penting atas terjadinya gugatan mal praktik didunia kedokteran.
Pentingnya perawat untuk mencatat hasil observasi, terapi, prosedur, pengobatan, dan setiap informasi tepat lainnya dan akurat tidak dapat cukup ditekankan. Banyak kasusu malpraktik lemah dibawa kepengadilan karena kesalahan atau kelalaian dalam pencatatan dan perekaman.
Area tanggung jawab penting lainnya adalah mengamati bayi baru lahir dan ibu secara cermat setelah pelahiranan dan melaporkan serta mencatat setiap tanda konplikasi atau masalah. Perawat dapat dimintai pertanggung jawabannya atas terjadinya konplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. Sangat penting agar perawat memiliki pengetahuan luas mengenai tanggung jawab dan pemberian perawatan yang tepat.















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
v  Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
v  Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
v  Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia
v  bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
v  Menurut etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan  sumpah dokter yang berkaitan dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
v  Aborsi dapat dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis
v  Tanggung jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik.
v  Dalam konteks hukum, tanggung jawab merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan, sedangkan kewajiban merupakan keharusan bagi seseorang.

3.2  Saran
Kesadaran perawat akan pentingnya mempelajari hukum, sangat diperlukan. Tidak hanya untuk perlindungan untuk perawat itu sendiri dalam melaksanakan tugas, akan tetapi juga masyarakat pada umunya. Perawat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan koridor hokum, akan menjamin keamanan dalam bidang hokum bagi perawat dan juga pasien. Penting untuk perawat melaksanakan tugasnya sesuai dengan etika keperawatan, mengetahuai hak dan kewajiban, peran dan fungsi, tanggung jawab dan tanggung gugat.
Hendaknya mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujud nyatakan peran perawat yang legal etis dalam pengambilan keputusan dalam konteks etika keperawatan.


0 komentar:

Posting Komentar

 
;