BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Asuhan
keperawatan maternitas dan perinatal sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan
etik dan hukum kepada perawat
dibandingkan area asuhan keperawatan lain. Perawat maternitas dan perinatal
memerikan pelayanan dan keperawatan yang luas untuk klien diberbagai lingkungan
praktik yang berbeda. Perawat ini dihadapkan dengan isu seputar kelahiran,
kehidupan, kematian dan kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari- hari. Hal
yang penting dalam isu ini adalah keterlibatan dua klien, ibu dan janin atau
bayi baru lahir.
Bab ini
membicarakan tentang pertimbangan etik dan hukum dalam asuhan keperawatan
maternitas dan perinatal. Sebagai dasar diskusi ini, tinjauan etik, hukum,
akuntanbilitas keperawatan dijelaskan. Dijelaskan juga, informasi spesifik
seputar isu etik dan hukum sebelum konsepsi, aborsi dan keperawatan janin,
neonatus yang sakit dan ibu.
Perawat profesional harus menghadapi
tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari
hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran,
hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan
perhatian terhadap etik.
Standart perilaku perawat ditetapkan
dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional,
dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik
dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien,
profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung
jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat
klien.Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan
lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang
berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas
terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan.
Secara umum terdapat dua alasan
terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya.
Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat
yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi
perawat dari liabilitas.Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang etik
dan hukum dalam keperawatan.
1.2 TUJUAN
1.2.1 Tujuan Umum
Adapun
tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pertimbangan etik
dan hukum dalam keperawatan khususnya keperawatan maternitas.
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan
khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
ü Definisi
etik,
ü Definisi
hukum,
ü Hubungan
antara etik dan hukum,
ü Aspek
hukum pada perawatan maternitas dan perinatal,
ü Pertimbangan
etik dan hokum sebelum konsepsi,
ü Pertimbangan
etik dan hokum dalam aborsi,
ü Pertimbangan
etik dan hokum untuk janin, neonatus dan ibu yang sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PERTIMBANGAN ETIK DAN HUKUM
2.1
Tinjauan Etik dan Hukum
2.1.1
Etik
Etik
merupakan prinsip prilaku yang mengarahkan hubungan seseorang dengan orang
lain. Etik merupakan keyakinan dasar
tentang nilai- nilai yang benar dan salah menyediakan sebuah kerangka untuk
pengambilan keputusan dan tindakan. Misalnya, etik menyediakan dasar untuk
memutuskan apakah seseorang harus pergi keja atau tidak dipagi hari. Tidak ada
aturan dalam situasi seperti itu sehingga keputusan pribadi harus seperti itu
sehingga keputusan pribadi harus dibuat untuk melakukan apa yang benar.
Seseorang
dapat berpura- pura sakit dan tinggal dirumah; namun, rekan sejawat, para
sahabat, akan sepakat bahwa pura- pura sakit adalah tingkah laku yang tidak
pantas. Terlebih lagi, seseorang atasan memiliki hak untuk mencatat bawahannya
jika hal seperti itu terjadi berulang- ulang. Kadang- kala muncul situasi yang
mengharuskan pengambilan keputusan, tetapi tidak ada satupun solusi yang
tampaknya benar- benar memuaskan. Sebuah dilema
etik muncul. Muncul lebih dari satu solusi; mungkin solusi tersebut saling
bertentangan. Satu atau seluruh solusi yang mungkin tidak disukai. Keputusan
etik memiliki konsekuensi terhadap diri seseorang dan orang lain (Ellis et al.,
1995).
Ahli
filosofi moral telah mengidentifikasi tiga perinsip etik yang mendasari
penilaian moral dan pengambilan keputusan etik. Ketiga prinsip ini adalah beneficience,
menghargai otonom, dan keadilan (Good Et all., 1993; kontak
5-1). Perawat perlu memprhatikan ketiga perinsip tersebut saat mengambil
keputusan etik mengenai ksejahteraan kliennya.
Etika
berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/
kebiasaan yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang
buruk,tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1995) Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Sedangkan
menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah seperangkat aturan atau
norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan
maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan
masyarakat atau profesi”
A. Fungsi Etika
1) Sarana untuk memperoleh orientasi
kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
2) Etika ingin menampilkanketrampilan
intelektual yaituketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
3) Orientasi etis ini diperlukan dalam
mengabil sikapyang wajar dalam suasana pluralism
B. Macam-Macam Etika
1) ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang
berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan
apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika Deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan
tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2) ETIKA
NORMATIF,
yaitu etika yang mengajarkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang
seharusnya dimiliki oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Etika Normatif
juga memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka
tindakan yang akan dilakukan.
Secara umum etika dibagi menjadi dua
bagian, yaitu :
1) Etika Umum, mengajarkan tentang
kondisi-kondisi & dasar-dasar bagaimana seharusnya manusia bertindak secara
etis, bagaimana pula manusia bersikap etis, teori-teori etika dan
prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak
serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum
dapat pula dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai
pengertian umum dan teori-teori etika.
2) Etika
Khusus,
merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan.
Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam
kehidupannya dan kegiatan profesi khusus yang dilandasi dengan etika moral.
Namun, penerapan itu dapat juga berwujud
Bagaimana manusia bersikap atau melakukan tindakan dalam kehidupan
terhadap sesama. Etika Khusus dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu :
A. Etika
individual,
yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
B. Etika
sosial, yaitu
mengenai sikap dan kewajiban, serta pola perilaku manusia sebagai anggota
bermasyarakat. Etika sosial meliputi banyak bidang, antara lain :
ü Sikap terhadap sesama
ü Etika keluarga
ü Etika profesi misalnya etika untuk
pustakawan, arsiparis,dokumentalis, pialang informasi.
ü Etika politik
ü Etika lingkungan
ü Etika idiologi adalah filsafat atau
pemikiran kritisrasional tentang ajaran moral sedangka moral adalahajaran baik
buruk yang diterima umum mengenaiperbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu
dikaitkandengan moral serta harus dipahami perbedaan antaraetika dengan
moralitas.
2.1.2
Hukum
Hukum
adalah peraturan perilaku atau tindakan yang dikenal mengikat atau ditegakkan
oleh pihak berwenang, seperti pemerintah lokal, negara bagian, atau nasional.
Hukum dirancang untuk mencegah tindakan satu pihak yang mengganggu pihak- pihak
lain. Seluruh hukum pada dasarnya berasal dari hukum dasar, kecendrungan
pembawaan lahir manusia untuk melakukan hal yang baik dan menghindari hal yang
buruk. Pemerintah Federal Amerika Serikat dan ngara- negara bagiannya memegang
konstitusi untuk membuat dan menegakkan hukum. Sistem hukum menyusun pedoman,
bukan menetapkan peraturan yang kaku untuk praktik. Semua huum, tidak peduli
asal usulnya, adalah subyek terhadap perubahan dan interprestasi. Ellis et al.
(1995) menyatakan bahwa etik dan hukum dapat berjalan berdampingan dan saling
mendukung. Jika, seseorang individu memilih untuk mencuri uang dari majikannya,
prilaku tersebut bukan saja tidak etis, tetapi juga melanggar hukum. Banyak
hukum ditulisuntuk menyediakan sebuah dasar untuk menegakan prinsip etik yang
dianggap perlu untuk kesejahteraan sebagaian besar masyarakat.
A. Bentuk-Bentuk
Hukum
1) Hukum Publik
Hukum publik mengatur hubungan antara warga negara dengan
negara yang menyangkut kepentingan umum tertentu yang mempelajari bentuk negara,
bentuk pemerintahan, hak-hak asasi warga negara, dan sebagainya.Yang
menitikberatkan hal-hal yang bersifat mendasar (fundamental) dari nagara.
ü Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah serangkaian peraturan hukum yang
mengatur bentuk negara, susunan dan tugas-tugas serta hubungan antara alat-alat
perlengkapan negara. Hukum Tata Negara hanya khusus menyoroti negara
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat teknis yang dibuat berdasarkan
wewenang yang diberikan oleh Hukum Tata Negara.
ü Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur
pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan
perbuatan mana diancam dengan sangsi pidana tertentu.Bentuk atau jenis
pelanggaran dan kejahatan dimuat didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).
ü Hukum Acara/hukum formal
Hukum acara/hukum formal merupakan seperangkat aturan yang
berisi tata cara untuk menyelesaikan, melaksanakan, atau mempertahankan Hukum
Material. Hukum Acara dibedakan antara Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara
Perdata. Dalam Hukum Acara Pidana, diatur tata cara penangkapan, penahanan,
penyitaan, penggeledahan, dan penuntutan. Dalam Hukum Acara juga diatur siapa-siapa
yang berhak melakukan penyitaan, penyidikan, pengadilan mana yang berwenang
mengadili dan sebagainya.Semua itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHP),yaitu UU No.8 Tahun 1981.
ü Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara merupakan seperangkat peraturan
yang mengatur cara berkerja alat-alat perlengkapan negara, termasuk cara melakukan
kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh setiap organ negara dalam melakukan
tugasnya. Hukum Administrasi Negara
2)
Hukum
Perdata (privat)
Perdata
sama artinya dengan warga negara,pribadi,sipil,atau privat.Sumber pokok hukum
perdata adalah Burgerlijk wetboek (BW) yang dalam arti luas juga mencakup Hukum
Dagang dan Hukum Adat. Jadi Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang
kepentingan-kepentingan orang perorangan
2.1.3
Hubungan Antar Etik dan Hukum
Etik
mungkin membahas tentang pertanyan yang berbeda dari hukum. Sebagai contoh
datang ketempat kerja sesuai dengan yang diharapkan tidak diperintah oleh hukum
walaupun kebanyakan orang memiliki pandangan yang sama pada situasi seperti
ini. Meskipun demikian, kadang- kadang individu menemukan bahwa hukum dan
keyakinan etik mereka berbeda. Contohnya adalah seseorang tentara yang dituntut
membunuh musuhnya dalam peperangan. Seluruh negara menganggap hal tersebut sah
secara hukum, tetapi sebagian orang memiliki syarat etik dan menetapkan
keberatan yang besar jika diberikan kesediaannya dalam berperang. Individu
semacam ini sering sering diberi tugas untuk tidak berperang walaupun mereka
berada dizona perang. Contoh dalam keperawatan adalah seorang perawat yang menolak
membantu aborsi karena merasa tidak etis mengambil nyawa janin. Perawat semacam
ini mungkin diberi tugas lain yang tidak memiliki pertentangan antara etika
pribadi dengan kegiatan dan hukum yang berlaku.
Para
penulis dibidang etik menyimpulkan bahwa tidak semua pilihan atau masalah
bersifat etis (Ellis et al., 1995, Busy et al., 1989). Mereka menguraikan
beberapa karakteristik yang membuat masalah etik menjadi unik :
v Masalah
tidak dapat seluruhnya dipecahkan dari data empiris; misalnya haruskah orang
yang sehat dipaksa untuk mendonorkan organ tubuhnya keseseorang yang akan mati
jika tidak mendapat donor organ tersebut ? jelas, ilmu pengetahuan apapun tidak
akan dapat menjawab pertanyaan ini dengan pasti. Beragam ilmu pengetahuan dan
rasa kemanuasiaan dapat memberikan informasi, tetapi jawabannya berada diluar
disiplin ilmu.
v Masalah
bersifat membingungkan. Terdapat konfik dan ketidakpastian tentang jumlah dan
jenis informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan. Jika bayi yang baru
lahir memiliki anomali kongenital mulipel yang dapat diperbaiki, tetapi
memiliki penyimpangan kromosom yang pada akhirnya menyebabkan kematian pada
usia dini, haruskah dilakukan upaya yang agresif untuk membutnya tetap hidup
selama mungkin walaupun upaya tersebut dapat menyebabkan sakit dan penderitaan
bagi orang tua dan bayi tersebut ?
v Jawaban
atas maslah etik akan sangat besar hubungannya dengan bberapa bidang yang
menjadi perhatian manusi. Keputusan tersebut akan sangat luas pengaruhnya pada
persepsi seseorang terhadap orang lain, hubungan sesama manusia, hubungan
mereka dengan masyarakat, dan hubungan berbagai masyarakat dan dunia luas. Jika
misalnya, dibuat keputusan untuk memaksa seseorang mendonorkan bagian salah
satu anggota tubuhnya ke seseorang anggota keluarga, keputusan tersebut
berdasarkan pada beberapa premis dan asumsi (yang mungkin tidak dimiliki oleh
seluruh masyarakat): Hak seseorang akan
integritas tubuhnya mungkin dilanggar jika orang lain hendak mengambil hak orang
lain hendak, mengambil keuntungan darinya , hak manusia untuk hidup mencakup
hak untuk mengharuskan orang lain untuk menjalankan operasi yang menyakitkan
dengan hasil kehilangan bagian tubuh secara permanen dan kerusakan integritas
tubuh secara umum, dan profesional kesehatan dan orang lain yang berwenang
dapat mendesak atau memaksa seseoranguntuk mengorbankan integritas tubuhnya
demi kesejahteraan orang lain. Pilihan ini melibatkan konsep hak asasi manusia,
batasan- batas kebajikan, dan kekuasaan dari pihak yang berwenang. Walaupun
contoh tersebut dramatis, isu lain, hak wanita untuk mengkonsumsi obat- obatan
dan alkohol pada masa kehamilan atau berapa lama untuk memperpanjang hidup bayi
baru lahir yang mengalami gangguan yang tidak dapat disembuhkan, adalah kurang
jelas. Perawat harus menggunakan karakteristik tersebut saat menentukan apakah
keputusan melibatkan suatu masalah etik atau tidak.
2.2
Aspek Hukum pada Perawatan Maternitas dan Perinatal
Bidang maternitas dan perinatal terutama
memiliki resiko tinggi untuk terjadinya malpraktik
dan kelalaian profesional karena beberapa alasan. Beberapa rumah sakit
menghadapi krisis keuangan sehingga mereka menerapkan pola staf yang tidak
memadai, yang asangat berbahaya bagi klien dan perawat. Selain itu, kemajuan
teknologi untuk memantau ibu dan janin pada masa prakonsepsi, konsep dan pasca
konsepsi dan banyaknya pelaksaan teknik dan prosedur yang menyebabkan resiko
yang menghasilkan pengaruh iatrogenik yang dapat merusak ibu, janin atau kedua-
duanya, yang kadang- kadang ireversibel. Mungkin yang paling penting,
kemungkinan adanya du dua pegklaim di setiap kesukan yang terjadi di kedua ibu
dan bayi sehingga menggandakan resiko yng dimiliki perawat dan tenaga kesehatan
lain (Ellis et al., 1995; Lederman et al., 1991).
2.2.1
Prakti Keperawatan dan Akuntabilitas
Saat ini, praktik keperawatan diatur
oleh setiap negara dalam bentuk undang- undang prakti keperawatan. Undang-
undang praktik keperawatan menetapkan ruang lingkup praktik, yang
menyatakan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan oleh
perawat dengan menetapkan syarat tertentu untuk pendidikan, lisensi, dan
standar keperawatan karena syarat tersebut berada di setiap negara tanggung
jawab perawat adalah mengenal undang- undang praktik keperawatan diwilayah
tempat praktinya.
Standar perawatan menggambarkan
tingkat perawat yang dapat diharapkan pada praktisi. Standar tersebut berasal
dari definisi dari praktik keperawatan yang ditetapkan oleh undang-
undangprakti keperawatan. Standar keperawatan ditentrukan oleh rumah sakit atau
instansi lain yang memperkerjakan perawat dan oleh organisasi profesional,
seperti association of Womens , Obsetric and Neonatal Nurses
(Asosiasi Kesehatan Wanita, Perawat Obstetrik Dan Perawat Neonatus), yang dulu
dikenal sebagai Nurses Associationof the
American of Obstetricians and Gyinecologysts. Perawat sangat memegang teguh
terhadap standar tersebut. Penting bagi perawat untuk mengetahui dan
mengimplementasikan standar keperawatan yang berlaku dimasyarakat karena
kegagalan melakukan akan menghasilkan pelanggaran
tugas atau kelalaian (Ellis et
al., 1995). Fakta tertentu perlu ditegakkan bahwa seseorang –perawat perlu
ditegakkan bahwa seorang perawat telah gagal memenuhi standar keperawatan.
Dalam praktik kperawatan saat ini,
perawat bertanggung jawab atas prawatan klien mereka tidak hanya secara moral
dan etik, tetapi juga secara hukum. Dimasa lalu, sebelum perawat kesehatan
menjadi sangat kompleks dan perawat mengembangkan peran mereka, institusi dan
para dokter dianggap paling bertanggung jawab. Akan tetapi dengan meningkatnya
pendirian dalam keperawatan, perawat bertanggung jawab terhadap klien untuk
mendapatkan asuhan keperawtan dan dalam tingkat tertentu bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan klien.
Akuntabilitas juga meluas melebihi ruang
lingkup perawatan yang diberikan oleh individu perawat. Jika perawat mengetahui
bahwa perawatan yang diberikan oleh anggota tim lainnya tidak tepat atau
bermutu rendah, ia juga memliki kewajiban hukum dan etik untuk melaporkan
kpihak yang berwenang (Ellis et al., 1995 ; Purcell, 1988 ; Reilly, 1989).
Tindakan hukum dapat dilakukan untuk menindak seorang perawat yang melakukan
pelanggaran tugas atau kelalaian. Asuransi tanggung wajib pribadi, adalah
tindakan preventif untuk melindungi perawat dari kerugian besar yang mungkin di
hasilkan dari tindakan hukum yang
menentang mereka. Setiap perawat harus memiliki asuransi tanggung wajib
profesional. Hal ini sebagai tambahan atas asuransi yang disediakan oleh
institusi yang memperkerjakan perawat. Asuransi instutisional biasanya hanya
meliputi jam kerja perawat di institusi tersebut, bukan pada saat mereka
praktik diwaktu yang lain. Biaya hukum dalam tuntutan perkara dan kemungkinan
penyelesaian atau persidangan dapat sangat menghancurkan. Terlebih lagi,
semakin sering institusi menuntut perawat yang terlibat jika institusi
mengalami gugatan malpraktik (Elliset al., 1995 ; Lodeman, 1991). Karena
cakupan asuransi yang adekuat biasanya dapat dibeli dengan harga yang pantas,
hal tersebut merupakan investasi yang sangat berharga untuk perlindungan
pribadi perawat.
2.3
Perkembangan Etik dan Hukum Sebelum Konsepsi
Pasangan sering kali mendapat kesulitan
untuk hamil. Natinal Center for Healty
Statistic memperkirakan bahwa saat ini hampir separuh wanita menikah yang
berusia 15 hingga 14 tahun mengalami infertilisasi sampai beberapa derajat, dan
10% pasangan menikah gagal hamil setelah satu tahun tidak menggunakan
kontrasepsi (Goode et al., 1993).
Dalam 15 tahun terakhir, kemajuan teknik
kedokteran, telah menghasilkan metode reproduksi tanpa hubungan seksual,
termasuk inseminasi buatan dan fertilisasi in vitro dengan transfer embrio (In Vitro Fertilization With Embryo Transfer,
IVE/ ET). Seperti halnya kontra sepsi, reproduksi buatan dipertahankan oleh
para pendkungnya sebagai pengokohan kehidupan, sementara dicelaoleh para
penentangnya karena tidak ada alamiahnya. Selain itu, telah muncul sesuatu yang
disebut penulis sebagai “huckstrims” atau
publisitas yang mengelilingi banyak teknolgi, terutama IVF /ET. Sebagaian
memandang publisitas ini sebagai eksploitasi terhadap pasangan yang tidak
subur, terutama jika disertai dengan publisitas tentang tingkat kesuksesan
beberapa pusat yang menggunakannya. Profesional yang mendorong kehati- hatian
tersebut menyatakan bahwa insiden kelahiran hidup (
bukan kehamilan) masih rendah dengan teknik- teknik tersebut (Goode et al., 1993 ; Macklin, 1991 ; Shearer ; 1988).
bukan kehamilan) masih rendah dengan teknik- teknik tersebut (Goode et al., 1993 ; Macklin, 1991 ; Shearer ; 1988).
2.3.1
Inseminasi Buatan
Inseminasi
buatan, merupakan sperma pada os serviks atau
didalam uterus secara mekanis, dapat dilakukan dengan dua metode. Dalam
inseminasi buatan dari suami (artificial
insemiation from the husband, AIH), sperma yang berasal dari suami klien
disimpan dalam saluran reproduksi istrinya. Metode ini mungkin tidak terlalu
kontoversial dibandingkan semua metode reproduksi yang dibantu karena jelas
siapa orang tua genetis dan sosiologisnya. Beberapa golongan agama keberatan
dengan dilakukan masturbasi sebagai cara pengumpulan sperma, tetapi pada
umumnya metode ini tidak menimbulkan pertannyaan etik dan hukum.
Metode kedua, inseminasi buatan dari
donor (artificial inseminaton from a
donor, AID), lebih problematika. Dengan AID, wanita di insminasi dengan
sperma dari donor yang tidak dikena. Metode ini memisahkan orang tua
sosiologisnya (suami wanita tersebut) dari perannya dalam konsepsi keturunan.
AID menjadi tindakan yang sangat diminati ketika suami tidak dapat atau sangat
sedikit menghasilkan sperma. AID juga digunakan ketika suami menderita cacat
genetik atau sensitif Rh. Dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan prosedur
ini tlah berkurang karena kemungkinan adanya penularan human
immunodeficiency virus (HIV),
sekarang dilakukan skrining HIV pada seluruh donor dan setiap spesimen. Selama
suami setuju, donor tidak dianggap sebagai ayah yang sah atas anak tersebut.
Seperti yang dilihat, model terapeutik ini menempatkan kontrak diatas semua
pihak diatas semua pertimbangan genetik atau “garis keturunan “. Model ini
telah disarankan sebagai model untuk transfer embrio, tetapi adanya pertanyaan
apakah model itu sesuai (Holmes., 1988, Macklin 1991: Goode et all., 1993).
Kewajiban hukum dipenuhi berdasarkan
persetujuan tindakan tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak istri, suami
dan donor. Direkomendasikan agar seluruh pihak tidak menuliskan nama.
Direkomendasikan juga agar dokter diberi wewenang untuk memilih donor.
Rekomendasi ini menimbulkan pertanyaan tentang batas kewenang profesional,
terutama karena akhir- akhir ini terdapat sekandal jika dokter diberi hak ini;
persetujuan biasanya meliputi ketentuan bahwa rofesional kesehatan tidak
bertanggung jawab jika anak itu lahir dengan abnomarlitas. Pertanyaan tentang
keabsahan anak dapat diselesaikan dengan adopsi(Goode, 1993; Bonnicksen, 1988).
2.3.2
Fertilisasi In Vitro dan Transfer Embrio
A. Definisi
Fertilisasi invitro
Bayi tabung atau dalam
bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF) adalah suatu
upaya memperoleh kehamilan dengan jalan
mempertemukan sel sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus. Pada
kondisi normal, pertemuan ini berlangsung di dalam saluran tuba. Dalam
proses bayi tabung proses ini berlangsung di laboratorium dan dilaksanakan oleh
tenaga medis sampai menghasilkan suatu embrio dan di iplementasikkan ke dalam
rahim wanita yang mengikuti program bayi tabung tersebut. Embrio ini juga
dapat disimpan dalam bentuk beku (cryopreserved) dan dapat digunakan
kelak jika dibutuhkan. Bayi tabung merupakan pilihan untuk memperoleh
keturunan bagi ibu-ibu yang memiliki gangguan pada saluran tubanya. Pada
kondisi normal, sel telur yang telah matang akan dilepaskan oleh indung telur
(ovarium) menuju saluran tuba (tuba fallopi) untuk selanjutnya menunggu sel
sperma yang akan membuahi sel telur tersebut tersebut. Dalam bayi tabung
proses ini terjadi dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan (embrio) maka
segera di iplementasikan ke rahim wanita tersebut dan akan terjadi kehamilan
seperti kehamilan normal.
Dari segi tehnik, karena prosedur
konsepsi buatan ini sangat menegangkan, tingkat keberhasilannya belum begitu
tinggi, dan biayanya sangat mahal, maka pasangan suami istri (pasutri) yang
diterima untuk program ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
ü Telah
dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya.
ü Terdapat
indikasi yang sangat jelas.
ü Memahami
seluk beluk prosedur konsepsi buatan secara umum
ü Mampu
membiayai prosedur bayi tabung ini
B. Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap
Inseminasi Buatan
1) Jika benihnya berasal dari Suami Istri
ü Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri
maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai
anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki
hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
ü Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di
saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300
hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun
jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hokum ps.255 KUHPer.
ü Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan
penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No.
1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat
menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau
dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan
tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai
dengan ps.1320 dan 1338 KUHPer.)
2) Jika salah satu benihnya berasal dari donor
ü Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel
telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan
setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang
dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes
golongan darah atau tes DNA.Dasar hokum ps.250 KUHPer.
ü Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps.250 KUHPer.
3) Jika semua benihnya dari donor
ü Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang
tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh
seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
ü Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak
tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak
terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula
anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur
berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai
anaknya.
Dari
tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan
yang terjadi dalam program fertilisasi in vitro transfer embrio ditemukan
beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover
kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada
khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan
embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan
mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang
sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia.
Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
penerapan teknologi fertilisasi in vitro transfer embrio ini pada manusia
mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang
Etika
Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut
di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil
Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada
hakekatnya menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan
serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya
kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar
ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1) sel atau jaringan dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoklonal.
2) sel atau jaringan hewan untuk
penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri
sendiri
2.3.3
Ibu Pengganti
Perkembangan
teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi
buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program
bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang
dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri
yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in
virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate
mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu
wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung,
melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi
kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri
tersebut tidak bisa mengandung.
Praktek
surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar
cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit
tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
1) hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
2) dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3) pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Hal
ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur
dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara
hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal
16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa
kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
: 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan
hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang
sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan
suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut,
terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya
kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel
telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri
bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya
(surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal
ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari
pasangan suami isteri tersebut.
2.3.4
Amniosintesis
Amniosintesis telah ada lebih dari satu
dekade dan diskusikan secara lengkap pada bab 13. Masalah etik dan hukum
mengenal prosedur ini mencakup kesalahan kelalaian dan kesalahan perbuatan.
Contohnya jika seorang wanita yang dicalonkan untuk menjalani tes karena usia
(diatas 35 tahun ) melahirkan dengan anak anomali kromosom atau memiliki
riwayat penyakit genetik dan tidak diperhatikan pada saat tes, profesional
perawat kesehatan dapat bertanggung
jawab jika ia melahirkan bayi yang cacat.
Resiko dan keuntungan tes juga harus dijelaskan
kepada klien, dan harus mendapat persetujuan tindakan. Jika ibu telah dites, diberi
tahu bahaya janinnya normal, kemudian melahirkan bayi yang cacat, profesional
perawat kesehatan dan laboraturium yang melakukan tes harus bertanggung jawab.
Meskipun profesional kesehatan mempunyai keyakinan pribadi tentang efektifitas
tes, memiliki pendapat mengenai apakah pendapat tentang wanita harus
menggugurkan kandungan jika hasil tes adanya janin yang cacat, atau memiliki
keberatan berdasarkan moral, etika atau agama berdasarkan tes tersebut,
profesional keperawatan kesehatan tetap berkewajiban memberi tahu klien tentang
tes dan merujuk ketempat lain (Stern, 1988 ; Freda, 1994)
2.4
Pertimbangan Etik dan Hukum dalam Aborsi
Konflik saat ini, antara kelompok pro-
pilihan (prochoice) dan pro kehidupan
(profile) telah menyulutkan api yang
membangkitkan sekitar topik aborsi. Perawat harus mengerti posisi etik mereka
dalam masalah ini jika ingin memberikan keperawatan yang berkualitas kepada
klien. Perawat terlibat konseling pada klien tentang aborsi dari sudut pandang
yang beragam, ulasan singkat tentang pertimbangan etik dan hukum dijelaskan
pada bagian selanjutnya.
2.4.1
Perkembangan Etik
Etika dalam masalah aborsi berkisar pada masalah
mengakhiri kehidupan janin dengan cara memindahkan janin dari sistem pendukung
kehidupannya. Telah diperdebatkan bahwa apbila manusia diberika sebuah pilihan,
ia akan memilih kesehatan dan tidak akan mengalami penderitaan. Lebih jauh,
perdebatan berlanjut, manusia tudak memiliki hak untuk membebankan oleh akibat
tragis dari penyakit yang terdeteksi pada janin. Dengan menggugurkan janin yang
cacat, “ ketiadaan” terjadi bukan penderiataan karena hidup dengan abnormalitas. Janin yang rusak dapat diganti
dengan yang normal pada kehamilan berikutnya. Walaupun alasan ini mendukung
pengguguran janin yang rusak, alasan ini tidak mebahas tindaka etika aborsi
pada hasil konsepsi yang sehat (atau tidak direncanakan). Hal ini juga menimbulkan
masalah tentang siapa yang menetukan normal atau sehat (cohen, 1990 ; Overall,
1990 ; Freda , 1994).
Pendukung
kelompok pro- pilihan mengambil sikap bahwa ibu memiliki tanggung jawab pokok
dan kebebasan memilih atas apa yag terjadi pada tbuhnya. Kelompok pro- pilihan
ini bukan kelompok pro- aborsi. Pendukung kelompok pro- pilihan menekankan
penggunaan aborsi hanya untuk sebagai usaha terakhir. Meraka menjunjung tinggi
nilai penggunaan kontasepsi, amniosintesis untuk menentukan defek janin, dan
adopsi jika memungkinkan. Pendukung kelompok pro kehidupan percaya bahwa janin
adalah manusia sejak konsepsi dan karena itu menghancurkan kehidupan manusia
adalah pembunuhan dan tidak dapat dipertahankan secara moral.
2.4.2
Pertimbangan Hukum
Pada tahun 1973, dalam kasus bersejarah Ros
vs wade, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aborsi adalah
tindakan yang sah di Amerika serikat. Keputrusan tersebut membuat hukum- hukum
negara bagian yang melarang aborsi menjadi tidak berlaku karena hukum- hukum semacam
itu menyerang privasi ibu (Annas, 1986). Keputusan tersebut juga menetapkan
beberapa point lain sebagai berikut.
v Negara
bagian tidak dapat mencegah sorang wanita untuk melakukan aborsi
setiap saat pada trisemester pertama yang dilakukan oleh dokter yang memiliki izin.
v Negara
bagian dapat mengatur dan bahkan melarang aborsi pada trisemester ke tiga,
kecuali jika kehidupan atau keselamatan ibu terancam.
v Negara
bagian memiliki hak untuk memberi perlindungan terhadap janin pada trisemester
terakhir.
2.5
Pertimbangan Etik dan Hukum untuk Janin Neonatus yang Sakit dan Ibu
Mungkin
area perinatologi dan neonatologi yang paling dipenuhi dengan
perselisihan, diskusi, perdebatan dan dilema etik dan hukum adalah area
keperawatan intensif neonatus dan penelitian janin serta penangananannya.
Ironisnya, banyak masalah pada area ini merupakan hasil kemajuan teknologi yang
dikembangkan dalam bidang neonatologi dan perinatologi. Janin yang secara alami
mengalami abortus atau telah lahir mati pada 5 tahun yang lalu, sekarang dapat
dipertahankan di uterus sampai janin mendekati cukup bulan. Bayi yang tidak
memiliki kesempatan untuk bertahan hidup pada satu dekade yang lalu, sekarang
dapat menjalani hidup yang relatif sehatdan produktif. Kemudian, apa yang
menjadi penyebab perdebatan ?
Dengan terus berkembang kemajuan
teknologi dan keahlian, akan ada lebih banyak usaha untuk menyelamatkan janin
pada tahap sedini mungkin, walaupun dwngan kondisi yang parah. Dalam banyak
kasus seperti ini, bayi baru lahir “selamat” dapat mengalami kecacatan yang
parah secara fisik atau mental. Usaha heroik dilakukan oleh profesional
kesehatan untuk memperpanjang kehidupan, sementara ini dipertahankan apakah ini
demi kepentingan bayi baru lahir dan keluarga. Petugas kesehatan dan orang tua
sering kali dilema etik dan moral ini karena peraturan dan pedoman federal
(Cunningham et al., 1990 ; Penticuf, 1994).
2.5.1 Janin
Janin memiliki hak sejak waktu konsepsi
dan dapat menjadi ahli waris atas sebuah kepercayaan dan harta benda. Walaupun
secara hukum tidak dianggap sebagai manusia hingga saatnya lahir, hak janin di
junjung tnggi dipengadilan. Sebagai contoh, seorang wanita di instruksikan
untuk menjalani seksio sesaria oleh pengadilan karena adanya gawat janin.
Wanita tersebut menoloak prosedur dan bersikeras meninggalkan rumah sakit.
Setelah berundig dengannya, staf resmi rumah sakit resmi mendapat perintah agar
wanita tersebut menjalani seksio sesari. Ini merupakan pertama kali wanita
dipaksa melakukan pembedahan. Pada kasus lain, pengadilan menginstruksikan
seorang ibu yang merupakan saksi jehovan
untuk mendapatkan transfusi darah guna menyelamatkan jiwa janinnya (Nelson et
al., 1988 ; Mattingly, 1992).
a.
Penelitian
Janin
Walaupun pendanaan
pemertintah federal untuk penelitian janin tetap menjadi isu tren
kontroversial, banyak pendukung percaya bahwa penelitian tersebut memiliki
potensi besar untuk mencegah penyakit yang merugikan. Akan tetapi banyak,
negara bagian yang mengadakan penelitian janin secara ilega, khususnya ketika
janin megalami abortus atau janin masih didalam utrus. Etika transplantasi
jaringan janin seru diperdebatkan. Beberapa pertanyaan sulit muncul mengenai
hak ibu vs janin :
v Apakah
ibu memiliki hak untuk menentukan apa hendak dilakukan terhadap janinnya?
v Apakah
ibu berencana untuk aborsi memiliki hak untuk mengizinkan percobaab untuk
uterusnya?
v Dapatkah
janin yang digugurkan diusahakan tetap hidup untuk tujuan penelitian?
Pedoman
federal mengharuskan penelitian janin dirancang untuk memenuhi kebutuhan janin,
berisiko mnimal, dan berpotensi untuk mengembangkan ilmu kedokteran yang
penting. Pedoman gelobal ini mengizinkan interprestasi yang luas. Para ahli
setuju bahwa kita berada diambang penemuan yang hebat. Akan tetapi, dengan
kemajuan ini akan datang keputusan yang lebih sulit bagi calon orang tua dan
mereka yang merawatnya (Stotland, 1990; Ryan 1990 ; Robertson, 1994 ;
McCormick, 1994).
b.
Terapi
janin
Kemajuan
teknologi telah menghasilkan kemampuan untuk mengeluarkan cairan spinal dari
otak janin (sefalosintesis), mengkateterisasi janin di dalam uterus,
mengeluarkan bagian tubuh janin yang paling bawah dari uterus utuk memperbaiki
obstruksi saluran kemih, mentransfusi janin di dalam uterus, memperbaiki gastrokisis,
dan memperbaiki defek skeletal melalui pembedahan. Walaupun ini menjadi batu
loncatan yang penting dalam lingkup terapi, peneliti biasanya memberikan
peringatan dan memperhatikan sifat eksperimen pada berbagi terapi (McCormick,
1994; Grodin, 1990 ; Evans et al., 1990). Mareka yang melakukan pendekatan yang
lebih konservatif menyatakan bahwa satu- satunya malformasi anatomi yang
mmerlukan prtimbangan adalah malinformasi yang mengganggu perkembangan organ
janin dan jika malformasi telah diperbaiki, akan memungkinkan berlanjutnya
perkembangan janin secara normal.
Committee on Biothics
of the American Academy of Pediatrics (1990) mengatakan bahwa wanita dan janinnya
lebih sering dipandang sebagai dua entitas yang dapat ditangani. Namun, mereka
memperingatkan bahwa semntara beberapa prosedur diagnotik janindalam terapi
uterus, seperti amniosintesis dan transfusi janin intra uterus, telah menjadi
praktik standar yang terbukti efektif, itervensi janin lain, seperti galihan
pirau untuk hidrosefalus atau uropati obstruktif, dianggap sebagai prosedur
penelitian dan bukan standar praktik kedokteran. Dengan demikian, kegunaannya
swaat ini kurang jelas. Menurut pendapat mereka, intervensi ini harus
didaftarkan kbadan pendaftaran iternasional yang didirikan untuk mencatat
pengalaman dari intervensi eksperiemental ini. Secara umum, pendapat ini
diperaktikkan oleh mayoritas praktisi lain ingin mendorong batasan penelitian
demi “kebaikan masyarakat” dimasa depan (Grodin, 1990 ; Stotlend, 1990 ;
Robertsond, 1994).
2.5.2 Neonatus yang Sakit
Pertanyaan
dan konflik etik dan hukum juga muncul pada neonatus yang sakit. Beberapa
banyak neonatus yang harus menderita demi kehidupan? Yang paling penting, mana
yang harus dihargai – kesucian kehidupan atau kualitas kehidupan ? Dokter,
perawat, dan orang tua akan terus menghadapi dilema ini sejalan sejalan dengan
terus menurunnya angka mortalitas bayi. Rata- rata 3,5 juta neonatus dilahirkan
di Amerika Serikat setiap tahun, sekitar 2500.000 lahir dengan defek yang
bermakna atau mengalami cidera pada saat mengalami kemajuan dalam upaya untuk
menyelamatkan jiwa, tetapi hasil jagka panjangnya masih dipertanyakan.
2.5.3 Ibu
Satu masalah hukum dan
etik yang kontroversial seputar ibu adalah apakah ibu hamil harus dipaksa oleh
hukum untuk menerima terapi medis atau pembedahan untuk kepentingan janin.
Beberapa kasus keadaan luar biasa berfokus pada maslah ini. Dalam satu kasus,
pertannyaan etik beredar seputar ketepatan menggunakan sistem pendukung
kehidupan pada ibu dalam jangka pendek untuk meningkatkan hasil janin
subtansial. Telah diperhatikan bahwa penggunaan tubuh ibu untuk kepentingan
janinnya dapat diizinkan jika ibu telah memberikan persetujan sebelumnya atau
mendatatangani kartu donor anatomi. Jika tidak mendaptkan persetujuan dari
ibu,izin harus didapat dari keluarga terdekatnya(Annas 1986b). Kasus seperti
ini tidak terelakan lagi dapat menciptakan kontroversi dan pendapat yang
bertentangan antara kelurga dan pemberi perawatan kesehatan. Mereka
mempertanyakan batas- batas kebajikan, kewenangan, dan hak klien atas
integritas tubuhnya. Dalam keadaan saat ini, pendapat ini tidak akan
dipertahankan oleh kebanyakan klien, petugas kesehatan, pakar etika.
Pada bulan April 1990, District of Columbia court of Appleas
menyatakan pendapatnya dalam Re A.
C., kasus yang banyak dipublikasikan mengenai perintah pengadilan untuk
melakukan seksio sesaria pada seorang wanita yang sekarat pada Juni 1987.
Keputusan pengadilan yang menetapkan bahwa “sebenarnya semua kasus yang
mempertanyakan tentang apa yang harus dilakukan akan diputuskan oleh klien-
wanita hamil- atas nama dirinya dan janin” adalah sebuah penetapan keteladanan atas otonomi wanita
hamil dalam membuat keputusan perawatan kesehatannya sendiri (Allen, 1990).
Mahasiswa dapat memebaca perincian tentang penetapan keteladanan ini dari sumber- sumber yang tertera didaftar
bacaan yang dianjurkan.
Dalam
penjelasannya, pengadilan menekankan pentingnya integritas tubuh klien dan
menegaskan bahwa ini adalah milik individu yang kompeten dan tidak kompeten. Keputusannya juga mengakui secara
yudisial wewenang wanita hamil untuk mengmbil keputusan secara otonomi, yang
lebih jauh menyatakan bahwa ikut campur tangan dalam menyeimbangkan kepentingan
ib dan janin. Pendapat ini sama dengan pendapat komite American College of Gynecologist (ACOG) mengenai konflik Ibu
Janin. Melalui keputusan dalam A.C., pemberi perawatan kesehatan diharapkan
menghindari usaha lewat pengadilan (Allen, 1990). Tidak seperti kasus ekstrem
sebelumnya, masih ada pertanyaan mengenai seberapa jauh hukum harus memaksa
wanita untuk menerima terapi medis rutin atau terapi pembedahan untuk
kepentingan janinselam kehamilan. Terapi tersebut tidak mencakup kehadiran
rutin sesui perjajian medis, mematuhi beragam pemeriksaan dan terapi,atau
bahkan mematuhi rekomendasi untuk tidak melakukan hubungan seksual, memakai
obat- obatan, mengkonsumsi akohol atau berolahraga. Di mata sebagaian orang,
jika ibu menolak mematuhi program yang dianjurkan, ia harus dikenakan tuntutan
kriminal. Namun, sebagian besar spesialis etika atau dokter percaya
(sebagaimana ditetapkan dalam A.C), bahwa tidak ada dasar hukum, etika atau
moral yang membenarkan pengadilan untuk
memerintahkan serang wanita untuk mrnjalani prosedur medis atau prosedur
pembedahan untuk kepentingan janin, terutama jika wanita hamil keberatan
terhadap pelarangan, terapi atau prosedur (Nelson et al., 1988 ; Annas, 1986b ;
Ryan 1990 ; Gates 1990).
2.5.4 Tanggung Jawab Perawat
Perawat bekerja
dalam perawatan maternitas dan perinatal, memiliki tanggung jawab terhadap
wanita dan janin atau bayi baru lahir. Pengetahuan mengenai nilai dan
kenyakinan diri sediri yang dibarengi dengan pengetahuan standar, ruang lingkup
praktik dan peraturan hukum membantu dalam pengam bilan keputusan yang efektif.
Perawat memiliki
kewajiban tertentu terhadap wanita. Ia harus memiliki pengetahuan dan keahlian
untuk menggunakan peralatan yang diperlukan untuk keperawatan wanita, khususnya
monitor janin. Ia harus mengetahui panduan untuk pemantauan yang dikembangkan
oleh ACOG. Perawat harus pandai membaca monitor secara akurat , membuat catatan
yang sesuai dan melaporkan komplikasi secepatnya kepada dokter. Kaset rekaman
monitor harus disimpan dengan baik karena kaset tersebut seringkali menjadi
bukti penting atas terjadinya gugatan mal praktik didunia kedokteran.
Pentingnya
perawat untuk mencatat hasil observasi, terapi, prosedur, pengobatan, dan
setiap informasi tepat lainnya dan akurat tidak dapat cukup ditekankan. Banyak
kasusu malpraktik lemah dibawa kepengadilan karena kesalahan atau kelalaian
dalam pencatatan dan perekaman.
Area
tanggung jawab penting lainnya adalah mengamati bayi baru lahir dan ibu secara
cermat setelah pelahiranan dan melaporkan serta mencatat setiap tanda
konplikasi atau masalah. Perawat dapat dimintai pertanggung jawabannya atas
terjadinya konplikasi pada ibu dan bayi baru lahir. Sangat penting agar perawat
memiliki pengetahuan luas mengenai tanggung jawab dan pemberian perawatan yang
tepat.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
v Etika berasal dari bahasa Yunani
Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika
sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan
kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
v Hukum merupakan peraturan-peraturan
hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib
dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa hukuman) terhadap
siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
v Etika Teknologi Reproduksi Buatan
belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan
khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III,
April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya menolak kloning pada
manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia
v bayi
tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu
menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian
embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi
masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana
(pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak
tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
v Menurut etika kedokteran, setiap
dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun karena masih terdapat pertentangan
maksud pasal dan sumpah dokter yang berkaitan dengan waktu dimulainya
suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam
kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
v Aborsi dapat dibenarkan sccara hukum
apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis
v Tanggung
jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-tugas
yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam
pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik.
v Dalam
konteks hukum, tanggung jawab merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan,
sedangkan kewajiban merupakan keharusan bagi seseorang.
3.2
Saran
Kesadaran
perawat akan pentingnya mempelajari hukum, sangat diperlukan. Tidak hanya untuk
perlindungan untuk perawat itu sendiri dalam melaksanakan tugas, akan tetapi
juga masyarakat pada umunya. Perawat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan
koridor hokum, akan menjamin keamanan dalam bidang hokum bagi perawat dan juga
pasien. Penting untuk perawat melaksanakan tugasnya sesuai dengan etika
keperawatan, mengetahuai hak dan kewajiban, peran dan fungsi, tanggung jawab
dan tanggung gugat.
Hendaknya
mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujud nyatakan peran perawat yang
legal etis dalam pengambilan keputusan dalam konteks etika keperawatan.
0 komentar:
Posting Komentar