Selasa, 19 November 2013

ASKEP POSTOPERATIF : PROSES KEPERAWATAN PASCAOPERATIF

PROSES KEPERAWATAN PASCAOPERATIF
Ns. SUMARDA

Proses keperawatan pasca operatif pada praktiknya akan dilaksanakan secara berkelanjutan baik di ruang pemulihan, ruang intensif, dan ruang rawat inap bedah. Untuk di ruang pemulihan akan dilaksanakan secara mandiri oleh penata anestesi. Keahlian perawat pascaoperatif dibentuk dari pengetahuan keperawatan professional dan keterampilan psikomotor, yang kemudian dibaurkan ke dalam tindakan keperawatan yang harmonis, kemampuan dalam pengenalan masalah pasien yang resiko atau actual yang akan didapatkan pada setiap fase perioperatif didasarkan atas pengetahuan dan pengalaman keperawatan perioperatif akan mengarahkan  perencanaan intervensi keperawatan untuk membantu penanganan atau pencegahan masalah. Rencana keperawatan disusun sesuai dengan respons pasien dan dievaluasi keefektifan nya dalam memenuhi tujuan pasien dan keperawatan.
Fase pascaoperatifadalah suatu kondisi dimana pasien sudah masuk di ruang pulih sadar sampai pasien dalam kondisi sadar betul untuk dibawa ke ruang rawat inap.
PROSES KEPERAWATAN DI RUANG PULIH SADAR
Ruang pulih sadar (recovery room) atau unit perawatan pascaanestesi (PACU) merupakan suatu ruangan untuk pemulihan fisiologis pasien pascaoperatif. PACU biasanya terletak berdekatan dengan ruang operasi. Pasien yang masih di bawah pengaruh anestesi atau yang pulih dari anestesi ditempatkan di unit ini untuk kemudahan akses ke : 1 ) perawat yang disiapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera; 2) ahli anestestesi dan ahli bedah; 3) alat pemantau dan peralatan khusus, medikasi, dan penggantian cairan, dalam lingkungan ini, pasien diberikan perawatan spesialis yang disediakan oleh mereka yang sangat berkualifikasi untuk memberikannya.
Ruangan dijaga agar tenang , bersih, dan bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan. Ruangan juga harus dicat dengan warna yang lembut, menyenangkan, dan mempunyai : 1) pencahayaan tidak lansung ; 2) plafon kedap suara ; 3) peralatan yang mengontrol atau menghilangkan suara ; dan 4) ruang terisolasi (kotak berkaca) untuk pasien yang terganggu . gambaran ini juga memberikan nilai psikologis bagi pasien untuk menurunkan ansietas.
Alat pemantau tersedia untuk memberikan penilaian yang akurat dan cepat tentang kondisi pasien . peralatan khusus termasuk tipe alat bantu pernapasan, yaitu oksigen, laringoskop, set traekostomi, peralatan bronchial, kateter, ventilator mekanis, dan peralatan suction. Peralatan lain diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi, seperti apparatus, tekanan darah, peralatan parenteral, plasma ekspander, nampan berisi set intravena, set pembuka jahitan, peralatan henti jantung, defibrillator, keteter vena, dan tourniquet. Bahan-bahan balutan bedah, narkotik,medikasi kedaruratan, set kateterisasi, dan peralatan drainase, tempat tidur pemulihan memberikan akses mudah dan cepat ditempatkan dalam posisi syok, dan mempunyai kelengkapan yang memudahkan perawatan, seperti tiang intravena, pagar tempat tidur brankar beroda , dan rak penyimpan kertas catatan.
Pengkajian
Pengkajian dan intervensi pada saat pemindahan
Pengkajian pascaanastesi dilakukan sejak pasien mulai dipindahkan dari kamar operasi ke ruang pemulihan. Pengkajian dilakukan saat memindahkan pasien yang berada di atas brankar, perawat, mengkaji dan melakukan intervensi tentang kondisi jalan napas, tingkat kesadaran, status vascular, sirkulasi, pendarahan, suhu tubuh, dan saturasi, oksigen. Pengaturan posisi kepala pada saat pemindahan sangat penting  dilakukan dengan tetap menjaga kepatenan jalan nafas.
Saat pasein masuk ke PACU, perawat dan anggota tim bedah menyerahkan status pasien. Laporan tim bedah mencakup laporan tentang obat anestesi yang diberikan, sehingga perawat PACU dapat mengantisipasi dengan mudah pasien mana yang seharusnya sudah sadar. Laporan pemberian cairan IV atau transfusi darah selama pembedahan berlansung mengingatkan perawat pada keseimbangan cairan dan elektrolit. Dokter bedah sering melaporkan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian khusus (misalnya pasien yang beresiko mengalamai pendarahan atau infeksi) . perawat menerima laporan adanya komplikasi yang terjadi selama pembedahan berlansung, laporan ini diberikan saat petugas PACU menerima kedatangan pasien. Perawat akan memasang berbagai jenis peralatan monitor, seperti alat monitor tekanan darah noninvasif, alat monitor EKG, dan oksimeter nadi, pada periode pemulihan ini, sebagian besar pasien menerima oksigen melalui  beberapa cara.
Pada saat pasien siap dipindahkan dari PACU, petugas memberitahu divisi keperawatan tentang kedatangan pasien. Hal ini akan memudahkan petugas keperawatan untuk member informasi kepada anggota keluarga pasien tentang tindakan pembedahan yang telah dijalani. Perawat biasanya menganjurkan anggota keluarga untuk tetap berada di ruang tunggu sehingga mereka dapat dengan mudah ditemukan jika dokter bedah datang untuk menjelaskan kondisi pasien. Dokter bedah akan memberi gambaran tentang status pasien. Dokter bedah akan memberi gambaran tentang status pasien, hasil pembedahan,dan adanya komplikasi.
Pasofisiologi masalah keperawatan di ruang pemulihan
Pasien pascaoperasi akan mengalami perubahan fisiologis sebagai efek dari anestesi dan intervensi bedah. Efek dari anestesi umum terlihat pada system respirasi, dimana akan terjadi respons depresi pernapasan sekunder dari sisa anestesi inhalasi, penurunan kemampuan terhadap control kepatenan jalan nafas karena kemampuan memposisi kan lidah secara fisiologis masih belum optimal . kondisi ini menyebabkan adanya masalah keperawatan jalan nafas tidak efektif dan resiko tinggi pola nafas tidak efektif.

Efek anestesi akan mempengaruhi mekanisme regulasi sirkulasi normal sehingga mempunyai resiko terjadinya penurunan kemampuan jantung dalam melakukan stroke volume efektif yang berimplikasi pada penurunan curah jantung . efek intervensi bedah dengan adanya cedera vascular dan banyaknya jumlah volume darah yang keluar dari vascular adalah terjadinya penurunan perfusi perifer, perubahan elektrolit , dan metabolism karena terjadi mekanisme kompensasi pe ngaliran suplai hanya untuk organ vital. Efek anestesi juga mempengaruhi pusat pengatur suhu tubuh sehingga kondisi pascabedah cenderung mengalami hipotermi.
Efek anestesi pada system saraf pusat akan mempengaruhi penurunan control kesadaran dan kemampuan dalam orientasi pada lingkungan sehingga pasien yang mulai sadar biasanya gelisah. Kondisi penurunan reaksi anestesi akan bermanifestasi pada munculnya keluhan nyeri akibat kerusakan neuromuscular pascaoperasi. Pasien pascaoperasi cenderung mengalami kecemasan pascaoperasi sehubungan dengan penurunan kemampuan adaptasi normal.
Secara umum, efek anestesi  juga mempengaruhi terhambatnya jaras aferen dan eferen terhadap control miksi, sehingga berimplikasi pada masalah gangguan pemenuhan eliminasi urine. Efek anestesi akan menimbulkan penurunan peristaltic usus dan berimplikasi pada peningkatan resiko paralisis usus dengan distensi otot-otot abdomen  dan timbulnya gejala obstruksi gastrointestinal. Efek anestesi juga mempengaruhi penurunan kemampuan pengosongan lambung. Sehingga cenderung terjadinya refluks esophagus dan makanan keluar ke kerongkongan yang memicu terjadinya aspirasi makanan ke saluran nafas.
Respons pengaturan posisi bedah akan menimbulkan peningkatan resiko terjadinya tromboemboli, parastesia, dan cedera tekan pada beberapa penonjolan tulang. Efek intervensi bedah akan meninggalkan adanya kerusakan integritas jaringan dengan adanya luka pasca bedah dan adanya system drainase pada sisi luka bedah. Efek anestesi akan mempengaruhi penurunan control otot dan keseimbangan secara sadar sehingga pasien beresiko tinggi cedera.
Pengkajian Di Ruang Pemulihan
Pengkajian di ruang pemulihan berfokus pada keselamatan jiwa pasien. Fokus pengkajian meliputi : pengkajian resprasi, sirkulasi, status neurologi, suhu tubuh, kondisi luka dan drainase, nyeri, gastrointestinal, genitourinary, cairan dan elektrolit, psikologi dan kemanan peralatan.
Table 5-1 membantu perawat untuk memfokuskan sistematika pengkajian pada pasien pascaoperatif di ruang pulih sadar.
Table 5-1 pedoman pengkajian pascaoperatif
pengkajian
Implikasi dan hasil pengkajian
Pengkajian awal
·         Pengkajian awal pascaoperatif adalah sebagai berikut:
·         Diagnosis medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
·         Usia dan kondisi umum pasien, kepatenan jalan nafas, tanda-tanda vital
·         Anestesi dan medikasi lain yang digunakan (misalnya:narkotik,relaksan otot,antibiotic).
·         Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin mempengaruhi perawatan pascaoperatif (misalnya: hemoragi berlebihan, syok,dan henti jantung).
·         Patologi yang dihadapi (jika malignansi, apakah pasien atau keluarga sudah diberitahukan).
·         Cairan yang diberikan, kehilangan darah, dan penggantian.
·         Segala selang, drain, kateter, atau alat bantu pendukung lainnya.
·         Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau ahli anestesi yang akan diberitahu.
System pernafasan
Control pernafasan
·         Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernafasan . sehingga, perawat perlu mewaspadai pernafasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
·         Perawat mengkaji frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernafasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi nafas, dan warna membrane mukosa. Apabila pernafasan dangkal, letakkan tangan perawat di atas muka atau mulut pasien shingga perawat dapat merasakan udara yang keluar.
Kepatenan jalan nafas
·         Jalan nafas oral atau oral airway masih dipasang untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas sampai tercapai pernafasan yang nyaman dengan kecepatan normal. Apabila fungsi pernafasan sudah kembali normal . maka perawat mengajarkan pasien cara membersihkan jalan nafas dengan cara meludah. Kemampuan melakukan hal tersebut menandakan kembalinya reflex muntah normal.
·         Salah satu kekhawatiran terbesar perawat adalah obstruksi jalan nafas akibat aspirasi muntah, akumulasi sekresi, mukosa di faring atau spasme faring.

Status sirkulasi
Respons TTV
·         Pasien beresiko mengalami komplikasi kardiovaskular akibat kehilangan darah secara actual atau resiko dari tempat pembedahan, efek samping anestesi, ketidakseimbangan elektrolit, dan depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal.
·         Pengkajian kecepatan denyut dan irama jantung yang teliti serta pengkajian tekanan darah menunjukkan status kardiovaskular pasien.
·         Perawat membandingkan TTV praoperatif dengan pascaoperatif . dokter harus diberitahu jika tekanan darah pasien terus menurun dengan cepat pada setiap pemeriksaan atau jika kecepatan denyut jantung menjadi semakin tidak teratur.
·         Perawat mengkaji perfusi sirkulasi dengan melihat warna dasar kuku dan mukosa.
Respons perdarahan pascaoperatif
·         Masalah sirkulasi yang sering terjadi adalah perdarahan.
·         Kehilangan darah terjadi secara eksternal melalui drain atau insisi, atau secara  internal pada luka bedah.
·         Perdarahan dapat mengakibatkan turunnya tekanan darah, meningkatnya kecepatan denyut jantung dan pernafasan, denyut nadi lemah, kulit dingin, lembab, pucat, serta gelisah.
·         Apabila perdarahan terjadi secara eksternal, maka perawat memperhatikan adanya peningkatan drainase yang mengandung darah pada balutan atau melalui drain. Apabila balutan basah , maka darah mengalir kesamping pasien dan berkumpul di bawah seprai tempat tidur. Perawat yang waspada selalu memeriksa adanya drainase di bawah tubuh pasien, apabila perdarahan terjadi secara internal , maka tempat pembedahan menjadi bengkak dan kencang.
Respons cedera sirkulasi
·         Pasien yang menjalani bedah pelvis atau pasien yang diposisikan litotomi selama pembedahan berlansung beresiko mengalami thrombosis vena provunda. Dua komplikasi serius dari TVP adalah embolisme pulmonary, dan sindrom pascafibilitis.
·         Respons thrombosis vena profunda (TVP) secara patofisiologi dimulai dengan adanya inflamasi ringan sampai berat dari vena yang terjadi dalam kaitannya dengan pembekuan darah. Komplikasi dapat terjadi dari sejumlah penyebab , termasuk cedera pada vena yang disebabkan oleh pengikat yang terlalu ketat atau penahan tungkai pada waktu operasi, lebih umum lagi adalah melambatnya aliran darah dalam ekstremitas akibat metabolism yang melambat dan depresi sirkulasi setelah pembedahan. kemungkinan juga beberapa factor ini  berinteraksi untuk menghasilkan thrombosis, tungkai kiri lebih sering terkena disbanding yang kanan.
 Control suhu
·         Lingkungan ruang operasi dan ruang pulih sadar sangat dingin,
·         Penurunan tingkat fungsi tubuh pasien menyebabkan turunnya metabolism dan menurunkan suhu tubuh, apabila pasien mulai sadar, mereka mungkin akan mengeluh kedinginan dan tidak nyaman.
·         Perawat mengukur suhu tubuh pasien dan memberikan selimut hangat. Apabila suhu berada pada <  c maka penghangat eksternal dapat digunakan . meningkatnya suhu tubuh menyebabkan peningkatan metabolism, sirkulasi, serta pernafasan pasien.
·         Menggigil mungkin bukan merupakan tanda hipotermia, tetapi hanya efek samping dari obat anestesi tertentu, menggigil dapat dikurangi dengan memberikan Demerol dalam jumlah kecil.
·         Pada hipertermia maligna tertentu, mungkin terjadi komplikasi akibat pemberian anestesi yang dapat mengancam kehidupan, hipertermia meligna menyebabkan takipnea, takikardia, tekanan darah tidak stabil, dan kaku otot.

Status neurologi
·         Obat-obatan , perubahan elektrolit dan metabolism, nyeri dan factor emosional dapat mempengaruhi tingkat kesadaran bersamaan dengan hilangnya efek anestesi, maka reflex , kekuatan otot, dan tingkat orientasi pasien akan kembali normal.
·         Perawat mengkaji tingkat kesadaran pasien  dengan cara memanggil pasien dengan suara sedang.
·         Perawat memperhatikan apakah pasien merespons dengan tepat atau terlihat bingung dan disorientasi.
·         Apabila pasien tetap tidur atau tidak berespons , maka perawat mencoba mengkaji pasien dengan cara menyentuh atau menggerakkan tubuh pasien dengan lembut.
·         Perawat dapat memeriksa reflex pupil, reflex muntah, dan mengkaji genggaman tangan serta pergerakan ekstermitas pasien.
·         Kaji tingkat respons sensibilitas dengan membandingkan peta dermatom untuk menilai kembalinya fungsi sensasi taktil. Pengkajian dermatom (segmen area kulit yang dipengaruhi segmen medulla spinalis) saraf spinalis dilengkapi saat kedatangan, selama periode pemulihan di ruang pulih sadar  dan saat pasien pindah dari ruang pulih sadar. Biasanya perawat mengkaji level dermatom dengan cara meyentuh pasien secara bilateral dan mendokumentasikan area tubuh yang sentuhannya dapat dirasakan pasien, sentuhan dapat dilakukan dengan cara menekan tangan atau mencubit kulit pasien dengan lembut.
·         Pengkajian orientasi pada lingkungan ruang pulih sadar sangat penting dalam mempertahankan kesadaran pasien.perawat mengorientasikan kembali pasien. Menjelaskan pembedahannya sudah selesai, dan memberi gambaran tentang prosedur dan tindakan keperawtan yang dilakukan di ruang pemulihan. Apabila pasien mempunyai persiapan yang baik sebelum pembedahan, maka kecemasannya akan lebih rendah pada saat perawat di ruang pulih sadar mulai memberi perawatan.

Respons nyeri
·         Saat pasien sadar dari anestesi umum, rasa nyeri menjadi sangat terasa. Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran pasien kembali penuh. Nyeri akut akibat insisi menyebabkan pasien gelisah dan menyebabkan tanda-tanda vital berubah. Apabila pasien merasa nyeri, mereka sulit melakukan batuk efektif dan  nafas dalam. Pasien yang mendapat anestesi regional dan local biasanya tidak mengalami nyeri karena area insisi masih berada dibawah pengaruh anestesi.
·         Pengkajian rasa tidak nyaman pasien dan evaluasi terapi untuk mengilangkan rasa nyeri merupakan fungsi keperawatan yang penting. Skala nyeri merupakan metode efektif bagi perawat untuk mengkaji nyeri pascaoperatif mengevaluasi respons pasien terhadap pemberian analgesic, dan mendokumentasikan beratnya nyeri secara objektif . pengkajian nyeri praoperatif digunakan sebagai dasar bagi perawat untuk mengevaluasi efektifitas intervensi selama masa pemulihan
Genitourinari
·         Dalam waktu 6-8 jam setelah anestesi , pasien akan mendapatkan control fungsi berkemih secara volunter, bergantung pada jenis pembedahan
·         Pasien perlu dibantu berkemih jika pasien tidak dapat berkemih dalam waktu 8 jam. Karena kandung kemih yang penuh dapat menyebabkan nyeri dan sering menyebabkan kegelisahan selama pemulihan, maka pemasangan kateter mungkin diperlukan.
·         Apabila pasien telah terpasang kateter tetap, maka urine harus mengalir sedikitnya 2 ml/kg/jam pada dewasa dan 1 ml/kg/jam pada anak-anak.
·         Perawat mengobservasi warna dan bau urine pasien.
·         Pembedahan yang melibatkan saluran perkemihan , biasanya akan menyebabkan urine mengandung darah kurang lebih selama 12-24 jam  setelah pembedahan, bergantung pada jenis pembedahan.
System gastrointestinal
·         Anestesi memperlambat motilitas gastrointestinal dan menyebabkan mual. Normalnya selama tahap pemulihan setelah pembedahan, bising usus terdengar lemah atau hilang ke tempat kuadran.
·         Inspeksi abdomen menentukan adanya distensi yang mungkin terjadi akibat akumulasi gas.
·         Pada pasien yang baru menjalani bedah abdomen, distensi terjadi jika pasien mengalami pendarahan internal. Distensi juga terjadi pada pasien yang mengalami ileac paralitik akibat pembedahan bagian usus. Paralis usus dengan distensi dan gejala obstruksi akut ini mungkin juga berhubungan dengan pemberian obat-obatan antikolinergik.
·         Karena pengosongan lmbung berlansung lambat akibat pengaruh anestesi , maka isi lambung yang terakumulasi tidak bisa keluar dan dapat menimbulkan mual dan muntah. Normalnya pasien tidak boleh minum saar di ruang pulih sadar Karena lambatnya pergerakan usus beresiko menyebabkan mual dan muntah karena pasien masih berada dibawah pengaruh anestesi.
Keseimbangan cairan dan elektrolit
·         Karena pasien bedah beresiko mengalami ketidakseimbangan cairan, dan elektrolit, maka perawat mengkaji status hidrasi dan memonitor fungsi jantung dan neurologi untuk melihat adanya tanda-tanda perubahan elektrolit, tanggung jawab yang penting adalah  mempertahankan kepatenan infuse IV. Satu-satunya sumber asupan cairan untuk pasien segera setelah pembedahan selesai adalah melalui infuse. Perawat menginspeksi  tempat pemasangan kateter IV  untuk memastikan bahwa kateter berada pada posisi yang tepat dalam vena sehingga cairan dapat mengalir dengan lancer . dokter  memberikan program tentang kecepatan pemberian setiap cairan infuse . untuk memastikan pemasukan cairan yang adekuat. Perawat menjaga jangan sampai infuse cairan berjalan lambat. Setelah pembedahan,, pasien mungkin juga menerima produk darah yang jumlahnya bergantung pada banyaknya kehilangan darah selama pembedahan berlansung.
·         Catatan intake dan output cairan yang akurat membantu proses pengkajian fungsi ginjal dan sirkulasi . perawat mengukur semua sumber pengeluaran, termasuk urine, drainase lambung, drainase luka, serta mencatat adanya kehilangan cairan yang tidak dapat dirasakan akibat diaphoresis, mucus yang diisap dari jalan nafas tidak termasuk perhitungan output cairan.
Integritas kulit, kondisi luka, dan drainase
·         Di ruang pulih sadar, perawat mengkaji kondisi kulit pasien, melihat adanya kemerahan, ptekie, abrasi, atau luka bakar,
·         Kemerahan dapat menunjukkan adanya sensitifitas terhadap obat atau alergi.
·         Abrasi atau ptekie dapat terjadi karena posisi yang kurang tepat atau pengikatan yang menyebabkan cedera pada lapisan kulit.
·         Luka bakar dapat menunjukkan bahwa bantalan arde kauter listrik tidak terpasang dengan benar pada kulit pasien, luka bakar atau cedera serius pada kulit harus didokumentasikan sebagai laporan kecelakaan
·         Setelah pembedahan, sebagian besar luka bedah ditutup dengan balutan untuk melindungi tempat luka dan mengumpulkan drainase.’
·         Perawat mengobservasi, jumlah,wrna, bau dan konsistensi drainase yang terdapat pada balutan.
·         Perawat memperkirakan jumlah drainase, dengan cara mencatat jumlah kasa yang basah.
·         Tidak optimalnya pengaturan posisi bedah akan memicu terjadinya thrombosis vena ekstermitas bawah, kram otot ekstermitas bawah, parastesia ekstermitas bawah, distensi otot abdomen, cedera pleksus brakialis, cedera tekan pada proesus spinalis vertebra torakalis, olekranon, scapula, region sacrum, dan kalkaneus.

DIAGNOSIS KEPERAWATAN PASCAOPERATIF
Perawat menentukan status masalah yang diidentifikasi dari diagnosis keperawatan praoperatif dan mengelompokkan data baru yang relevan untuk mengidentifikasi diagnosis baru. Diagnosis sebelumnya, seperti gangguan integritas kulit , dapat berlanjut menjadi masalah pascaoperatif. Perawat juga dapat mengidentifikasi factor resiko yang mengarah pada identifikasi diagnosis keperawatan baru, misalnya, pasien lansia yang telah menjalani bedah abdomen mayor dan sebelumnya mempunyai masalah penurunan mobilitas pada pangkal paha akibat arthritis cendeung mengalami hambatan mobilitas fisik,pembedahannya sendiri dapat menambah factor resiko bagi pasien perawat juga mempertimbangkan kebutuhan keluarga pasien saat membuat diagnosis misalnya, diagnosis ketidakmampuan koping keluarga menghadapi kondisi pasien yang membutuhkan intervensi keperawatan.
Berdasarkan pada data pengkajian, diagnosis keperawatan pascaoperatif dapat mencakup beberapa diagnosis berikut:
1.      Resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kondisi pernafasan efek sekunder anestesi
2.      Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan control kepatenan jalan nafas(lidah), penurunan control batuk efektif dan muntah efek sekunder anestesi, efek depresan dari medikasi dan agen anestesi.
3.      Penurunan perfusi perifer berhubungan dengan depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, penurunan curah jantung, hipovolemia, pengumpulan darah perifer, dan vasokontriksi.
4.      Nyeri berhubungan dengan cedera jaringan lunak bedah urogenital, kerusakan neuromuscular pascabedah.
5.      Resiko terhadap cedera vascular (thrombosis vena provunda). Berhubungan dengan cedera vascular, pembentukan thrombus pada ekstremitas, efek sekunder kompresi posisi bedah.
6.      Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas lambung dan usus selama periode intraoperatif
7.      Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan aktivitas, efek medikasi, dan penurunan masukan cair.
8.      Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan efek depresan dari anestesi, penurunan intoleransi aktifitas, dan pembatasan aktivitas yang diresepkan.
9.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tempat insisi bedah dan drainase.
10.  Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kerentanan terhadap invasi bakteri.
11.  Kecemasan berhubungan dengan diagnosis pascaoperatif, kemungkinan perubahan dalam gaya hidup, dan perubahan dalam konsep diri.
12.  Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh, kehilangan fungsi dan struktur organ pasca bedah.
resiko tinggi pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan control pernafasan efek sekunder anestesi.
Tujuan ; mengefektifkan jalan nafas, mempertahankan ventilasi pulmonal, dan mencegah hipoksemia (penurunan oksigen dalam dara) dan hiperkapnea (kelebihan karbondioksida dalam darah)
Criteria evaluasi :
·         Frekuensi pernafasan dalam batas normal (12-20x/menit)
·         Pasien tidak menggunakan otot bantu nafas
·         Tidak terdengar bunyi nafas tambahan
·         Oral airway dapat dilepas tanpa komplikasi

Intervensi
Rasional
Atur rempat pasien dengan didekatkan pada akses oksigen dan suction
Pasien biasanya masih mendapat okigenisasi pemeliharaan sampai sadar penuh
Kaji dan observasi dalan nafas
Deteksi awal untuk interpretasi selanjutnya
Salah satu cara untuk mengetahui apakah pasien bernafas atau tidak adalah dengan menempatkan telapak tangan di atas hidung dan mulut pasien untuk merasakan hembusan nafas. Gerakan toraks dan diafragma tidak selalu menandakan pasien bernafas.

Pertahankan kepatenan jalan nafas
Jalan nafas  oral atau oral airway tetap terpasang untuk kepatenan jalan nafas sampai tercapai pernafasan yang nyaman dengan kecepatan normal.apabila fungsi pernafasan sudah kembali normal, bantu pasien membersihkan jalan nafas dengan cara meludah. Kemampuan melakukan hal tersebut menandakan kembalinya reflex muntah normal.
Atur posisi kepala untuk mempertahankan jalan nafas
Tindakan terhadap obstruksi hipofariangus termasuk mendongakkan kepala ke belakang dan mendorong ke depan pada sudut rahang bawah, seperti jika mendorong gigi bawah di depan gigi atas.
Beri oksigen 3 liter/menit
Pemenuhan oksigen dapat membantu meningkatkan paO2 dicairan otak yang akan mempengaruhi pengaturan pernafasan.
Bersihkan secret pada jalan nafas
Kesulitan pernafasan dapat terjadi akibat sekresi lendir yang berlebihan.membalikkan pasien dari satu sisi ke sisi lainya memungkinkan cairan yang terkumpul untuk keluar dari sisi mulut. Jika gigi pasien mengatup, mulut dapat dibuka secara manual dan berhati-hati dengan spatel lidah yang dibungkus kasa.
Jika terjadi muntah, pasien dibalikkan miring dan vomitus dikumpulkann dalam basin emesis. Wajah diusap dengan kasa atau kertas tisu . kemudian sifat serta jumlah muntah dicatat.
Mucus atau muntah yang menyambut faring atau trakea dihisap dengan ujung penghisnap faringeal atau kateter nasal yang dimasukkan ke dalam nasofaring atau orofaring.

Jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan control kepatenan jalan napas (lidah), penurunan control batuk efektif dan muntah efek sekunder anestesi, efek depresan dari medikasi dan agens anestesi.
Tujuan: Pola napas kembali efektif sesuai dengan berkurangnya efek anestesi umum dan pasien mampu melakukan laatihan pernapasan pascabedah.
Kreteria evaluasi:
·         Frekuensi peranapasan dalam batas normal (12-20 x/menit)
·         Pasien tidaka menggunakan otot bantu napas.
·         Saturasi oksigen 100%
·         Oral airway sudah bisa dilepas saat pasien keluar ruang pemulihan.
Intrevensi
Rasional
Kaji dan monitor control pernapasan
Obat anestesi tertentu dapat menyebabkan depresi pernapasan. Oleh karena itu, perawat harus mewaspadai pernapasan yang dangkal dan lambat serta batuk yang lemah.
Monitor frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernapasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi napas, dan warna membrane mukosa.
Deteksi awal adanya perubahan terhadap control pola pernapasan dari medulla oblongata untuk intervensi selanjutnya.
Pastikan fungsi pernapasan sudah optimal.
Tindakan evaluasi untuk menentukan dimulainya latihan pernapasan sesuai yang diajarkan pada saat  praoperatif.
Instruksikan pasien untuk napas dalam.
Meningkatkan ekspansi paru. Untuk memperbesar ekspasnsi dada dan pertukaran gas. Sebagai contoh, meminta pasien untuk menguap atau untuk melakukan inspirasi maksimal.
Instruksikan untuk melakukan batuk efektif.
Batuk juga didorong untuk melonggarkan sumbatan mucus. Pembebatan dengan cermat pada abdomen atau insisi toraks membantu pasien mengatasi ketakutannya bahwa eksresi dari batuk dapat menyebabkan insisi bedah terbuka.

Penurunan perfusi perifer berhubungan dengan depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, penurunan curah jantung, hipovolemia, pengumpulan darah perifer, dan vasokontriksi.
Tujuan: Dalam waktu 15 menit pascabedah perfusi perifer menjadai optimal.
Kriteria evaluasi:
·         Denyut nadi perifer teraba.
·         Akral hangat
·         Pengisian kapiler < 3 detik
·         Tidak terlihat adanya sianosis sentaral atau perifer.
·         TTV dalam batas normal.
·         Kulit perifer tidak pucat.
·         Output urine 50 ml/jam.
Intervensi
Rasional
Monitor tandaa dan gejala penurunan perfusi jaringan.
Pasien dipantau terhadapa segala tanda dan gejala yang menandakan menurunnya perfusi jaringan, yaitu: penurunan tekanan darah; satursi O2 yang tidka adekuat; pernapasan cepat atau sulit; peningkatan frekuensi  nadi > 100 x/menit; gelisah; respons melambat; kulit dingin, kusam, dan sianosis; denyut perifer menurun atau tak teraba; output urine kurang dari 30 ml/jam. Salah satu dari tanda dan gejala ini harus dilaporkan.
Beri intervensi sesuai dengan penyebab penurunan perfusi.
·     Tindakan dilakukan untuk mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat, tergantung pad penyebab tidak adekuatnya perfusi jaringan. Tindakan yang dilakukan dapat mencakup penggantian cairan, terapi komponen darah, medikasi untuk mendukung atau memperbaiki fungsi jantung (misalnya: vasodilator koroner, antidisritmia, dan agen inotropik), dan pemberian oksigen.
·     Respons pasien terhadap tindakan ini dipantau dan didokumentasikan. Selain itu, suhu ruangan dijaga agar nyama, kemudian pasien diberi pakaian yang mencukupi dan slimut untuk mencegah menggigil yang menyebabkan vasokontriksi. Efek daraia terapi cairan dan komponen darah dipantau.
Lakukan percepatan mobilisasi aktivitas.
Aktivitas sepertai latihan tungkai dilakukan untuk menstimulasi sirkulasi dan pasien didorong untuk berbalik dan mengubah posisi dengan perlahan dan untuk menghindari posisi yang megganggu arus bali vena.

Risiko terhadap cedera vascular (thrombosis vena profunda/TVP) berhubungan dengan cedera vascular, pembentukan thrombus pada ekstremitas, efek sekunder kompresi posisi bedah.
Tujuan: Dalam Waktu 1 X 24 Jam Tidak Terjadi TVP.
Kriteria evaluasi:  Tidak terdapat tanda-tanda Hormans.
Intervensi
Rasional
Monitor tanda dan gejala thrombosis vena profunda (TVP).
Gejala pertama TVP bisa berupa nyeri atau keram pada kaki seperti yang ditunjukkan oleh tanda Homan.
Lakukan latihan tungkai
Upaya yang diarahkan pada pencegahan pembentukan thrombus temasuk tindakan seperti latian tungkai yang dapat diajarkan sebelum pembedahan.
Hindari posisi kaki yang menggantung.
Duduk di tepi tempat tidur dan kaki menggantung dapat membahayakan dan tidak dianjuran pada pasien yang rentan, karena tekanan di bawah lutut dapat membahayakan sirkulasi.
Kolaborasi pemberian heparin.
Heparin dosis rendah dapat diresepkan dan diberikan melalui subkutan sampai pasien bisa ambulasi. Warfarin dosis rendah adalah antikoagulan lain yang mungkin dibeikan. Dextran 40 dan Dextran 70 (dengan berat molekul rendah dan tinggi) adalah plasma ekspander yang mengurangi pembentukan bekuan mikroskopik yang dicetuskan oleh hemokonsentrasi.




Nyeri bernubungan dengan cedera jaringan lunak bedah urogenital, kerusakan neruomuskular pascabedah.
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurnag atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi:
·         TTV dalam batas normal.
·         Nyeri di tingkat 0 atau 1 dari skala 0-4.
Itervensi
Rasional
Kaji kemmpuan control nyeri pasien.
Banyak factor fisiologi (motivasi, afektif, kognitif, dan emosional) yang dapat memengaruhi persepsi nyeri.
Kaji persiapan pengelolaan nyeri peroeperatif.
Persiapan praoperatif yang diterima oleh pasien (termasuk informasi tentang apa yang diperkirakan dan dukungan psikologis) adalah factor yang signifikan dala menurunkan ansietas dan nyeri yang dialami dalam periode pascaoperatif.
Kaji skala nyeri.
Saka nyeri pascaoperatif tergantung pada persepsi fisiologis dan psikologis individu, toleransi yang ditimbulkan untuk nherim letak insisi, sifat prosedur, dan kedalaman trauma bedah.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan.
·      Istirahatkan pasien.

Istirahatkan secara fisiologis akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memnuhi kebutuhan metabolism basa.
·      Ajarkan tekni relaksasi pernapsan dalam saat nyeri muncul.
Meningkatkan asupan O2 sehingga menurukan nyeri sekunder dari iskemia spina.
·      Ajarkan tekni distraksi pada saat nyeri.
Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal.
·      Manajemen lingkungan: lingkungan tenang, batasi pengunjung dan istirahatkan pasien.
Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan bekurnag apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan. Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer.
·      Lakukan manajemen sentuhan.
Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri. Masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri.
·      Lakukan teknik stimulasi perkutaneus.
Salah satu metode distraksi untuk menstimulasi pengeluaran endorphin-enkefalin yang berguna sebagai analgetik internal untuk memblok rasa nyeri.
·      Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
Pengetahuan membantu mengurangi nyerinya dan mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rerncana teraupetik.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas lambung dan usus selama periode intraoperatif.
Tujuan: Dalam Waktu 3 X 24 Jam Fungsi Peristalik Menjadi Normal.
Kriteria evaluasi:
·         TTV dalam batas normal
·         Peristaltik usus normal
·         Pasien mampu BAB.
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan peristaltic setiap 4-8 jam.
·         Anestesi umum akan memengaruhi penurunan peristaltic usus. Penilaian bunyi bising usus merupakan parameter penting yang dilakukan perawat untuk mengetahui fungsi intestinal sudah optimal.
·         Perawat mengkaji peristaltic usus setiap 4-8 jam. Perawat secara rutin mengaustulasi abdomen untuk mendeteksi kembalinhya bising usus normal. Adanya suara seperti berkumur yang nyaring sebanyka 5-30 kali per menit pad setup kuadran abdomen menunjukkan bahwa peristaltic telah kembali normal. Bunyi gemerincing bernada tinggi yang disertai dengan distensi abdomen menunjukkan usus belum berfungsi dengan baik. Perawat menanyakan apakah pasien sudah mengeluarkan gas (flatus). Hal ini merupakan tanda penting yang menunjukkan bahwa fungsi usus telah kembali normal.
Berikan asupan nutrisi dan tingkatkan secara bertahap.
Beberapa jam pertama setelah pembedahan, pasien hanya menerima cairan melalui IV. Apabila dokter memprogramkan pemberian diet normal pada malam pertama setalah pembedahan, pertama-tama perawat memberikan cairan yang encer, seperti air, jus apel, atau the, setelah mual pasien hilang. Jumlah cairan yang terlalu banyak dapat menyebabkan distensi dan muntah. Apabila pasien dapat menoleransi cairan tanpa rasa mual, diet terus diberikan sesuai program. Pasien yang telah menjalani bedah abdomen biasanya berpuasa selama 24-48 jam pertama setelah pembedahan. apabila peristaltic sudah kembali, perawat memberikan cairan yang encer, dilanjutkan dengan cairana yang kental, diet ringan makanan padat, dan akhirya diberikan diet regular.
Lakukan dan tingkatkan ambulasi dan latihan.
Aktivitas fisik merangsang kembalinya pertistaltik. Pasien yang mengalami distensi abdomen dan “nyeri karena gas” akan merasa lebih nyaman ketika berjalan.
Pertahankan asupan cairan yang adekuat.
Caiaran menjaga feses tetap lembut sehingga mudah dikeluarkan. Jus buah dan air hangat biasanya sangat efektif.
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat supositoria.
Perawat memberikan enema, supositoria rectal, dan selang rectal sesuai instruksi. Apabila terjadi konstipasi atau distensi, dokter mencoba memasang peristaltic melalui katarik atau enema. Selang rectal atau enema aliran balik meningkatkan keluarnya flatus.

Perubahan elimanasi urine berhubungan dengan penurunan aktivitas, efek medikasi, dan penurunan masukan cairan.
Tujuan: Dalam waktu 8-12 jam pasien mampu berkemih.
Kriteria evaluasi : pasien mampu berkemih secara spontan dan tanpa bantuan selang kateter
Intervensi
Rasional
Kaji kemampuan control berkemih
Efek depresan dari anestesi dan analgesic dapat mengganggu sensasi penuhnya kandung kemih. Apabila tonus kandung kemih menurun, pasien akan mengalami kesulitan untuk memulai berkemih, namun, pasien harus berkemih dalam waktu 8-12 jam setelah pembedahan. pasien yang menjalani pembedahan pada system perkemihan biasanya akan dipasang kateter tetap untuk mempertahankan kelancaran aliran urine sampai control volunteer berkemih kembali normal.
Bantu pasien untuk berkemih dalam posisi normal
Perawat membantu pasien untuk berada pada posisi normal selama berkemih, pasien laki-laki akan membutuhkan bantuan untuk berdiri saat berkemih, pispot menyebabkan pasien sulit berkemih. Pasien wanita akan berkemih dengan baik jika ia dapat berkemih di toilet.
Monitor keinginan berkemih dari pasien
Perawat memeriksa pasien dengan sering untuk mengetahui adanya kebutuhan untuk berkemih. Pasien bedah yang diharuskan berbaring di tempat tidur memerlukan bantuan untuk memegang dan menggunakan pispot atau urinal. Pasien sering merasa bahwa tiba-tiba kandung kemihnya penuh dan perlu segera berkemih, dan perawat harus berespons dengan cepat jika pasien meminta bantuan.
Kaji adanya distensi kandung kemih
Perawat mengkaji adanya distensi kandung kemih, apabila pasien tidak berkemih dalam waktu 8 jam setelah pembedahan, mungkin pasien perlu dipasang kateter urine , untuk itu diperlukan instruksi dari dokter.
Monitor asupan dan keluaran cairan tiap 4 jam
Perawat memantau asupan dan keluaran cairan. Jumlah keluaran urine untuk dewasa minimal 2 ml/kg/jam. Apabila urine berwarna gelap, pekat dan volumenya sedikit, maka dokter harus diberitahu. Pasien mudah mengalami dehidrasi akibat cairan yang hilang dari luka bedah.perawat mengukur asupan dan keluaran cairan selama beberapa hari setelah pembedahan sampai tercapai asupan cairan dan keluaran urine yang normal.

Kecemasan berhubungan dengan diagnosis pascaoperatif, kemungkinan perubahan dalam gaya hidup, dan perubahan dalam konsep diri
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam tingkat kecemasan pasien berkurang atau hilang
Kriteria evaluasi :
·         Pasien menyatakan kecemasan berkurang
·         Pasien mampu mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang mempengaruhinya.
·         Pasien kooperatif terhadap tindakan
·         Wajah rileks
Intervensi
Rasional
Kaji tanda verbal dan nonverbal kecemasan, dampingi pasien dan lakukan tindakan bila menunjukkan perilaku merusak.
Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah yang akan mempengaruhi posisi pasien pada brankar sehingga mempunyai resiko jatuh. Apabila perawat mendapatkan gejala awal perubahan dari nonverbal, maka perawat meminta bantuan dari perawat lain di ruang pemulihan untuk melakukan fiksasi pada pasien.
Hindari konfrontasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerjasama, dan memperlambat penyembuhan.
Tingkatkan control sensasi pasien
Control sensasi pasien (dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan informasi tentang keadaan pasien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber koping (pertahanan diri) yang positif, membantu latihan relaksasi dan tehnik-tehnik pengalihan, dan memberikan respons balik yang positif.
Orientasikan pasien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan
Orientasi dapat menurunkan kecemasan.

EVALUASI KEPERAWATAN PASCAOPERATIF
·         Evaluasi yang diharapkan pada pasien pascaoperatif, meliputi :
·         Kembalinya fungsi fisiologis pada seluruh system secara normal
·         Tidak terjadi komplikasi pascabedah
·         Pasien dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
·         Tidak terjadi luka operasi
·         Hilangnya rasa cemas


1 komentar:

Unknown mengatakan...

terima kasiiiih :)

Posting Komentar

 
;