Selasa, 19 November 2013

PENGANTAR FARMAKOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Farmakologi atau yang bisa disebut dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat kimiawinya,fisikanya,kegiatan fisiologi,resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup.
Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan berbagaikeadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus disampaikankepada jaringan target sehingga kadar terapeutik ( tetapi tidak toksik) didapat. Dokter klinik harus mengetahui bahwa kecepatan awitan kerja obat, besarnya efek obat dan lamanya kerjaobat dikontrol oleh empat proses dasar gerakan dan modifikasi obat di dalam tubuh ( Mycek,1997 ).
Pertama, absorpsi obat dari tempat pemberian obat memungkinkan masuknya obat tersebut ( secara langsung atau tidak langsung ) ke dalam plasma ( input). Kedua, obat tersebut kemudian bisa secar reversible meninggalkan aliran darah dan menyebar ke dalamcairan intestisial dan intraselular ( distribusi ). Ketiga, obat tersebut bisa dimetabolisme oleh hati, ginjal, atau jaringan lainnya. Akhirnya, obat dan metabolitnya dieliminasi dari tubuh(output ) di dalam urin, empedu, atau tinja ( Mycek, 1997 ).


B.      Tujuan
Untuk mengetahui dasar – dasar dari farmakologi dan bagian – bagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN


A.     PENGERTIAN
Berasal dari kata (Yunani)
Pharmakon : obat
Logia : studi/ilmu
“Ilmu tentang obat”

Farmakologi atau yang bisa disebut dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat kimiawinya,fisikanya,kegiatan fisiologi,resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup.
Sedangkan pengertian Farmakologi ( menurut Wikipedia )adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan obat-obatan. Biasa dalam ilmu ini dipelajari:
  1. Penelitian mengenai penyakit-penyakit
  2. Kemungkinan penyembuhan
  3. Penelitian obat-obat baru
  4. Penelitian efek samping obat-obatan dan atau teknologi baru terhadap beberapa penyakit berhubungan dengan perjalanan obat di dalam tubuh serta perlakuan tubuh terhadapnya.

Pada mulanya farmakologi mencakup berbagai pengetahuan tentang obat yang meliputi: sejarah, sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek fisiologi dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi, serta penggunaan obat untuk terapi dan tujuan lain.
Dewasa ini didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat-sifat kimia dan organisme hidup serta segala aspek interaksi mereka.
atau Ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup

Farmakokinetika
Studi tentang absorpsi, distribusi, dan biotransformasi serta eksresi (eliminasi)
atau Pengaruh organisme hidup terhadap obat atau Penanganan obat oleh organisme hidup.
Farmakodinamika
Studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan biokimiawi obat pada organisme hidup atau Pengaruh obat terhadap organisme hidup
Farmakoterapi
Merupakan cabang ilmu farmakologi yang mempelajari penggunaan obat untuk pencegahan dan menyembuhkan penyakit
Farmakognosi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
Khemoterapi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen termasuk pengobatan neoplasma
Toksikologi
Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup lain. Dalam cabang ini juga dipelajari cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus keracunan.
Farmasi
Suatu sistem yang memberikan pelayanan kesehatan dengan perhatian khusus pada pengetahuan tentang obat dan efeknya pada manusia dan hewan

B.      FARMAKOKINETIK
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam tubuh. Seluruh proses ini adalah farmakokinetik.
Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (Barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antara sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam farmakokinetik ialah trasport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapisan lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul ini membentuk kanal hidrofilik untuk mentransport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
Cara transport obat lintas membran adalah dengan cara difusi pasif dan transport aktif., yang akhirnya melibatkan komponen membran sel dan energi. Sifat fisiko kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi dan kelarutan dalam lemak.
Umumnya obat diabsorbsi dan didistribusi secara difusi pasif. Mula – mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat  akan melintasi membran, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi kadarnya yeng lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (Steady state) dicapai, kadar obat bentuk non ion di kedua sisi membran akan sama.
Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung pada pKA obat  dan pH larutan. Untuk obat asam, pKa rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang relatif kuat. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran.  Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap kadar obat bentuk ion – ion saja yang sama dikedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan pH di kedua sisi membran.
Membran sel merupakan membran semi permeabel artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul – molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama dengan aliran air akan terbawa zat – zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100 – 200 misalnya urea, etanol dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif untuk ion Na, K dan Ca.
Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah – celah atar sel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah atar sel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang dari 69.000 (BM aluminium), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sealipun. Proses ini berperan dalam absorpsi obat setelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.
Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikel, misalnya untuk makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini sangat sedikit.
Transport obat secara aktif  biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubulus ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehigga zat dapat bergerak melewati perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan. Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat – zat endogen dan transport aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi oleh obat lain. Proses transport aktif mirip dengan difusi terpacu, namun dengan perbedaan yaitu pada transport aktif, obat / metabolit melewati gradien kepekatan, karena itu memerlukan energi metabolik. Energi ini biasanya isediakan oleh ATP, kecuali energi lain yang proses produksinya diketahui.
Difusi terfasilitasi (Facilitated diffusion) ialah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi, sehingga obat dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat saingan, terjadi pada zat endogen yang transportasinya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.

1.        Absorpsi  dan Bioavailabilitas
Kedua kata tersebut tidaklah sama artinya. Absorpsi yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dengan persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena, untuk obat – obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik.
Sebagai akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ – organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first past metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna.
Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan dan kelengkapan, absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal atau memberikannya bersama makanan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas pada obat oral yaitu:
a.        Faktor obat
1.        Sifat – sifat fisikokimia obat
o    Stabilitas pada pH lambung
o    Stabilitas terhadap enzim – enzim pencernaan
o    Stabilitas terhadap flora usus
o    Kelarutan dalam air/cairan saluran cerna
o    Ukuran molekul
o    Derajat ionisasi pada pH saluran cerna
o    Kelarutan bentuk ion – ion dalam lemak
o    Stabilitas terhadap enzim dalam dinding saluran cerna
o    Stabilitas enzim dalam hati
2.        Formula obat
o    Keadaan fisik obat (ukuran partikel, bentuk kristal / bubuk dan lainnya)
o    Zat – zat pengisi, pengikat, pelicin, penyalut dan lainnya
b.       Faktor prnderita
1.        pH larutan cerna, fungsi empedu
2.        Kecepatan pengosongan lambung (mobilitas saluran cerna, pH lambung, adanya makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik yang berat, stres, nyeri hebat, ulkus peptikum, stenosis pilorus, gangguan fungsi tiroid)
3.        Waktu transit dalam saluran cerna (motilitas saluran cerna dan gangguannya)
4.        Perfusi saluran cerna (makanan, aktivitas fisik yang berat, penyakit kardiovaskuler)
5.        Kapasitas absorpsi (luas permukaan absorpsi, sindrom malabsorpsi, usia lanjut)
6.        Metabolisme dalam lumen saluran cerna ( pH lambung, enzim – enzim pencernaan, flora usus)
7.        Kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati (aktivitas enzim metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati, faktor genetik, aliran darah porta, penyakit hati)
c.        Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna
1.        Adanya makanan
2.        Perubahan pH saluran cerna (antasid)
3.        Perubahan motilitas saluran cerna (katartik, opiat, antikolinergik)
4.        Perubahan perfusi saluran cerna (obat – obat kardiovaskuler)
5.        Gangguan pada fungsi normal mukosa usus (neomisin, kolkisin)
6.        Interaksi langsung (kelasi, adsorpsi, terikat pada resin larutan dalam cairan yang tidak diabsorbsi)

BIOEKUIVALENSI
Ekuivalensi kimia yaitu kesetaraan jumlah obat dalam sediaan – belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetap tidak berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat – obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat mengalami metabolisme selama absorpsinya, misalnya eritromisisin dan levodopa. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat yang indeks terapinya sempit, misalnya digoksin, difenilhidantoin, teofilin.

2.        Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ ynag perfusinya baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya Distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ diatas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang intestinal jaringan terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu melawan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma., hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh  afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang dalam malnutrisi berat karena adanya difisiensi protein.
Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid, atau nukleoprotein. Misalnya pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang penting untuk obat larut lemak, misalnya tiopental. Protein plasma juga merupakan reservoar obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam alfa1-glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoar untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium. Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku sebagai reservoar untuk obat yang bersifat basa lemah akibat perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoar untuk obat oral yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas. Obat terakumulasi ini berada dalam keseimbangan dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoar ini dapat memperpanjang kerja obat.
Redistribusi obat dari tempat kerjannya ke jaringan lain merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat. Fenomena ini hanya terjadi pada obat yang sangat larut lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi , maka setelah disuntikan IV, obat ini segera mencapai  kadar maksimal maksimal dalam otak. Tetapi karena kadar dalam plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke jaringan lain, maka tiopental dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.
Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus menembus sawar khusus yang dikenal sebagai sawar darah otak. Endotel kapiler otak tidak  mempunyai celah antarsel maupun partikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat (tight junction). Disamping itu, terdapat sel glia yang mengelilingi kapiler otak ini. Dengan demikian obat tidak harus hanya melewati endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk mencapai cairan intestinal cairan otak. Karenan itu, kemampuan obat untuk menembus sawar darah otak hanya ditentukan oleh, dan sebanding dengan kelarutann  bentuk non ion dalam lemak. Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya amonium kuaterner atau penisilin, dalam keadaan normal tidak cepat masuk ke otak dari darah. Penisilin dosis besar sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisilin dosis terapi hanya dapat masuk ke otak bila radang selaput otak, karena permeabilitas meningkat di tempat radang.
Eliminasi obat dari otak kembali ke darah terjadi melalui 3 cara yaitu :
a.        Secara transport aktif melalui epitel pleksus koloid dari cairan serebrospinal (CSS) ke kapiler darah untuk ion – ion organik meisalnya penisilin.
b.       Secara difusi pasif lewat sawar darah otak dan sawar darah CSS di pleksus koroid untuk obat yang larut lemak.
c.        Ikut berasama aliran CSS melalui vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat dan metabolit endogen, larut lemak maupun tidak, ukuran kecil maupun besar.
Sawar uri yang memisahkan darah induk dan darah janin terdiri dari sel epitel vili dan sel endogen kapiler janin; jadi, tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena itu, semua obat oral yang diterima induk akan masuk ke sirkulasi janin. Distribusi obat dalam tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah induk dalam waktu paling cepat 40 menit.

3.        Biotransformasi
Biotransformasi atau  metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresikan melalui ginjal, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Selain itu, pada umumnya obat obat menjadi inaktif. Tetapi ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif dan lebih toksikn. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan /atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk reaksi fase I ialah oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang  dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II yang disebut juga reaksi sintetik, merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat atau asam amino. Tempat terjadi : Hepar, paru-paru ginjal, dinding usus dan darah Hasil konyugasi ini bersifat lebih polar  dan mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolit hasil konyugasi biasanya tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau dua macam reaksi). Tetapi, kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya di dalam sel yaitu :
a.        Enzim mikrosom yang terdapat dalam RE halus (yang pada isolasi in vitro membbentuk mikrosom)
b.       Enzim non-mikrosom.
Kedua enzim ini terdapat dalam hati, namun terdapat juga pada ginjal, paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga ada enzim nonmikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi glukuroid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim nonmikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian juga biotransformsi asam lemak, hormon steroid dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam RE dan berikatan dengan enzim mikrosom.
Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur (mixed-function oxidase=MFO) atau monooksigenase; sitokrom P 450 ialah komponen utama dalam sistem ini. Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta desulfurasi.
Glukuroid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu secara ekskresi atau untuk anion. Glukuroid yang diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim beta-glukuronidase yang dihasilkan oleh bakteri usus dan obat yang dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini dikatalisis oleh beberapa enzim glukuronil transferase.
Berbeda dengan enzim nonmikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun dihambat aktifitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat dilingkungan. Zat ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya. Zat penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yaitu :kelompok yang kerjanya menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon polisiklik meningkatkan beberapa obat saja. Penghambat  enzim sitokrom P450 pada manusia dapat disebabkan oleh simetidin dan etanol. Berbeda dengan penghambat dengan penghambat enzimyang langsung terjadi, induksi enzim memerlukan waktu perjalanan beberapa hari bahakan beberapa minggu sampai zat penginduksi terkumpul cukup banyak. Hilangnya efek induksi juga terjadi bertahap setelah perjalanan zat penginduksi dihentikan. Beberapa obat bersifat autoindiuktif artinya merangsang merangsang metabolisme sendiri., sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama menginduksi enzim metabolismenya., memerlukan peningkatkan dosis obat. Misalnya pemberian warfarin bersama fenobarbitol, memerlukan peningkatan dosis warfarin untuk mendapatkan efek antikoagulan yang diinginkan. Bila fenobarbitol dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali untuk menghindari terjadinya perbedaan yang hebat.
Oksidasi obat tertentu oleh sitokrom P450 menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang lebih stabil. Tetapi, bila enzimnya diinduksi atau kadar obatnya sangat tinggi , maka metabolit anatara yang terbetuk banya sekali. Karena inaktivasinya tidak cukup cepat, maka senyawa tersebut sempat bereaksi dengan komponen sel dan menyebakan kerusakan jaringan. Contohnya ialah parasetamol.
Enzim nonmikrosom mengkatalisis semua reaksi konyugasi yang bukan dengan glukuronat yaitu konyugasi dengan asam asetat, glisin, glutation, asam sulfat, asam fosfat, dan gugus metil. Sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna, dan ditempat lain, serta oleh enzim amidase yang terutama terdapat di hati. Reaksi oksidasi terjadi di mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain, dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantin oksidase, tirosin hidroksilase dan monoamin oksidase.
Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosomal terjadi di hati dan jaringan lain untuk senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. Reaksi ini sering kali dikatalisis oleh enzim flora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.
Karena kadar terapi obat biasanya jauh di bawah kemampuan maksimal enzim metabolismenya, maka penghambat kompetitif antara obat yang menjadi substrat bagi enzim yang sama jarang terjadi. Penghambat kompetitif metabolisme obat hanya terjadi pada obat yang kadar tepainya mendekati kapasitas maksimal enzim metabolismenya, misalnya difenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan 6-merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh alopurinol. Akibatnya, toksisitas obat yang dihabat metabolismenya meningkat.
Aktivitas enzim mikrosom maupun non mikrosom ditentukan oleh faktor genetik sehingga kecepatan metabolisme obat antarindividu bervariasi, dapat sampai 6 kali lipat atau lebih. Beberapa enzim bahkan memperlihatkan polimorfisme genetik, artinya terdapat dua kelompok utama dalam populasi. Distribusi populasi berdasarkan perbedaan aktivitas enzim ini disebut distribusi bimodal, yaitu terdiri atas yang tinggi (cepat) dan yang rendah (lambat). Misalnya untuk enzim asetilasi isoniazid, hidralazin dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok asetilator cepat dan asetilator lambat; enzim sitokrom P450 yang mengoksidasi debrisokuin, metopolol dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok extensive metabolizers dan poor metabolizers. Ini juga berlaku untuk beberapa enzim lain.
Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakan parenkimhati misalnya oleh adanya zat hipatoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam hal ini dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga penurunan aliran darah hepar oleh obat, gangguan kardiovaskuler, atau latihan fisik yang berat akan mengurangi metabolisme tertentu di hati.
4.        Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewati semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat glukuroid dan asam urat) diekskresi aktif melalui sistem transport untuk asam organik dan basa organik (neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi  anatar-asam organik dan antar-basa organik dalam sistem transportnya masing – masing. Untuk zat –zat endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion – ion. Oleh karena itu, untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorpsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat, fenobarbitol. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresi ke dalam usus melalui empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transportasi ke dalam empedu, semuanya transport aktif yaitu masing – masing untuk asam organik termasuk glukuroid, basa organik, dan zat netral misalnya steroid.  Telah disebutkan bahwa konyugat glukuroid akan mengalami sirkulasi enterohepatik.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambutpun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

C.     FARMAKODINAMIK
Studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan biokimiawi obat pada organisme hidup Atau Pengaruh obat terhadap organisme hidup.
Farmakodinamika membahas tentang:
1.        Mekanisme Kerja Obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme. Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungisional.
Hal ini mencakup 2 konsep penting:
a.        Obat dapat mengubah kecepatan faal tubuh
b.       Obat tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Setiap komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis  untuk ligand endogen (hormone, neurotransmitter). Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen disebut agonis.  Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik sehingga sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis. Disamping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor fisiologik akan menimbulkan efek intrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, yang disebut agonis negative.
Kerja obat dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
a.        Kerja Obat Yang Diperantarai Oleh Reseptor
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya, mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons biologis yang khas untuk obat tersebut. Interaksi antara obat dengan enzim biotransformasi juga merupakan interaksi yang khas karena mengakibatkan perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis yang dapat diamati sebagai respons biologis .
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional, yaitu tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons. Sekelompok reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen ( hormon dan neurotransmitor. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat adalah protein ( misalnya : asetilkolinesterase, Na+ -, K+ -ATP ase dsb ). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat , contohnya untuk obat sitostatika ( pembunuh sel kanker ).
Hubungan Struktur dan Aktifitas Biologik :
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan aktifitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul obat (misal : perubahan stereoisomer ) dapat menimbulkan perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur dan aktifitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru.
b.       Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor
Obat-obat berikut bekerja tanpa melalui reseptor. Ada 3 mekanisme:
1.        Efek Nonspesifik dan Gangguan pada Membran
Berdasarkan sifat osmotic. Diuretic Osmotik (urea,monitol) meningkatkan osmolaritas filtrate glomerulus sehingga mengurangi reabsorbsi air di tubulus ginjal sehingga dengan akibat terjadi efek diuretic. Demikian juga katarik osmotic (MgSO4), gliserol yang megurangi edema serebrat, dan pengganti plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler.
Berdasarkan sifat asam/basa. Kerja ini diperlihatkan oleh antacid dalam menetralkan asam lambung, NH4CL dalam membasakan urin, dan asam-asam organic sebagai antiseptic saluran kemih atau sebagai spermisid topical dalam saluran vagina.
Kerusakan nonspesifik.  Zat-zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptic-desinfektan. Contohnya:
o    Detergen merusak integritas membrane lipoproptein
o    Halogen,peroksida, dan oksidator lain merusak  zat organic
o    Denaturan merusak integritas dan kapasitas fungisional membrane sel, partikel subseluler, dan protein.

Gangguan fungsi membrane. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan, enfluran dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane jaringan  otak sehingga eksitabilitasnya menurun. Anastetik local bekerja dengan menyebabkan perubahan nonspesifik pada struktur membrane saraf.
2.        Interaksi dengan Molekul Kecil atau Ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kalator (cvhelating agents) misalnya:
a.        CaNa2EDTA untuk mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inakti pada keracunan Pb
b.       Penisilamin untuk mengikat Cu2+ bebas yang menumpuk dalam hati dan oata pasien penyakit Wilson menjadi komplek yang larut dalam aid an dikeluarkan melalui urin
c.        Dimerkaplor (BAL = british antilewiste) untuk mengikat logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi) yang bebas maupun dalam kompleks organic menjadi kompleks yang larut dalam air dan dikeluarkan melalui urin
3.        Inkorporasi dalam Makromolekul
Obat yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkorporasi dalam asam nukleat sehingga menggangu fungsinya. Obat  yang bekerja seperti ini disebut antimetabolit, misalnya 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, etionin, p-fluoro-fenilalainin.
2.        Reseptor Obat
Resept obat atau reseptor farmakologik (selanjutnya disebut reseptor saja) ialah Komponen speifik sel yang dapat berinteraksidengan obat dan hasil interaksi ini menimbulkan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang pada akhirnya menimbulkan efek atau respon.
Obat yang dapat menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptor dinamakan agonis, sedangkan yang tidak menimbulkan efek disebut antagonis.
Sifat dan Fungsi Reseptor
Dari data analisis fisiko-kimiawi menunjukan bahwa reseptor merupakan makromolekul yang dapat berupa lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat
Reseptor obat dalam tubuh hewan pada umumnya merupakan reeptor fisiologik yaitu reseptor untuk senyawa-senyawa endogen seperti hormon, neurotransmiter dan autokoid. Kebanyakan reseptor merupakan komponen fungsional membran plasma dan hanya sebagian kecil yang berlokasi di dalam sel.
Reseptor yang terletak pada permukaan sel meliputi reseptor untuk neurotransmiter, hormon peptida (mis: insulin), sedangkan reseptor yang terdapat di dalam sel(reseptor intraseluler) mis: reseptor untuk steroid.
Reseptor berfungsi untuk menerima rangsangan (stimulus) dengan mengikat senyawa endogen (obat) yang sesuai kemudian menyampaikan informasi yang diterimanya itu kedalam sel dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permiabilitas membran (mis: reseptor nikotinik). Disamping sebagai alat komunikasi reseptor juga dapat berfungsi sebagai enzim dan asam nukleat.
Sifat Kimia Protein merupakan reseptor obat yang paling penting (misalnya reseptor, fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin, dsb). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting. Misalnya untuk sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya,  merupakan campuran berbagai ikatan kovalen diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan yang kuat sehingga lama kerja obat seringkali, tetapi tidak selalu, panjang. Walaupun demikian, ikatan nonkovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat bersifat permanen.
Ikatan antara obat dengan reseptor, misalnya ikatan antara substrat dengan enzim, biasanya merupakan ikatan lemah ( ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan van der Walls ) dan jarang berupa ikatan kovalen. Hubungannya dengan efek obat dapat digambarkan sebagai berikut :
Hubungan Sturuktur-Aktivitas. Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas intrinsiknya. Sehingga perubahan kecil dalam molekul obat. Misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan perubahan besar pada sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai struktur aktivitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio terapinya lebih baik, atau sintesisi obat yang selektif terhadap jaringan tertentu.
Reseptor Fisiologik telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah mikromolekul seluler tempat obat terikat untuk menimbulkan efeknya. Sedangkan reseptor fisiologik adalah protein seluler yang secara  normal berfungsi sebagai reseptor  bagi ligand endogen, terutama hormoin neurotransmitter, growth factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi peningkatan ligant yang sesuai (oleh ligand binding domain) dan penghantar sinyal (oleh effector domain) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intrasel atau secara tidak langsung memulai sintesis atau penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal sebagai second messenger.
3.        Transmisi Sinyal Biologis
Penghantar sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler (Extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis yang spesifik. System hantaran ini dimulai dengan penempatan hormone atau neorotransmiter pada reseptor yang terdapat dimembran sel atau didalam sitoplasma.
Saat ini dikenal 5 jenis reseptor fisiologik. Empat dari reseptor ini terdapat dipermukaan sel, sedangkan satu terdapat pada sitoplasma. Dari 4 reseptor dipermukaan sel, satu reseptor meneruskan sinyal yang disampaikan ligandnya dari permukaan sel kedalam sitoplasma dan inti sel.
Reseptor yang terdapat dipermukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim, kanal ion G-protein, coupled receptor (G-PCR) Reseptor bentuk Enzim terdiri dari 2 jenis, yaitu:
a.        Yang menimbulkan fosforilasi protein efektor yang merupakan bagian reseptor tersebut pada membrane sel bagian dalam, berupa tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin kinase, atau guanili kinase.
b.       Reseptor sitokin yang mempunyai ligand growth hormone, eritropoeitin, interperon dan ligand lain yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi.

Reseptor yang terdapat dalam sitoplasma merupakan protein terlarut pengikat DNA (Soluble DNA-binding protein) yang mengatur transkripsi  gen gen tertentu. Pendudukan reseptor oleh hormone yang sesuai akan menimbulkan sintesis protein tedrtentu.
Second messenger sitoplasma . Penghantar sinyal biologis dalam sitpoplasma dilangsungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa siklik-AMP (cAMP), ion Ca2+, 1,4,5-inositol trifosfat (IP3), diasligliserol (DAG), dan NO.
Siklik-AMP (cAMP) ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respon terhadap aktivasi bermacam-macam reseptor (misalnya reseptor adrenergic). Stimulasi adenilat siklase dilangsungkan lewat protein G8 dan adenilat siklase juga dapat distimulasi oleh Ca2+ (terutama pada neuron) toksin kolera, atau ion fluoride (F-).
Ion Ca2+ sitoplasma merupakan second messenger lain yang berfungsi dalam aktivitas beberapa jenis enzim (misalnya fosolipase), menggiatkan aparat kontraktil sel otot, mencetuskan penglepasan histamine, dan sebagainya.
Inositol triphosphate (IP3) dan diasilgliserol (DAG) merupakan second messenger pada transmisi sinyal di α1 adrenoseptor, reseptor vasopressin, asetikolin, histamine, platelet-derived growth factor, dan sebagainya.
NO (nitric oxide) berperan dalam pengaturan dalam system kardiovaskuler, imunologi dan susunan saraf. Disamping sebagai perantara dalam fungsi sel normal, NO juga berperan dalam sejumlah proses patologis seperti syok septic, hipertensi, stroke dan penyakit neurodegenerative. Pada system vaskuler NO berperan menstimulasi guanilil siklase untuk memproduksi cGMP yang merupakan vasodilator
Pengaturan fungsi reseptor. Resepto tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel dirangsang oleh agonisnya secara terus menerus maka akan terjadi desensitisasi (refrakterisasi atau down regulation) yang menyebabkan efek perangsangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama berkurang atau menghilang . sebaliknya bila rangsangan pada reseptor berkurang secara kronik misalnya pada pemberian β-bloker jangka panjang, seringkali terjadi hipereaktivitas karena supersensivitas terhadap agonis.
4.        Interaksi Obat - Reseptor
Ikatan antara obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofobik, van des waals) mirip ikatan antar substrat dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.
a.        Hubungan Kadar / Dosis – Intensitas Efek
D          +          R                                  DR                               E

Keterangan:
D         : Obat
R         :Reseptor
           : k1
           :K2
E         :Efek

Menurut teori pendudukan reseptor (receptor occupsncy), intensitas efek obat berbanding lurus dengan fraksi receptor yang diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi obat reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim, maka disini berlaku persamaan Michealis- Menten:     
Emax [D]
E     =
KD + [D]
       
Keterangan :
             E          = intensitas efek obat
             Emax      =efek maksimal
             [D]       =Kadar Obat bebas

Hubungan antara kadar atau dosis obat [D] dengan besarnya efek [E] terlihat sebagai kurva dosis-intensitas efek (graded dose-effect curve =DEC) yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log, maka hubungan antara log D dengan besarnya efek E terlihat sebagai kurva log dosis-intensitas efek ( log DEC) yang berbentuk sigmoid
Potensi menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek , besarnya ditentukan oleh:
o   Kadar obat yang mencapai reseptor yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik obat
o   Afinitas obat terhadap reseptornya

Efek maksimal atau efektivitasadalah respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh obat jika diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas intrinsic obat dan ditunjukkan oleh plateau atau DEC. tetapi dalam klinik, dosis obat dapat dibatasi oleh timbulnya efek yang tidak diinginkan.
Slope atau kemiringan Log DEC merupaka veriabel yang penting karena menunjukkan batas-batas keamanan obat. Slope obat yang curam, misalnya untuk fenobarbital, menunjukkan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan dosis yang menimbulkan sadasi/tidur.
Variasi biologic adalah variasi anatar individu dalam besarnya respons terhadap dosis obat  yang sama pada populasi yang sama. Suatu graded DEC hanya berlaku untuk satu orang pada suatu waktu, tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata dari populasi.
b.       Hubungan Dosis Obat – Persen Responsif
Telah disebutkan bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan suatu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsive (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log dosis) maka akan diperoleh kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsive (log dose-percent curve = log DPC). Oleh karena respons pasien disini bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini diebut juga kurva log dosis-efek kuantal (quantal log dose-effect curve = log DEC  kuantal). Jadi log DPC menunjukkan variasi individual dari dosis  yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu misalnya log DPC untuk suatu sedatik – hipnotik dapat dilihat dimana terlihat log DPC atau log DEC kuantal sebelah kiri untuk efek hipnotis, sedangkan sebelah kanan untuk efek kematian.
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif median (=ED50). Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% individu sedangkan TD50 ialah dosis toksin 50%.
Dalam studi farmakodinamik dilaboratorium, index terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut :
TD50                            LD50
indeks Terapi  =                                    Atau
                                                ED50                            ED50

Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek  toksin pada seorang pun pasien. Oleh karena itu,
TD1                             
indeks Terapi  =                           Adalah lebih tepat dan untuk
                                                ED99

                        TD1
Obat Ideal :                 ≥
                        ED99

Akan tetapi, nilai-nilai ektrem tersebut tidak dapat dintentukan dengan teliti karena letaknya dibagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.
5.        Antagonisme Farmakodinamik
Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonism farmakodinamik yaitu:
a.        Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada system fisiologik yang sama, tetapi pada system reseptor yang berlainan, misalnya efek hiksotamin dan autakoid lainnya yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktin dapat diantagonisasi dengan pemberian adrenalin.
b.       Antagonisme pada reseptor, yaitu antagonism melalui system reseptor yang sama (antagonism antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya efek histamine yang dilepaskan dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin, yang mendukung reseptor yang sama.

Antagonis pada reseptor dapat bersiat kompetitif atau non kompetitif.
a.        Antagonis Komptitif, dalam hal ini antagonis mengikat reseptor ditempat ikatan agonis (receptor site atau active side), secara revensibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian hambatan efek agonis dapat dibatasi dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti ainitas agonis terhadap reseptornya menurun.
b.       Antagonis nonkompetitif, hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat dibatasi dengan meningkatkan kadar agonis, akibanya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.
Antagonism nonkompetitif terjadi jika:
o   Antagonis mengikat reseptor secara irreversible.
o   Antagonis mengikat bukan pada melekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam system reseptor.

Agonis persial adalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktifitas intrinsic atau efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal yang lemah. Akan tetapi, obat ini kan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan agonis penuh. Oleh karena itu agonis persial disebut juga antagonis persial.

D.     FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEK OBAT
Beberapa factor yang mempengaruhi efek obat yang diberikan antara lain:
1.        Faktor bukan obat
Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
a.        Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b.       Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika.
2.        Faktor obat
a.        Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b.       Pemilihan obat.
c.        Cara penggunaan obat.
d.       Interaksi antar obat.

E.      DASAR – DASAR TOKSIKOLOGI
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari efek toksik (daya racun) berbagai zat kimia, terutama obat terhadap tubuh. Pada hakekatnya semua obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme.
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Sekarang banyak dikenal faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapetik.
1.        Toksikologi Eksperimental
Sejak awal harus disadari bahwa tidak mungkin membuat suatu petunjuk lengkap mengenai pemeriksaan toksis suatu obat dan zat kimia. Pada hakekatnya tidak perlu dibedakan antara obat dan zat kimia dari sudut toksikologi, sehingga dalam pembahasan keduanya diperlukan sama. Selanjutnya dalam bab ini akan disebut zat untuk pengertian zat kimia termasuk obat. Percobaan toksisitas sangat berpariasi dan suatu perotokol yang kaku akan membuat penelitian tidak relefan atau menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih. Karena itu jenis pemeriksaan toksisitas harus didasarkan pada sifat zat (kimia atau obat) yang akan digunakan serta cara pemakaiannya. Penggunaan obat secara kronik seperti pada pengobatan hipertensi atau pengguna kontrasepsi atau harus disertai dengan data karsinogenisitas dan teratogenisitas. Sedangkan obat cacing yang digunakan dalam waktu pendek pertama-tama harus memenuhi syarat toksisitas akut.
Dengan tidak mengurangi kepentingan hal yang telah dijelaskan tadi akan dibahas beberapa aspek dari pemeriksaan toksisitas obat. Penilaian komprehensif dapat diperoleh melalui penyelidikan dalam bidang farmakokinetik, farmakodinamik dan toksikologi. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang lebih besar dalam eksperimen toksikologi. Pengetahuan dalam kedua ilmu ini bersifat komplementer dan saling menunjang.
a.        Uji Farmakokinetik
Uji famakokinetik  diproleh melalui nasip obat dalam tubuh, yang menyangkut absorpsi, distribusi, redistribusi, biotransformasi dan ekskresi obat. Pengetahuan  mengenai hal ini penting untuk menafsirkan tidak saja efek terapi, tetapi juga toksisitas suatu obat. Segala hal yang menyangkut farmakokinetik ini memerlukan analisis kuantitatif dari zat dalam cairan biologik atau organ tubuh.
Karakteristik absorpsi penting untuk di ketahui; zat kimia dengan sifat koefisien partisi yang tinggi serta derajat ionisasi yang rendah akan mudah di searp melalui dinding sel. Sebaliknya alkaloid dan gugus molekul yang berionisasi baik akan sukar di absorpsi. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi absorpsi ini, sehingga akan mempengaruhi dosis dan toksisitasnya. Cara absorpsi yang di teliti sebaiknya di sesuaikan dengan cara pemakaiannya. Suatu obat atau zat kimia yang akan di pakai lokal saja pada kulit, harus di pelajari terutama berapa jauh absorpsinya melalui kulit. Perbedaan kadar dalam darah dari pemberian oral dan parenteral akan memberi gambaran tentang derajat absorpsi per oral.
Setelah di absorpsi semua zat akan di distribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Distribusi ini mungkin tidak akan merata dan kumulasi sering di lihat dalam organ tubuh tertentu. Efak toksik obat dapat tergantung dari kumulasi ini seperti juga efek terapinya. Pengikatan obat oleh protein plasma dapat mengurangi efektivitas/ toksisitasnya.
Otak mempunyai semacam sawar yang menghalangi beberapa obat dengan sifat tertentu untuk masuk ke dalamnya. Keadaan distribusi ini tidak statis tetapi sangat dinamis sehingga selalu obat akan mengalami redistribusi dalam cairan dan organ tubuh.
Setiap obat akan di anggap oleh tubuh sebagai suatu bahan asing, sehingga tubuh merombaknya menjadi bentuk yang dapat di ekskresi (lebih larut dalm air,lebih polar). Metabolit yang terbentuk, biasanya tidak aktif lagi dan toksistas biasanya berkurang, walaupun kadang-kadang dapat terjadi sebaliknya, sehingga mungkin metabolit lebih toksik misalnya prontosil menjadi sulfa, fenasetin menjadi paracetamol dan paration menjadi paraoxon alat ekskresi terpenting ialah hati dan ginjal. Ekskresi obat dapat terjadi dalam bentuk asalnya maupun dalam bentuk metabolit. Pengetahuan mengenai ini penting dalam toksikologi karena pada keracunan, usaha untuk meningkatkan diuresis hanya dapat bermanfaat bila obat yang bersangkutan di keluarkan melaui urine dalam bentuk aktif dan bukan dalam metabolit inaktif.
Parameter yang di perlukan untuk mempelajari nasib obat dalam tubuh ialah kadar plasma,  waktu paruh, karakteristik distribusi, produk biotranspormasi dan eksreksi. Data ini merupakan petunjuk yang mengarahkan lebih tepat mengenai percobaan toksisitas apa yang masih harus di lakukan.
     
b.       Uji Farmakodinamik
Sebelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu harus diketahui dahulu efek apa yang terjadi terhadap semua organ dalam tubuh yang sehat. Skrining efek farmakodinamik ini sangat diperlukan. Jarang terdapat suatu obat yang hanya memiliki satu jenis efek; hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu mempengaruhi fungsi berbagai macam alat dan faal tubuh. Efek yang menonjol, biasanya merupakan pegangan dalam menentukan penggunaannya, sedangkan perubahan lain merupakan efek samping yang bahkan dapat bersifat toksik. Sering kali sifat toksik suatu obat merupakan lanjutan dari efek farmakodinamik atau efek terapinya.

c.        Menilai Keamanan Zat Kimia
Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan di pergunakan harus di uji toksisitas dan keamanannya. Bila zat kimia itu merupakan zat tambahan makanana atau kontaminan yang tanpa sengaja dapat masuk dalam makanan, misalnya pestisida atau berbagai metal, maka penilaian keamanannya dilakukan melalui tahap-tahap yang telah baku.
Setiap zat kimia, bila deberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan gejala-gejala toksik. Gejala-gejala ini pertama-tama harus di tentukan pada hewan coba melalui penelitian toksisitas akut dan subkronik guna memperoleh kesan pertama tentang kelainan yang dapat di timbulkan. Hal ini diperlukan untuk meramalkan kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia dengan dosis yang lebih kecil. Selanjutnya, perlu di tentukan suatu dosis yang terbesar, dinyatakan dalam mg/kgBB/hari, yang tidak menimbulkan efek merugikan pada hewan coba; yang di sebut No Effect level (NEL) atau No (observed) Effect Level (NOEL). Hal ini dilakukan dengan mencobakan berbagai tingkat dosis sampai ditemukan dosis yang tidak menimbulkan efek buruk pada hewan coba. NEL di definisikan sebagai : “jumlah atau kosentrasi suatu zat kimia yang di temukan melalui penelitian atau observasi, yang tidak menimbulkan kelainan buruk, perubahan morfologi atau fungsi organ, pertumbuhan, perkembangan, maupun mengurangi lama hidup hewan coba”.
Suatu faktor keamanan kemudian (perlu) diterapkan guna memperhitungkan perbedaan antara tikus dan manusia dan antara manusia sendiri. Faktor keamanan ini secara konsensus telah ditentukan sebesar 100 yang berasal dari faktor 10 untuk perbedaan hewan ke manusia dan 10 lagi untuk perbedaan antar manusia. Bila NEL  dibagi 100 maka di peroleh suatu batas keamanan yang di sebut Acceptable Daily Intake (ADI). Berikut ialah rumus perhitungan ADI:
NEL
ADI  =              mg/kgBB/hari
100
 





ADI didefinisikan sebagai “dosis suatu zat kimia yang terbesar, yang dinyatakan dalam satuan mg/kgBB/hari, yang dapat diberikan setiap hari seumur hidup, dan diperkirakan tidak menimbulkan efek kesehatan yang buruk pada manusia, berdasarkan pengetahuan yang ada pada waktu itu”. ADI ini merupakan suatu perkiraan, tetapi cukup menjamin bahwa bila angka itu tidak dilampaui dalam konsumsi kita sehari-hari, maka zat kimia yang bersangkutan akan cukup aman.
ADI juga dimaksudkan sebagai batas atas konsumsi harian sehingga makin kecil tentu akan lebih menjamin keamanannya. Zat kimia yang di akumulasi dalam tubuh tidak diperolehkan dipakai sebagai zat tambahan makanan san zat kimia ini harus dieksresikan dalam 24 jam. Untuk mudahnya maka ADI biasanya diperhitungkan dengan jenis makanan yang mengandung zat tambahan makanan atau kontaminan itu. Dengan demikian dapat dihitung berapa konsentrasi zat kimia itu diperbolehkan berada dalam makanan tertentu dan disebut maximal permissible concentration (MPC). Hal ini didasarkan atas data statik konsumsi berbagai makanan, seperti nasi, ikan, gula,roti,dsb. Bila zat tambahan makanan, maka jumlah seluruhnya  perlu diperkirakan  dan konsentrasi dalam  makanan perlu ditentukan. Dalam perhitungan ini  tentu juga  dipikirkan mengenai batas maksimal  sesorang dapat minum atau makan; sehingga kuantitas atau rasa,  secara otomatis akan membatasi jumlah zat kimia  yang dapat dikonsumsi.
Formula yang ditetapkan ialah sbb:
ADI x Berat Badan (Kg)
M.P.C =                                        = ....... p.p.m
                    Faktor makanan (Kg)
 






Dalam bidang industri, beberapa faktor keamanan yang sering digunakan adalah batas pajanan yang dinyatakan sebagai : Threshold Limit Value (TLV), atau Maximum Exposure Limit (MEL), yang menyatakan kadar pajanan terhadap zat kimia selama delapan jam kerja. Dari beberapa faktor keamanan yang dibahas di atas, maka jelaslah hubungan antara dosis dengan respon merupakan konsep dasar dalam toksikologi.

d.       Uji Toksikologi
Sebelum percobaan toksikologi sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan. Hal ini memerlukan penilaian dari seseorang yang berpengalaman dalam bidang ini. Beberapa segi akan dibahas di bawah ini.
Tikus putih yang digunakan biasanya yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200 gram. Tikus ini harus diaklimitisasi dalam laboratorium dan harus semuanya sehat. Untik ini ada yang menggunakan Spesific Pathogen Free (SFP) atau Caesarean Orginated Barrier Sustained Animals (COBS) sehingga terjamin kesehatannya. Penggunaan tikus sebagai suatu model patologik sering tidak relevan karena sulit untuk menyamakan keadaan ini dengan patologi manusia. Tikus jantan dan betina sebaiknya di evaluasi terpisah karena kadang-kadang berbeda responnya.

Toksisitas Akut. Percobaan ini meliputi Singel Dose Experiment  yang dievaluasi 3-14 hari sesudahnya,tergantung dari geajala yang ditimbulkan. Batas dosis harus di pilih sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh suatu kurva dosis respons yang dapat berwujud respons bertahap ( misalnya mengukur lamanya waktu tidur) atau suatu respons kuantal (misalnya mati). Biasanya digunakan 4-6 kelompok terdiri dari sedikitnya 4 ekor tikus.
Peningkatan dosis harus dipilih dengan log interval atau anti-lod interval, misalnya I. 10 mg/kgBB; II. 15 mg/kgBB; III. 22,5 kg/BB; IV. 33,75 mg/kkBB. Batas dosis ini diharapkan dapat menimbulkan respons pada 10-90% dari hewan coba. Perhitungan ED50 atau LD50 di dasarkan atas perhitungan statistik. Nilai LD50 untuk zat kimia yang sama dapat berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan di berbagai macam laboratorium. Karena itu harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang di pakai, misalnya berat badan dan umur tikus, zat pelarut, jantan atau betina, lingkungan dan sebagainya. Jumlah cairan yabg diberikann per oral pada tikus untuk semua golongan termasuk kontrol harus kira-kira sama, sedapatnya tidak melebihi 2 mL.
Cara pemberian obat harus dipilih sesuai dengan yang akan digunakan di klinik. Jadi untuk obat yang akan di pakai sebagai obat suntik perlu di uji dengan cara parenteral dan obat yang digunakan sebagai salep terutama harus diuji terhadap kulit.
Evaluasi tidak hanya mengenai LD50, tetapi juga terhadap kelainan tingkah laku, stimulasi atau depresi SSP, aktivitas motorik dan pernafasan tikus untuk mendapat gambaran tentang sebab kematian. Hal ini harus dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan sediaan histologi dari organ yang di anggap dapat memperlihatkan kelainan.
      Kematian yang timbul oleh kerusakan pada hati, ginjal atau sistem hemopeotik tidak akan terjadi pada hari pertama. Kematian yang ditimbulkan karena kerusakan alat tersebut di atas, baru timbul paling cepat pada hari ketiga.
Toksisitas Jangka Lama. Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang selama 1-3 bulan ( percobaan subakut), 3-6 bulan ( percobaan kronik). Atau seumur hewan (lifelong studies). Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenesitas. Hal ini telah di buktikan dengan membandingkan penelitian 6 bulan dengan yang lebih lama, dan ternyata tidak diperoleh informasi baru dengan memperpanjang penelitian.
      Berlainan dengan percobaan toksisitas akut yang mengutamakan, mencari efek toksik, maksud utama percobaan toksisitas kronik ialah menguji keamanan obat. Menafsikan keamanan obat (atau zat kimia) untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan toksisitas terhadap hewan. Perhatikan, bahwa disini digunakan istilah menafsirkan, karena ekstrapolasi data dari hewan ke manusia toidak dapat dilakukan begitu saja tanpa mempertimbangkan segala faktor perbedaan antara hewan dan manusia. Mendekati penilaian keamanan obat/zat kimia dapat dilakukan dengan tahapan berikut : (1) menentukan LD50; (2) melakukan percobaan toksisitas subakut dan kronik untuk menentukan no effect levels; dan (3) melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenisitas dan mutagenisitas yang merupakan bagian dari skrining rutin mengenai keamanan.
Dalam melakukan studi di atas, segala perubahan berupa akumulasi, toleransi, metabolisme dan kelainan khusus di organ atau sistem organ tertentu harus di pelajari. Dan pada waktu teertentu sebagian tikus perlu di bunuh untuk mengetahui pengaruh bertahap obat terhadap organ. Sebagian lain digunakan untuk eksperimen pemulihan guna mempelajari reversibilitas dari kelainan yang terjadi. Pemeriksaan kimia darah, urine dan tinja perlu diusahakan agar dapat diikuti kelainan yang timbul.
Mekanisme terjadinya toksisitas obat. Berbagai mekanisme dapat mendasari toksisitas obat. Biasanya reaaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik. Karena itu, gejala toksik merupakan efek farmakodinamik yang berlebihan. Suatu obat jantung yang bekerja menghambat konduksi antriventrikuler akan menimbulkan blok AV pada keracunan; suatu hipnotik akan menimbulkan koma.
      Kelainan yang disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi bermanifestasi sebagai reaksi alergi. Gugus kimia tertentu dapat menimbulkan reaksi toksik yang sama. Ketidakmurnian dalam sediaan hormon seperti insulin dapat menyebabkan reaksi toksik.
      Zat pengisi laktosa dalam produk fenitoin dapat memperbesar bioavilabilitas sehingga meninggalkan kadar fenition dalam darah. Hal ini, dapat menimbulkan keracunan karena batas keamanan fenition sempit. Di bawah kadar darah 10 g/mL fenition tidak efektif sedangkan di atas 20 g/mL timbul reaksi toksik. Sedangkan penggunaan fenition dalam dosis 0,3 gram sehari dapat memberikan kadar darah yang sangat bervariasi yaitu 4-60 g/mL.
      Produk dekomposisi dari tetrasiklin yang berwarna coklat mengandung epi-anhidrotetrasiklin yang dapat merusak gimjal, dan karena itu tetrasiklin yang telah menjadi coklat tidak boleh digunakan lagi. Kerusakan jaringan tubuh misalnya hati dan ginjal dapat menggangggu secara tidak langsung dan memudahkan terjadinya  toksisitas.

2.        Keracunan 
a.        Klasifikasi Keracunan
1.        Klasifikasi Menurut Cara Terjadinya Keracunan
o    Self Poisoning. Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan pengetahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi pasien tidak bermaksud bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik perhatian lingkungannya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan untuk coba-coba, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
o    Attempted Suicide. Dalam hal ini, pasien memang bermaksud bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali bila ia salah tafsir tentang dosis yang dimakannya.
o    Accidental Poisoning. Ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa faktor kesengajaan sama sekali.
o    Homicidal Poisoning. Keracunan ini akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain.

2.        Klasifikasi Menurut Mula Waktu Terjadinya Keracunan
o    Diagnosis keracunan kronik sulit dibuat, karena gejalanya timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala juga dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil. Suatu ciri khas ialah bahwa zat penyebab diekskresikan lebih lama dari 24 jam, waktu paruhnya panjang, sehingga terjadi akumulasi. Juga mungkin terjadi suatu manifestasi kronik pada organ oleh zat kimia yang mempunyai waktu paruh pendek, namun toksisitasnya terhadap organ bersifat kumulatif. Salah satu contoh ialah nekrosis papila ginjal yang terjadi karena makan analgesik bertahun-tahun. Berbagai kelainan organ yang tidak dapat diterangkan patogenesisnya harus dicurigai sebagai akibat keracunan dan suatu anamnesis yang rinci sangat diperlukan.
o    Keracunan Akut Lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik karena biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah sering mengenai banyak orang., misalnya pada keracunan makanan, dapat mengenai seluruh keluarga atau warga sekampung. Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, diare, kejang, koma dan sebagainya.
3.        Klasifikasi menurut organ yang terkena.
Dalam klasifikasi ini keracunan dapat di golongkan menurut organ yang terkena, misalnya racun SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal, dan sebagainya. Suatu organ cendrung dipengaruhi oleh banyak macam obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang hanya mengenai suatu organ. Karbon tetraklorida misalnya, bersifat toksik terhadap hati, ginjal dan jantung sekaligus.
4.        Klasifikasi menurut jenis bahan kimia.
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang sama. Misalnya golongan alkohol, fenol, logam berat, organoklorin dan lain-lain.

b.       Penyebab Keracunan
Tidak ada batasan yang tegas tentang keracunan berbagai macam obat dan zat kimia, praktis setiap zat kimia mungkin menjadi penyebabnya.
Accidental Poisoning. Terutama terjadi pada anak dibawah umur 5 tahun karena kebiasaannya memasukkan segala benda yang dijumpai dalam mulut. Obat berlapis gula atau asetosal pun menarik bagi mereka. Minyak tanah merupakan  penyebab keracunan terbesar  pada anak menurut survei keracunan yang dilakukan di jakarta pada tahun 1971 dan 1972.
Barbitoriat dan hipnotik-sedatip lain merupakan pilihan pertama untuk bunuh diri pada orang dewasa, sedangkan obiat biasanya merupakan penyebab pada anak muda yang menyalah-gunakan. Keracunan insektisida dapat terjadi karena self-poisonin atau suatu kecelakaan karena kurang berhati-hati dalam penggunaannya. Namun dalam 20 tahun terakhir ini, insektisida merupakan salah satu penyaebab keracunan paling sering di indonesia.
Enterotoksin stafilokokus sering mencari makanan dan menyababakan keracunan. Demikian pula toksin botulinus mungki terdapat dalam makanan kaleng yang sudah rusak karena pengwetan yang kurang sempurna. Makanan sehari-hari dapat mengandung racun yang amat kuat seperti amanida  pada singkong, muskarin atau faloidin pada jamur, ichtyosarcotoksin    pada ikan dan sebagainya. Kandungan asam jengkolat  dapat menyebabkan penyumbatan tubuli  ginjal sehingga timbul  hematuria dan ematuria.
Keracunan ptomain dahulu disebabkan oleh makanan basi (ptoma=corpse). Anggapan ini ternyata tidak benar. Pada kenyataannya banyak makanan yang justru dimakan setelah dibusukkan, misalnya keju limburg, ikan busuk dan udang busuk yang disukai orang eskimo dan telur busuk tidak menyebabkan keracunan. Banyak kejadian yang dahulu disangka keracunan ptomain, ternyata disebabkan oleh enterotoksin stafilokokus. Kemungkinan besar enterotoksin ini pula penyebab tersering dari keracunan makanan di indonesia yang tidak diketahui etiologinya secara jelas.
Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan boraks dan formaldehid (formalin) sebagai prngawet makanan. Sebetulnya, kedua zat kimia ini tisak memenuhi syarat badan POM sebagai bahan tambahan dalam makanan, namun entah karena ketidaktahuan atau kesengajaan, banyak produsen makanan (tahu, bakso, mi basah dan ikan segar) menggunakannya. Masih belum diketahui seberapa jauh praktik ini membahayakan masyarakat, namun karena kedua zat kimia tersebut potensial dapat membahayakan, sebaiknya kedua zat tersebut dihindari penggunaannya.

c.        Gejala Dan Diagnosis Keracunan
Pada pengelolaan pasien keracunan yang paling penting adalah penilaian klinis, walaupun sebabnya belum di ketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatik sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan ialah derajat kesadaran dan respirasi.
Kesadaran
Kesadaran merupakan petunjuk penting tentang beratnya keracunan. Makin dalam koma, makin berat keracunannya, dan angka kematian bertambah dengan bertambah dalamnya koma. Derajat koma ini sebanding dengan kadar obat dalam darah pasien, tetapi suatu kadar tertentu tidak menimbulkan derajat koma yang sama pada setiap orang. Hal ini berhubungan dengan toleransi dan perbedaan kepekaan seseorang.
Dalam toksikologi, derajat kesadaran dibagi dalam 4 tingkat seperti pada anastesia.
Tingkat I. Pasien mengantuk tetapi mudah diajak bicara.
Tingkat II. Pasien dalam keadaan sopor, dapat dibangunkan dengan rangsang minimal, misalnya bicara keras atau digoyang tangannya.
Tingkat III. Pasien dalam keadaan soporokoma, hanya dapat bereaksi terhadap rangsangan maksimal yaitu dengan menekan sternum dengan kepalan tangan.
Tingkat IV.  Pasien dalam keadaan koma, tidak ada reaksi sedikit pun terhadap rangsangan maksimal seperti di atas. Keadaan ini paling berat tetapi prognosisnya tidak selalu buruk.

Respirasi
Seringkali hambatan pada pusat nafas merupakan sebab kematian pada keracunan, karena itu frekuensi nafas dan volume harus diperhatiakan. Volume semenit dapat diukur dengan Wright’s spirometer yang diletakkan diatas mulut dan hidung pasien; bila kurang dari 4 liter/menit, maka diperlukan O2 dan respirator mekanik bila tersedia. Jalan nafas juga sering terhambat oleh sekresi mukus yang dapat berbahaya bila tidak segera dibersihkan. Hal ini dijumpai pada keracunan insektisida organofosfat atau karbamat.

Tekanan Darah
Syok sering dijumpai pada keracunan. Biasanya keadaan syok tidak begitu berat dan dapat diatasi dengan tindakan yang sederhana. Syok berat biasanya berkaitan dengan kerussakan pusat vasomotor dan prognosisnya buruk.

Kejang
Kejang menandakan adanya perangsangan SSP (misalnya oleh amfetamin), medula spinalis ( oleh striknin) atau hubungan syaraf otot (oleh insektisida organosofosfat). Kaeadaan ini harus dibedakan dari penyakit yang menimbulkan kejang misalnya epilepsi, kejang demam dan sebagainya. Kombinasi antara koma dan rangsangan SSP dapat terjadi pada keracunan beberapa obat, misalnya metakualon dapat menimbulkan koma, hipertoni, refleks meninggi, klonus serta hiperekstensi refleks plantar.
Pupil Dan Refleks Ekstermitas
Bertentangan dengan pendapat umum, gejala pupil dan refleks ekstermitas tidak begitu penting untuk diagnosis karena sangat bervariasi, kecuali pada keracunan atropin dan morfin. Juga dalam menentukan prognosis, gejala ini tidak dapat dijadikan pegangan. Pada keracunan hipnotik, pupil sering anisokor dan midriasis menetap tetapi tidak selalu menandakan prognosis buruk.

Bising Usus
Perubahan bising usus biasanya menyertai perubahan deraajat kesadaran. Pada derajat kesadaran tingkat III biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu negatif, sehingga tanda ini dapat dipakai untuk mencocokkan derajat kesadaran misalnya pada pasien yang bersimulasi (berpura-pura).

Jantung
Bebrerapa obat menimbulkan kelainan ritme jantung sehungga dapat terjadi gejala payah jantung atau henti jantung. Untuk menentukan keracunan obat misalnya digitalis, antidepresi trisiklik dan hidrokarbon berklorida serta pengobatannya, diperlukan pengetahuan khusus tentang mekanisme terjadinya aritmia ini.

Lain-Lain
Gejala lain tentu juga perlu diperhatikan, misalnya gangguan keseimbangan asam basa atau air, tanda kerusakan hati dan ginjal, kelainan EEG, retensi urin, muntah dan diare serta kelainan spesifik misalnya pada X-foto tulang dan lain-lain. Pada 6% pasien keracunan akut barbiturat atau hipnotik lain ditemukan bula di kulit.

d.       Peranan Laboratorium
Diagnosis akhir ditentukan oleh pemeriksaan analisis darah, urin atau muntahan pasien. Pemeriksaan laboratorium ini tidak mudah,karena obat didalam tubuh mengalami perubahan molekuler akibat proses biotransformasi. Spesimen biologik dapat diperiksa secara kualitatif maupun kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dan semikuantitatif sudah cukup untuk diagnosis.
      Pemeriksaan kuantitatif yang memerlukan teknik dan alat yang lebih canggih terbatas nilainya sehingga  tidak begitu praktis dilakukan, kecuali untuk penelitian. Keterbatasan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu : (1) adanya variasi individu dalam biotransformasi; (2) terjadinya toleransi dan habituasi misalnya seorang yang biasa minum barbiturat kadang-kadang masih sadar dengan kadar dalam darah 8 mg%, sedangkan yang belum pernah mendapat barbiturat sudah tidak sadar dengan kadar 2 mg%; (3) adanya kombinasi obat yang dalam tubuh dapat mengubah kadar obat dan metabolitnya dalam darah; (4) digunakan bermacam-macam metode untuk menentukan kadar dalam cairan biologik yang memberikan hasil berbeda-beda sehingga sukar untuk membandingkannya; (5) data kadal dalam kepustakaan jarang disertai penjelasan tentang fraksi yang diperiksa, obat bebaskah atau metabolit inaktifnya; (6) beberapa kombinasi obat mengganggu pemeriksaan kadar yang dilakukan, misalnya pengobatan dengan bemegrid mempersulit pemeriksaan kadar barbiturat.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor diatas dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan semikuantitatif saja sudah cukup. Untuk ini perlu di sertakan data gejala pasien dan permintaan mengenai obat apa atau sedikitnya golongan apa yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini cukup di lakukan dengan spot test dan kromatografi lapis tipis, yang relatif sederhana. Jika dibutuhkan pemeriksaan yang lebih teliti, penentuan dapat diulangi dengan metode yang lebih akurat, misalnya kromatografi gas dan kromatografi cair kinerja tinggi  (High performance liquid chromatography) dengan detektor spektor-massa (massa-spectrophotometer).


e.        Terapi Intoksikasi
Dewasa ini pengobatan keracunan umumnya dilakukan di bagian Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak dan jika perlu di suatu Unit Perawtan Intensife. Hanya beberapa tempat tertentu terdapat suatu Poisoning Treatment Ward, dengan staf khusus dan di lengkapi alat yang tidak banyak berbeda dengan perlengkapan suatu unit perawatan intesif. Banyak ahli berpendapat bahwa tidak di perlukan pengobatan di suatu sentra tertentu karena sebagian besar pasien memerlukan pengobatan simtomatik. Lima persen kasus memerlukan terapi khusus, misalnya hemodialisis. Antidotum        khusus tersedia untuk kurang dari 2-3% kasus, misalnya pada keracunan Pb, As, Hg, Sianida, insektisida organofosfat, karbamat, derivat morfin dan warfin. Tetapi tidak dapat di sangkal bahwa suatu unit keracunan banyak manfaat dan keunggulannya, yang tercermin dari kecilnya Fatality rate dalam unit seperti ini (kurang dari 1-2% pada institusi yanng baik).
      Dalam tiga dekade terakhir ini pengobatan keracunan mengarah ke prinsip merawat pasien dan tidak memberi pengobatan berlebihan. Hal ini terlihat jelas  pada pengobatan keracunan barbiturat. Pengobatan simtomatik tidak kalah pentingnya dari penggunaan antidotum. Selam fungsi vital tubuh pasien dapat dipertahankan maka biotransformasi dan ekskresi obat tetap berlangsung, dengan demikian dapat mengatasi keracunannya sendiri. Keadaan menjadi lebih sulit jika terjadi komplikasi kerusakan alat penting misalnya otak, hati, dan ginjal.

Keadaan Darurat
Dalam menangani pasien keracunan, pertimbangan pertama ialah memutuskan apakah diperlukan suatu tindakan segera terutama pad fungsi vital, karena itu tindakan darurat meliputi penanganan gagal nafas dan syok serta mencegah absorpsi obat lebih lanjut.

GAGAL NAFAS. Hambatan respirasi tidak hanya terjaadi pada keracuanan obat hipnotik sedatif, misalnya salisilat dan obat perangsang SSP. Gangguan nafas dapat berakibat anoksia dan gangguan keseimbangan asam basa.
Sering sekresi saliva dan bronkus menyumbat jalan nafas, terutama pada keracunan obat kolinergik. Dalam hal ini membersihkan mulut dan jalan nafas merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Untuk mengurangi kemungkinan aspirasi, pasien harus selalu dibaringkan dalam posisi miring bergantian pada sisi kanan atau kiri bila ia tidak sadar.
Evaluasi nafas yang obyektif dapat diukur dengan respirometer; bila volume semenit kurang dari 4 liter maka diperlukan oksigen. Pengukuran Ph, Pco2, PO2 dan standar bikarbonat dari darah arteri juga diperlukan. Dalam keadaan darurat niketamid boleh digunakan sebagai perangsang nafas; pemberian satu kali 2 Ml sudah cukup.
      Jika terjadi apne atau keadaan yang mendekati apne, maka suatu respirator mekanik harus dipakai. Bila pipa endotrakeal dari respirator perlu dipertahankan lebih dari 48 jam, maka harus dilakukan trakeotomi untuk mencegah kerusakan pita suara.
     
      SYOK. Pada keracunan barbiturat, syok terjadi karena depresi otot jantung dan berkurangnya curah jantung. Kedua-duanya rupanya berdasarkan mekanisme sentral. Curah jantung menurun karena alir balik vena terganggu oleh dua hal : (1) permeabilitas kapiler meninggi, sehingga terjadi ektravasasi cairan dengan akibat berkurangnya volume darah dan; (2) katup vena di ektermitas tidak bekerja secara baik, sehingga darah terkumpul dibagian vena. Kemungkinan besar mekanisme ini juga terdapat pada keracunan sedatif lain. Berdasarkan pendapat diatas, maka urutan tindakan untuk mengatasi syok pada keracunan barbiturat ialah :
(1)   Pasien diletakkan dalam sikap yaitu tungkai sedikit(10cm) ke atas;
(2)   Berikan metaraminol 5 mg IM dan diulangi 2-3 kali dengan interval 20 menit bila perlu; tekanan darah tidak boleh melebihi 100mmHg sistolik, karena pada tekanan darah diatas  100mmHg terjadi inefesiensi kerja jantung serta vasokontriksi pembuluh darah  ginjal;
(3)   Bila tindakan diatas belum menolong dapat diberikan infus dekstran(berat molekul 60-70.000);
(4)   Oksigen perlu selalu diberikan;
(5)   Asidemia dan payah jantung memperhebat syok dan tindakan untuk mengatasi kedua hal ini perlu dilakukan; dan
(6)   Hidrokortison 100 mg tiap  6 jam dapat ditambahkan dalam pengobatan kasus yang resisten.
     
PENCEGAHAN ABSORPSI OBAT.
Bila keracunan terjadi melalui kulit, harus diingat bahwa tidak boleh menggunakan zat pelarut organik untuk membersihkan; sabun dan air merupakan pembersih yang paling baik. Pada keracunan per inhalasi, pasien harus dipindahkan keruangan yang segar.
      Bila obat ditelan, ada 3 jalan untuk mengeluarkannya, yaitu dengan menimbulkan muntah, membilas lambung, dan memberikan pencahar. Menimbulkan muntah pada pasien yang sadar dilakukan dengan cara mengorek dinding faring belakang dengan spatel atau dengan memberikan afomorfin 5-8 mg subkutan. Pemberian larutan garam tidak begitu baik karena kemungkinan terjadi penyerapan garam berlebihan. Mustard dapat diberikan dua sendok makan dalam segelas air hangat. Tindakan ini mungkinsia-sia bila penyebab keracunan adalah antiemetik.
Bilas lambung dengan pipa karet berdiameter besar dianggap lebih berguna sebab memunbgkinkan keluarnya tablet yang belum hancur. Tindakan ini hanya boleh dikerjakan bila pasien sadar. Cara yang baik untuk mengerjakannya ialah dalam sikap miringke kiri, kepala lebih rendah untuk mengurangi kemungkinan aspirasi paru. Prosedur ini dikerjakan dalam 4 jam setelah obat ditelan, kecuali untuk salisilat dan barbiturat atau obat lain yang memperpanjang waktu pengosongan lambung. Cairan yang biasa digunaakan untuk ini ialah air hangat, tetapi dalam beberapa keadaan bisa  digunakan  larutan lain, misalnya untuk keracunan sianida dan pemutih pakaian diberikan larutan tiosulfat dan untuk opiat digunakan larutan KMn04.
Pemberian pencahar dapat meningkatkan peristaltik usus sehingga waktu absorpsi berkurang. Karbonaktif kadang-kadanng beguna menyerap obat yang terdapat dalam saluran cerna atau yang diekskresikan melalui empedu. Bubuk karbonaktif dalan suspensi air, dapat diberikan melalui nasogastric tube. Dosis awal 35-50 gram, disusul dengan dosis 12-20 g setiap 4-6 jam. Dengan demikian waktu paruh eliminasi dapat dikurangi, misalnya fenobarbital dari 110 menjadi 19,8 jam, karmazepin dari 32 menjadi 17,6 jam, fenilbutazon dari 51,5 menjadi 36,7 jam. Hasil serupa juga diperoleh pada digoksin, propoksifen, nadolol, satalol dan teofilin. Namun pelu diingat bahwa karbon aktif hanya merupakan tindakan tambahan, tidak dapat menggantikan cara pengobatan kausal dan simtomatik lainnya.

Tindakan Lain
      Selain perawatan yang baik, pasien memerlukan pengobatan simtomatik lain yang tidak banyak berbeda dengan pengobatan penyakit. Karena itu penilaian keadaan klinik sangat penting. Hal-hal tersebut dibawah ini mungkin diperlukan :
(1)   Barbiturat atau diazepam untuk kejang-kejang;
(2)   Caiaran IV untuk mengatasi ganguan keseimbangan air dan elektrolit serta gagal ginjal; atau
(3)   Antibiotik pada komplikasi radang paru.
     
Tindakan simtomatik lain yang lebih khusus dan penting untuk mempercepat  ekskresi obat diperlukan untuk kira-kira 5% dari pasien keracunan.
F.      CARA PEMBERIAN OBAT
1.        Cara pemberian obat per oral :
Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Namun untuk obat yang diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas :
a.        Faktor obatnya sendiri (larut dalam lipid, air atau keduanya)
b.       Faktor penderita ( keadaan patologik organ-organ pencernaan dan metabolisme )
c.        Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna. ( interksi dengan makanan )
(halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi  sebagai tugas mandiri dan Terapi`)
2.        Cara pemberian obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral dibandingkan per oral, yaitu :
a.        Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
b.       Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah
c.        Sangat berguna dalam keadaan darurat
Kelemahan cara pemberian obat melalui suntikan :
a.        Dibutuhkan cara aseptis
b.       Menyebabkan rasa nyeri
c.        Kemungkinan terjadi penularan penyakit lewat suntikan
d.       Tidak bisa dilakukan sendiri oleh penderita
e.        Tidak ekonomis
3.        Pemberian Obat Melalui Paru-paru :
Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum dan obat dalam bentuk aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas
Keuntungan :
a.        Absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas
b.       Terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati
c.        Obat dapat diberikan langsung pada bronchus ( untuk asma bronchial )
Kelemahan :
a.        Diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit ( obat semprot untuk asma)
b.       Sukar mengukur dosis (karena ukurannya: berapa kali semprotan sekali pakai)
c.        Obatnya sering mengiritasi epitel paru
4.        Pemberian Topikal
Pada kulit : Jumlah obat yang diserap tergantung : - (1) pada luas permukaan kulit yang terpejan; - (2) kelarutan obat dalam lemak; -( 3 ) dapat ditingkatkan absorpsinya dengan membuat suspensi obat dalam lemak.

G.     PRINSIP TERAPI
Perawat harus terampil dan tepat saat memberikan obat, tidak sekedar memberikan pil untuk diminum (oral) atau injeksi obat melalui pembuluh darah (parenteral), namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut.
Pengetahuan tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting dimiliki oleh perawat. Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan kesehatan klien dengan mendorong klien untuk lebih proaktif jika membutuhkan pengobatan. Perawat berusaha membantu klien dalam membangun pengertian yang benar dan jelas tentang pengobatan, mengkonsultasikan setiap obat yang dipesankan dan turut serta bertanggungjawab dalam pengambilan keputusa tentang pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan lain.
Perawat dalam memberikan obat juga harus memperhatikan resep obat yang diberikan harus tepat, hitungan yang tepat pada dosis yang diberikan sesuai resep dan selalu menggunakan prinsip  6 benar, yaitu:


1.        Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.        Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.        Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya
4.        Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
5.        Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.        Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.

H.     OBAT YANG PALING SERING DIGUNAKAN
Obat-obatan biasanya hanya dapat meredakan gejala, tetapi tidak memperbaiki akar penyebab masalah kesehatan. Sehingga sebaiknya beralih pada hal-hal yang dapat mengelola penyebab penyakit. "Ada terapi alami yang tersedia yang jauh lebih aman, seringkali lebih efektif, dan lebih murah. Tetapi juga bukan berarti harus langsung berhenti mengonsumsi obat tanpa berkonsultasi dengan dokter," kata Jacob Teitelbaum, MD.
Berikut daftar 5 obat yang paling sering digunakan dan alternatif yang dapat dilakukan untuk mengelola penyebab penyakit seperti dikutip dari MSNHealth, Selasa (28/2/2012) antara lain:
1.        Chiropractic untuk gantikan obat pereda nyeri, seperti Hydrocodone atau acetaminophen.
Berdasarkan hasil statistik, dokter menulis lebih dari 131 juta resep untuk obat-obatan pereda nyeri tahun lalu. Namun terdapat cara alami untuk menggantikan obat pereda nyeri tersebut Bahan-bahan seperti acetaminophen juga dapat merusak hati dalam jangka panjang. Daripada mengandalkan obat untuk meredakan rasa sakit, cobalah untuk mengatasi pemicu rasa sakit tersebut. "Obat pereda rasa sakit tidak akan pernah menjadi jawaban untuk memecahkan rasa sakit karena hanya meredakan gejala, bukan penyebab. Nyeri dapat disebabkan oleh gangguan dalam sistem saraf tubuh. Sehingga dengan memanipulasi sistem saluran utama saraf ke otak dapat membantu meredakan rasa nyeri," kata Sungwon D. Yoo, DC, MSAOM, L.Ac. 
Menurut Archives of Physical Medicine and Rehabilitation, orang dengan nyeri punggung bawah yang menerima hanya 4 sesi pengobatan chiropractic dalam 2 minggu menunjukkan peningkatan yang lebih besar dalam sakit dibandingkan dengan orang yang menerima perawatan biasa.

2.        Diet makanan sehari-hari dapat menggantikan obat penurun kolesterol
Statin mencegah hati dari membuat kolesterol dengan menghambat enzim yang diperlukan. Dengan mengubah diet sehari-hari dapat membuat orang terbebas dari obat resep statin. Makanan tertentu dapat membantu mengurangi peradangan dalam tubuh dan telah terbukti menurunkan kolesterol jahat (LDL) atau meningkatkan kolesterol baik (HDL) secara alami.
Makanan tersebut, seperti gandum, bawang putih, minyak zaitun, dan anggur merah. Bawang putih dapat melindungi jantung oleh karena asam amino yang disebut allicin, yang dilepaskan ketika bawang putih dihancurkan. Allicin melindungi jantung dengan menjaga kolesterol menempel ke dinding arteri.

3.        Asupan kalium dan magnesium dapat menjadi alternatif obat tekanan darah tinggi
Obat untuk tekanan darah tinggi juga termasuk daftar teratas obat yang sering digunakan. Obat resep dapat memainkan peran penting dalam menurunkan tekanan darah, tetapi dengan bantuan dokter dan suplemen yang tepat, mungkin dapat mengurangi atau akhirnya berhenti minum obat resep tersebut.
Meningkatkan asupan kalium, sekitar 500 mg sehari dan magnesium sekitar 200 mg sehari sangat efektif dalam menurunkan tekanan darah pada kebanyakan orang. Kalium dapat terkandung dalam pisang, jus tomat atau air kelapa.

4.        Suplemen kelenjar tiroid dapat menjadi alternatif obat yang sering diresepkan untuk hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah paling umum pada wanita di atas usia 50 tahun. Bahkan, sebanyak 10 persen wanita di atas 50 tahun akan memiliki hipotiroidisme ringan. Lebih dari 70 juta resep diberikan untuk hipotiroidisme per tahun. Masalah tiroid rendah mungkin terjadi karena tiroid sedang diserang oleh sistem kekebalan, tetapi juga dapat terjadi dari kekurangan mineral seperti yodium, besi, atau selenium. Berkonsultasilah dengan dokter mengenai konsumsi suplemen mineral yang mungkin dapat membantu.
"Suplemen kelenjar tiroid memasok bahan baku yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi tiroid," kata Dr Teitelbaum. Jika berisiko untuk penyakit jantung, mengonsumsi suplemen tiroid dapat memicu jantung berdebar-debar atau bahkan serangan jantung atau angina. Maka sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.

5.        Perubahan gaya hidup dapat mencegah refluks asam sehingga tidak perlu mengonsumsi obat untuk refluks asam
"Jumlah resep untuk obat refluks asam meningkat hingga 8 juta pada tahun 2010. Orang mengonsumsi obat pereda refluks asam, misalnya Prilosec, dapat memblok asam klorida pelindung (HCL) di perut, yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus kecil dan akhirnya kekurangan mineral dengan menghalangi penyerapan," kata Liz Lipski, PhD, KKN.
Maka sebaiknya harus mencoba untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari menyebabkan gangguan pencernaan atau refluks asam bukan hanya meredakan gejalanya dengan obat-obatan. Perubahan gaya hidup sederhana, seperti penentuan kepekaan terhadap makanan sehingga dapat menghindari makanan yang memicu refluks asam, makan secara perlahan, dan pengelolaan stres.

I.        CARA MENILAI KEAMANAN OBAT
Obat pada dasarnya merupakan bahan yang hanya dengan takaran tertentu dan dengan penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosa, mencegah penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan. Penggunaan obat yang tepat dan benar sangat menentukan keberhasilan proses pengobatan.
Pertama-tama yang harus diperhatikan atau dicermati adalah kode golongan obat yang akan dikonsumsi. Obat golongan obat bebas atau golongan obat bebas terbatas dapat diperoleh tanpa resep dokter dan obat golongan keras merupakan obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter.
Obat yang digolongkan sebagai obat keras tentunya merupakan obat yang memiliki potensi resiko yang lebih tinggi dibandingkan obat golongan bebas dan obat bebas terbatas. Namun demikian potensi risiko di atas sudah diperhitungkan dalam range yang dapat diantisipasi manusia serta tetap dilakukan pemantauan terhadap keamanan suatu produk obat beredar, baik oleh pihak produsen maupun pemerintah.
Nomor registrasi
Konsumen harus dapat memilah informasi yang objektif agar dapat memilih pengobatan. Dengan demikian penggunaan obat dapat menghasilkan efek yang optimal dan meminimalkan potensi risiko. Banyak yang perlu diketahui dalam mengkonsumsi suatu produk obat, baik untuk obat keras, obat bebas maupun obat bebas terbatas.
Saat ini banyak pilihan obat yang beredar, terutama untuk obat yang dapat digunakan tanpa resep dokter. Untuk memilih obat beberapa faktor perlu dipertimbangkan. Hal pertama yang harus diperiksa adalah keberadaan/pencantuman nomor izin edar atau nomor registrasi obat serta tanggal kedaluwarsa.
Obat yang tidak mencantumkan nomor registrasi merupakan produk yang belum terdaftar. Proses pendaftaran atau registrasi merupakan suatu proses evaluasi atau penilaian obat. Evaluasi atau penilaian produk obat meliputi evaluasi atau penilaian aspek efikasi (kemanjuran), keamanan dan mutu. Menggunakan obat yang tidak mencantumkan nomor registrasi dapat berisiko tidak terjaminnya kebenaran kandungan dan mutu obat. Setiap produk obat memiliki nomor registrasi dan informasi siapa industri farmasi pendaftar produk obat tersebut, serta beberapa informasi lainnya.
Nomor registrasi yang dipalsukan akan dapat ditelusuri dengan melihat kesesuaian kode nomor dengan fisik produk serta data pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Kadaluwarsa
Sementara itu, penting memperhatikan masa kedaluwarsa suatu produk obat sehingga dapat menghindari konsumsi suatu produk yang sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada produk obat yang sudah kedaluwarsa adalah sebagai berikut: 
Kadar obat sudah tidak berada dalam rentang yang dipersyaratkan untuk penggunaan. Ini dapat menyebabkan obat tidak bekerja optimal atau mungkin menjadi toksik, dan akan sangat berbahaya. Beberapa di antaranya adalah obat-obat jenis antibakteri, antihipertensi, dan antidiabet. Kerja obat yang tidak optimal karena turunnya kadar/potensi obat dapat memberikan dampak yang sangat luas, seperti:
o    Dapat mengancam keselamatan jiwa.
o    Mengacaukan diagnosa penyakit.
o    Menimbulkan/meningkatkan kasus resistensi (untuk antibiotik).
o    Meningkatkan biaya pengobatan.
o    Mutu obat tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya yang menyangkut sifat fisik produk obat seperti kekerasan tablet.

* Nomor batch yang tercantum pada kemasan obat juga merupakan hal penting untuk diperhatikan. Kode nomor tersebut merupakan kode yang diberikan oleh industri farmasi yang bersangkutan. Sehingga, memudahkan dilakukan penelusuran balik kepada sumber bila terjadi suatu masalah pada produk obat yang beredar di pasaran, baik masalah keamanan dan ataupun masalah mutu.
* Memperhatikan cara penyimpanan yang tertera dalam kemasan juga penting. Menyimpan obat sesuai dengan yang dianjurkan berarti ikut menjaga kondisi dan keadaan obat tersebut tetap stabil hingga masa kedaluwarsa. Karena itu, para konsumen diharapkan benar-benar memperhatikan dan mematuhi cara penyimpanan yang dianjurkan demi mendapatkan hasil optimal dari obat yang digunakan tersebut.

Keamanan suatu obat secara pendekatan ditentukan dengan Indeks Terapi (IT) dan Margin Dosis Keamanan (MDK). Indeks terapi obat dinyatakan dengan persamaan berikut:

TD50                            LD50
indeks Terapi  =                            Atau
                                              ED50                            ED50

Dimana:
IT : Indeks terapi
LD 50 : Median dosis letal, yaitu dosis yang mematikan 50% jumlah hewan
TD 50 : Dosis yang menimbulkan efek toksis pada 50% jumlah hewan coba
ED 50 : Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% jumlah hewan coba

Obat yang ideal memiliki nilai Indeks Terapi (IT) lebih besar dari satu. Semakin besar nilai IT, maka obat tersebut makin aman digunakan. Sedangkan nilai MDK adalah rasio antara dua dosis yang memberikan efek samping dan dosis yang memberikan efek terapi. MDK digunakan untuk mengevaluasi keamanan dalam penentuan dosis untuk manusia.
Indeks terapi merupakan batas keamanan obat yang berupa hubungan antara dosis terapi dan dosis obat yang menimbulkan efek. Hal ini menimbulkan selektivitas obat, tetapi data ini sulit diperoleh dari penelitian klinik karena dalam uji klinik, selektivitas obat dinyatakan secara tidak langsung yakni sebagai pola efek samping yang ditimbulkan obat dalam dosis terapi dan persentase penderita yang menghentikan pemakaian obat atau menurunkan dosis akibat efek samping.

























BAB III
PENUTUP


A.     Kesimpulan
Farmakologi atau yang bisa disebut dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat kimiawinya,fisikanya,kegiatan fisiologi,resorpsi dan nasibnya dalam organisme hidup. Sedangkan pengertian Farmakologi ( menurut Wikipedia )adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan obat-obatan.

Farmakologi membahas tentang farmakokinetik, farmakodinamik, faktor yang mempengaruhi efek obat, toksikologi dasar, cara pemberian obat, prinsip terapi, obat yang sering digunakan, dan cara menilai keamanan obat.
Hal – hal itu perlu diketahui untuk mengetahui apa saja yang menjadi bagian dari farmakologi dan bagaimana obat-obat yang ada bereaksi di dalam tubuh manusia.

B.      Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pembaca tentang farmakologi dan obat-obatan yang ada sehingga dapat meminimalisir efek yang tidak diinginkan dari obat-obatan.










DAFTAR PUSTAKA



Sulistia, Gan Gunawan. Farmakologi dan Terapi. Ed.5. 2009. Jakarta: FKUI

Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner dan Suddarth
Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran 2001

http://data-farmasi.blogspot.com/, diakses tanggal 11 November 2012
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran.2009. FARMAKOLOGI DAN TERAPI. Universitas Indonesia:jakarta



0 komentar:

Posting Komentar

 
;