BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Cairan dan elektrolit sangat diperlukan dalam rangka menjaga kondisi
tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan
dan elektrolit di dalam tubuh merupakan salah satu bagian dari fisiologi
homeostatis. Dengan kemampuannya yang
sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan,
biasanya dengan proses-proses faal (fisiologis) yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya lingkungan sel yang
relatif konstan tapi dinamis. Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti
adanya distribusi yang normal dari air tubuh total dan elektrolit ke dalam
seluruh bagian tubuh. Keseimbangan
cairan dan elektrolit saling bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah
satu terganggu maka akan berpengaruh pada yang lainnya.
Terapi cairan dan elektrolit adalah hal yang sangat sering terjadi dalam
masa perioperatif maupun intraoperatif.
Sejumlah besar cairan intravena sering dibutuhkan untuk mengkoreksi kekurangan cairan dan elektrolit serta mengkompensasi hilangnya darah selama
operasi. Oleh karena itu, ahli anestesi
harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang fisiologi normal cairan dan
elektrolit serta gangguannya. Gangguan
yang besar terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit dapat secara cepat
menimbulkan perubahan terhadap fungsi kardiovaskular, neurologis, dan
neuromuscular.
Luka
adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan. Efek dari timbulnya luka
antara lain hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stress
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, hingga kematian
sel. Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan
dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, pembersihan sel dan
benda asing, serta perkembangan awal seluler, merupakan bagian dari proses
penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun
beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan.
Akan tetapi, penyembuhan luka juga dapat terhambat akibat banyak faktor, baik
yang bersifat lokal maupun sistemik (Monaco and
Lawrence, 2003).
Dengan alasan tersebut, maka dibuatlah makalah ini diharapkan dapat
memberi informasi mengenai fisiologi dan terapi cairan dan elektrolit.
1.2.Tujuan
1.2.1.
Tujuan umum
Adapun
tujuan umum disusunnya makalah ini adalah untuk mengetahui keseimbangan cairan dan
elektrolit pada pasien operasi, monitoring kebutuhan perioperatif dan konsep
luka.
1.2.2.
Tujuan khusus
·
Untuk mengetahui keseimbangan
cairan dan elektrolit pada pasien operasi
·
Untuk mengetahui monitoring kebutuhan pre operatif
·
Untuk mengetahui monitoring kebutuhan
intra operatif
·
Untuk mengetahui monitoring
kebutuhan post operatif
·
Untuk mengetahui konsep luka
·
Untuk mengetahui jenis-jenis
penutupan luka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Kebutuhan
cairan dan elektrolit pasien operasi
2.1.1.
Anatomi cairan tubuh
Air merupakan bagian terbesar pada tubuh
manusia, persentasenya dapat berubah tergantung
pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun
cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung
air sebanyak 70-75 %. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah
cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60%
berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50 % berat badan. Hal ini
terlihat pada tabel
berikut :
Tabel.1 Perubahan cairan tubuh total
sesuai usia
Usia
|
Kilogram Berat (%)
|
Bayi prematur
3 bulan
6 bulan
1-2 tahun
11-16 tahun
Dewasa
Dewasa dengan obesitas
Dewasa kurus
|
80
70
60
59
58
58-60
40-50
70-75
|
Dikutip
dari : Garner MW: Physiology and pathophysiology of the body fluid, St.Louis, 1981, Mosby.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi
pada perdarahan, luka bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif
maupun perioperatif, dapat menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika
gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum tindakan anestesi dan
bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen
intraselular dan kompartemen
ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular
dan intersisial.
Ø Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan
intraselular. Pada orang dewasa, sekitar
duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki
dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya
pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.
Ø Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang
seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda
dengan berat rata-rata 70 kg. Cairan ekstraselular dibagi menjadi :
o
Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan
interstitial, sekitar 11- 12 liter pada orang
dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif
terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.
o
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah
(contohnya volume plasma).
Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya
merupakan plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.5
o
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh
tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume
cairan transeluler adalah sekitar 1 liter,
tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang
transeluler.
Body
100 %
|
Water
60% (100)
|
Tissue
40%
|
Extracellular
space
20% (40)
|
Interstitial
space
15% (30)
|
Intracellular
space
40% (60)
|
Intravascular
space
5% (10)
|
Diagram 1. Distribusi
Cairan Tubuh
Diambil dari Lyon Lee. Fluid
and Electrolyte Therapy. Oklahoma State University - Center for Veterinary
Health. 2006. http://member.tripod.com/~lyser/ivfs.html
Selain air, cairan
tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit
1) Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan
menghantarkan arus listrik. Elektrolit dibedakan
menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur
dalam miliekuivalen).
-
Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium
(Na+), sedangkan kation utama dalam
cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel tubuh yang
memompa keluar sodium dan potassium ini.
-
Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida
(Cl-) dan bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO4 3-).
Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan
interstitial pada intinya sama maka nilai
elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan
intraseluler.
Ø Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam mengatur keseimbangan cairan.
Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter. Kadar natrium dalam plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
-
Left atrial stretch
reseptor
-
Central baroreseptor
-
Renal afferent
baroreseptor
-
Aldosterone (reabsorpsi
di ginjal)
-
Atrial natriuretic
factor
-
Sistem renin
angiotensin
-
Sekresi ADH
-
Perubahan yang terjadi
pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70%
atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi
natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq
(6-15 gram NaCl). Natrium dapat bergerak
cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan keluar sel. Apabila tubuh banyak
mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan pemasukkan
terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan
diganti dengan air dan natrium dari cairan
interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik
dari dalam sel dan apabila volume plasma tetap tidak dapat
dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.
Ø Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan
ekstraseluler berperan penting di dalam terapi
gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kgBB dimana 99% dapat
berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium
yang terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan
setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan kalium
sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72
mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.
Ø Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama
susu, 80-90% dikeluarkan lewat faeces dan
sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium
sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar
paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi dan + 1% dalam cairan
ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.
Ø Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan +10
mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.
Ø Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh
sebagai salah satu hasil akhir daripada
metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan dikeluarkan urine. Asam
bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting
peranannya dalam keseimbangan asam basa.
2) Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak
terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya termasuk penting
adalah kreatinin dan bilirubin.
Gambar 1. Susunan Kimia Cairan Ekstraseluler dan
Intraseluler6
Diambil dari Guyton
& Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2:56
a.
Keseimbangan cairan dan elektrolit
Untuk mencapai keseimbangan cairan, maka cairan di dalam tubuh akan
berpindah dari satu kompartemen ke kompartemen lain. Perpindahan cairan
tersebut dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik, tekanan onkotik dan tekanan
osmotik. Gangguan keseimbangan cairan tubuh terutama menyangkut cairan
ekstrasel.
Cairan tubuh normalnya berpindah antara kedua kompartemen atau ruang
utama untuk mempertahankan keseimbangan nilai cairan. Pergerakan cairan yang normal melalui dinding
kapiler ke dalam jaringan tergantung pada kenaikan tekanan hidrostatik (tekanan
yang dihasilkan oleh cairan pada dinding pembuluh darah) pada kedua ujung
pembuluh arteri dan vena. Perpindahan
cairan dan elektrolit tubuh terjadi dalam tiga fase yaitu:
Ø Fase I: plasma darah pindah dari
seluruh tubuh ke dalam sistem sirkulasi, nutrisi dan oksigen diambil dari
paru-paru dan tractus gastrointestinal.
Ø Fase II: cairan interstitial
dengan komponennya pindah dari darah kapiler dan sel
Ø Fase III: cairan dan substansi yang
ada di dalamnya berpindah dari cairan interstitial masuk ke dalam sel.
Pembuluh darah kapiler dan membran sel yang merupakan membran semipermiabel
mampu memfilter tidak semua substansi dan komponen dalam cairan tubuh ikut
berpindah. Perpindahan air dan zat
terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme transpor pasif dan
aktif. Mekanisme transpor pasif tidak
membutuhkan energi sedangkan mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme transpor
pasif. Sedangkan mekanisme transpor
aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang memerlukan ATP. Proses pergerakan cairan tubuh antar
kompertemen dapat berlangsung secara:
1)
Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut)
melalui membrane semipermeabel (permeabel selektif) dari larutan
berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi
hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh
seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel
ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L.
Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira sama
disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan tekanan osmotik lebih rendah disebut
hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut
hipertonik.
2) Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi
rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga mendorong
air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan
hidrostatik.
3) Pompa Natrium Kalium
b.
Faktor yang mempengaruhi
keseimbangan cairan dan elektrolit
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan
elektrolit, di antaranya adalah :
·
Usia
Variasi usia berkaitan dengan luas permukaan tubuh, metabolisme yang
diperlukan dan berat badan. Selain itu,
cairan tubuh menurun dengan peningkatan usia.
Infant dan anak-anak lebih mudah mengalami gangguan keseimbangan cairan
dibanding usia dewasa. Pada usia lanjut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dikarenakan gangguan fungsi ginjal
atau jantung.
·
Jenis kelamin
Wanita mempunyai air tubuh yang kurang secara proporsional, karena lebih
banyak mengandung lemak tubuh.
·
Sel-sel lemak
Mengandung sedikit air, sehingga air tubuh menurun dengan peningkatan
lemak tubuh.
·
Stres
Stres dapat menimbulkan peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah
dan glikolisis otot, mekanisme ini dapat menimbulkan retensi sodium dan
air. Proses ini dapat meningkatkan
produksi ADH dan menurunkan produksi urine.
·
Kondisi sakit
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan
dan elektrolit tubuh Misalnya:
-
Trauma seperti luka bakar
akan meningkatkan kehilangan air melalui insensible
water lost (IWL)
-
Penyakit ginjal dan
kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh
-
Pasien dengan penurunan
tingkat kesadaran akan mengalami gangguan pemenuhan intake cairan karena
kehilangan kemampuan untuk memenuhinya secara mandiri.
·
Diet
Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika intake nutrisi tidak adekuat maka
tubuh akan membakar protein dan lemak sehingga serum albumin dan cadangan
protein akan menurun padahal keduanya sangat diperlukan dalam proses keseimbangan
cairan sehingga hal ini akan menyebabkan edema.
·
Temperatur lingkungan
Orang yang tinggal di daerah yang panas (suhu tinggi) dan kelembaban
udaranya rendah memiliki peningkatan kehilangan cairan tubuh dan elektrolit
melalui keringat. Panas yang berlebihan
menyebabkan berkeringat. Seseorang dapat
kehilangan NaCl melalui keringat sebanyak 15-30 g/hari. Sedangkan seseorang yang beraktifitas di
lingkungan yang panas dapat kehilangan cairan sampai dengan 5 L perhari.
·
Pengobatan
Pengobatan seperti pemberian diuretik dan laksatif dapat berpengaruh
pada kondisi cairan dan elektrolit tubuh.
·
Tindakan Medis
Banyak tindakan medis yang berpengaruh pada keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh seperti: suction,
nasogastric tube dan lain-lain.
·
Pembedahan
Pasien dengan tindakan pembedahan memiliki resiko tinggi mengalami
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh, dikarenakan kehilangan darah
selama pembedahan.
c.
Asupan dan kehilangan cairan dan
elektrolit pada keadaan normal
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal
dapat berubah oleh stres
akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru,
kulit atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang
mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per
hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan rata-rata 250 ml dari
feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak
disadari (insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari
metabolisme oksidatif dari karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300
ml per hari, cairan yang diminum setiap hari
sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml
tiap hari, sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata
1500 ml tiap hari, 40-80 ml per jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk
pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata 6 ml/kg/24 jam
pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada keadaan
demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu
tubuh di atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya
tergantung dari tingkatan dan jenis aktivitas yang dilakukan), paru-paru
(sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus gastointestinal
(100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat
penyakit di traktus
gastrointestinal), third-space loses.
Tabel.2
Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa
FLUID GAINS
|
FLUID LOSES
|
Oxidative
300 ml
Metabolism
Oral
fluids 1100-1400 ml
Solid
foods 800-1000 ml
|
Kidneys
1200-1500 ml
Skin
500-600 ml
Lungs 400
ml
GI tract
100-200 ml
|
TOTAL 2200-2700 ml
|
TOTAL 2200-2700 ml
|
d.
Perubahan cairan tubuh
Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi
3, yaitu :
1)
Perubahan volume
Ø Defisit volume
Defisit volume cairan ekstraselular merupakan
perubahan cairan tubuh yang paling umum terjadi
pada pasien bedah. Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot
nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat
berupa kehilangan cairan pada cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan
luka bakar. Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan
menimbulkan tanda gangguan pada susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih
dapat ditoleransi sampai defisi volume cairan ekstraselular
yang berat terjadi.
·
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar
konsentrasi serum dari natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik
(<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150
mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau
hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.
Dehidrasi Isotonis (isonatremik) terjadi ketika
kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi
natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam kompartemen intravaskular maupun
kompartemen ekstravaskular.
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika
kehilangan cairan denga kandungan natrium lebih
banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak
dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium serum
rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular, sehingga menyebabkan
penurunan volume intravaskular.
Dehidrasi hipertonis (hipernatremik) terjadi ketika
kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih
sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak
dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi,
air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga meminimalkan penurunan volume
intravaskular.
Tabel.3 Tanda-tanda klinis dehidrasi
Symptom/Sign
|
Mild
Dehydration
|
Moderate
Dehydration
|
Severe Dehydration
|
Level of
consciousness*
|
Alert
|
Lethargic
|
Obtunded
|
Capillary refill*
|
2 Seconds
|
2-4 Seconds
|
Greater than 4 seconds, cool limbs
|
Mucous
membranes*
|
Normal
|
Dry
|
Parched, cracked
|
Tears*
|
Normal
|
Decreased
|
Absent
|
Heart rate
|
Slight increase
|
Increased
|
Very increased
|
Respiratory rate
|
Normal
|
Increased
|
Increased and
hyperpnea
|
Blood pressure
|
Normal
|
Normal, but
orthostasis
|
Decreased
|
Pulse
|
Normal
|
Thready
|
Faint or impalpable
|
Skin turgor
|
Normal
|
Slow
|
Tenting
|
Fontanel
|
Normal
|
Depressed
|
Sunken
|
Eyes
|
Normal
|
Sunken
|
Very sunken
|
Urine output
|
Decreased
|
Oliguria
|
Oliguria/anuria
|
* Best indicators of hydration status
Tabel. 4 Derajat dehidrasi
Dehidrasi
|
Dewasa
|
Anak
|
Ringan
Sedang
Berat
Shock
|
4 %
6 %
8%
15-20%
|
4 % - 5 %
5 % - 10
%
10 % - 15
%
15-20%
|
Terapi untuk dehidrasi (rehidrasi)
dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan cairan
untuk rumatan, defisit cairan dan kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Beberapa
pendekatan terangkum dalam tabel 5.
Tabel.5 Pendekatan pada masalah cairan dan elektrolit
Strategi untuk rehidrasi
adalah dengan memperhitungkan defisit cairan, cairan rumatan yang diperlukan dan kehilangan cairan yang sedang
berlangsung disesuaikan . Cara rehidrasi :
a)
Nilai status rehidrasi (sesuai tabel 4 di
atas), banyak cairan yang diberikan (D) = derajat dehidrasi (%) x BB x 1000 cc
b)
Hitung cairan rumatan (M) yang diperlukan
(untuk dewasa 40 cc/kgBB/24 jam atau rumus
holliday-segar seperti untuk anak-anak)
c)
Pemberian cairan :
-
6 jam I = ½ D + ¼ M
atau 8 jam I = ½ D + ½ M (menurut Guillot)
-
18 jam II = ½ D + ¾ M
atau 16 jam II = ½ D + ½ M (menurut Guillot)
Ø Kelebihan volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang
menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian
cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal (gangguan
pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10 Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika
terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah
NaCl tetap atau berkurang.
·
Perubahan konsentrasi
-
Hiponatremia
Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala
disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah dan
henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini
dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses, diuretika),
hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi
dengan restriksi cairan (Na+ ≥ 125 mg/L) atau NaCl 3% sebanyak (140-X)xBBx0,6
mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5 mg/kg.
Na= Na1 – Na0 x TBW
|
Na = Jumlah Na yang
diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na
serum yang diinginkan Na0 = Na serum yang actual
TBW = total body
water = 0,6 x BB (kg)
-
Hipernatremia
Jika kadar natrium > 160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah. Hipernatremi
dapat disebabkan oleh kehilangan cairan
(diare, muntah, diuresis, diabetes insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium
berlebihan. Terapi keadaan ini adalah penggantian
cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x 0,6}: 140.12
-
Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat
dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat
berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS
segmen melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor
presipitasi (alkalosis, hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida
sampai 40 mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG,
kelemahan otot yang hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium:
K = K1 – K0 x 0,25
x BB
|
K = kalium yang dibutuhkan
K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB =
berat badan (kg)
-
Hiperkalemia
Terjadi
jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf
pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular
(disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk
hiperkalemia dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam
5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.
·
Perubahan komposisi
-
Asidosis respiratorik
(pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)
Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut
merupakan akibat dari ventilasi yang tidak
adekuat termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen
atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang
berlebihan. Manajemennya melibatkan koreksi yang adekuat dari defek
pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene
trakeobronkial saat post operatif adalah sangat penting.
-
Alkalosis respiratorik
(pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia,
cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu. Pada fase
akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari termasuk sedasi
yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat
dari ventilator mekanik, dan koreksi defisit potasium yang terjadi.
-
Asidosis metabolik
(pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)
Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan
asam atau kehilangan bikarbonat. Penyebab
yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik ketoasidosis, dan asidosis laktat.
Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan
ventilasi dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan, aspirin yang
berlebihan dan keracunan metanol. Terapi
sebaiknya ditujukan terhadap koreksi kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan
asidosis berat dan hanya setelah kompensasi
alkalosis respirasi digunakan.
-
Alkalosis metabolik (pH>7,45
dan bikarbonat >27 mEq/L)
Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam
atau penambahan bikarbonat dan diperburuk oleh
hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume
ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah
sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual selama
perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.
2.1.2.
Cairan perioperatif
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit
merupakan hal yang umum terjadi pada pasien
bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
Ø Faktor-faktor pre operative:
-
Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi
renal dapat diperburuk oleh stres akibat operasi.
-
Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan
marker intravena dapat menyebabkan ekskresi
cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis osmotik.
-
Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat
mempengaruhi eksresi air dan elektrolit
-
Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan
kehilangan air dan elekrolit dari traktus
gastrointestinal.
-
Penanganan medis
terhadap kondisi yang telah ada
-
Restriksi cairan
preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa
yang sehat kehilangan cairan sekitar 300-500 mL.
Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
-
Defisit cairan yang
telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan
efek dari anestesi.
Ø Faktor Perioperatif:
-
Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien
dengan hipovolemia preoperatif karena
hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
-
Kehilangan darah yang
abnormal
-
Kehilangan abnormal
cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat
operasi)
-
Kehilangan cairan
akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang besar dan prosedur
operasi yang berkepanjangan.
Ø Faktor postoperative:
·
Stres akibat operasi
dan nyeri pasca operasi
·
Peningkatan katabolisme
jaringan
·
Penurunan volume
sirkulasi yang efektif
·
Risiko atau adanya
ileus postoperatif
Ø Gangguan cairan, elektrolit dan asam
basa yang potensial terjadi perioperatif adalah :
·
Hiperkalemia
·
Asidosis metabolik
·
Alkalosis metabolik
·
Asidosis respiratorik
·
Alkalosis repiratorik
a.
Patofisiologi
Trauma, pembedahan dan anestesi akan menimbulkan
perubahan-perubahan pada keseimbangan air dan
metabolisme yang dapat berlangsung sampai beberapa hari pasca trauma atau bedah. Perubahan-perubahan tersebut
terutama sebagai akibat dari :
·
kerusakan sel di lokasi
pembedahan
·
Kehilangan dan
perpindahan cairan baik lokal maupun umum
·
Pengaruh puasa pra
bedah, selama pembedahan dan pasca bedah
·
Terjadi peningkatan
metabolisme, kerusakan jaringan dan fase penyembuhan
Perubahan yang terjadi meliputi perubahan-perubahan
hormonal seperti:
o
Kadar adrenalin dan non
adrenalin meningkat sampai hari ketiga pasca bedah atau trauma. Sekresi hormon monoamin ini kebih meningkat
lagi bila pada penderita tampak tanda-tanda
sepsi, syok, hipoksia dan ketakutan.
o
Kadar glukagon dalam plasma
juga meningkat
o
Sekresi hormon dari
kelenjar pituitaria anterior juga mengalami peningkatan yaitu growth hormone dan adrenocorticotropic
hormone (ACTH). Trauma atau stress akan merangsang
hipotalamus sehingga dikeluarkan corticotropin releasing factor yang merangsang
kelenjar pituitaria anterior untuk mensekresi ACTH. Peningkatan kadar ACTH dalam sirkulasi menyebabkan
glukokortikoid plasma meningkat sehingga
timbul hiperglikemia, glikolisis dan peninggian kadar asma lemak.
o
Kadar hormon antidiuretik
(ADH) mengalami peningkatan yang berlangsung sampai hari ke 2-4
pasca bedah/trauma. Respon dari trauma ini akan mengganggu pengaturan ADH yang dalam keadaan normal banyak
dipengaruhi oleh osmolalitas cairan
ekstraseluler.
o
Akibat peningkatan
ACTH, sekresi aldosteron juga meningkat. Setiap penurunan volume darah atau cairan ektraseluler selalu
menimbulkan rangsangan untuk pelepasan aldosteron.
o
Kadar prolaktin juga
meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan lakilaki.
Derajat perubahan-perubahan tersebut di atas sangat
bervariasi bagi setiap individu tergantung dari
beberapa faktor :
o
rasa sakit dan kualitas
analgesi
o
rasa takut dan sedasi
yang diberikan
o
komplikasi penyulit
pada pasca bedah/trauma (syok, perdarahan, hipoksia atau sepsis)
o
keadaan umum penderita
o
berat dan luasnya
trauma
b.
Dasar-dasar terapi cairan dan
elektrolit perioperatif
Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dan
menjadi pegangan dalam pemberian cairan perioperatif,
yaitu :
·
Kebutuhan normal cairan
dan elektrolit harian
Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan ± 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2 mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Secara umum kebutuhan cairan rumatan dapat dilihat
pada tabel 6.
Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang
hilang akibat pembentukan urine, sekresi
gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Cairan yang hilang ini pada umumnya bersifat
hipotonus (air lebih banyak dibandingkan elektrolit).
·
Defisit cairan dan elektrolit
pra bedah
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita
terutama pada penderita bedah elektif (sektar
6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit bedahnya (perdarahan, muntah,
diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada
penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera
diganti sebelum dilakukan pembedahan.
·
Kehilangan cairan saat
pembedahan
-
perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari :
§ botol penampung darah yang disambung dengan pipa
penghisap darah (suction pump)
§ dengan cara menimbang kasa yang digunakan sebelum dan
setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung ± 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah ±
100-10 ml. Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama
pembedahan hanya bisa ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman
banyak) dan keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan
pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap eritrosit
daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada luka operasi digunakan cairan
pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang
mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
-
Kehilangan cairan
lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi
kehilangan cairan yang lebih menonjol dibandingkan
perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan
internal. Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih
banyak pada pembedahan dengan luka pembedahan yang luas dan lama.
Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah perpindahan ke
ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi
defisit cairan intravaskuler. Jaringan yang mengalami
trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen usus.
Akibatnya jumlah cairan ion fungsional
dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran cairan yang terjadi
tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan secara fungsional cairan dalam
kompartemen ekstraseluler dan juga
dapat merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.
·
Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan:
-
Laju Filtrasi
Glomerular (GFR = Glomerular Filtration Rate) menurun.
-
Reabsorbsi Na+ di
tubulus meningkat yang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kadar
aldosteron.
-
Meningkatnya kadar
hormon anti diuretik (ADH) menyebabkan terjadinya retensi air dan
reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting tubules) meningkat.
-
Ginjal tidak mampu
mengekskresikan “free water” atau untuk menghasilkan urin hipotonis
c.
Monitoring kebutuhan pre operatif
Keperawatan
pre operatif merupakan tahapan awal dari keperawatan perioperatif. Fase pra
operatif dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan intervensi bedah dan diakhiri ketika
pasien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik
ataupun rumah, wawancara pra operatif dan menyiapkan pasien untuk anstesi yang
diberikan dan pembedahan.
·
Persiapan Klien Di Unit Perawatan
-
Inform Consent
Baik
pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil
apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani
tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan
tindakan medis (pembedahan dan anastesi).
Meskipun
mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat
dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi
nyata, tidak semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan
bagi klien. Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam
keadaan sehat tanpa komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami
operasi. Tentunya hal ini terkait dengan berbagai faktor seperti: kondisi
nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat, kepatuhan terhadap pengobatan,
kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama dalam perawatan.
Inform
Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik
hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhdap pasien wajib untuk
menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan
yang dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui
manfaat dan tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. Pasien maupun
keluarganya sebelum menandatangani surat pernyataan tersut akan mendapatkan
informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan,
pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan
secara detail, maka pihak pasien/keluarganya berhak untuk menanyakan kembali
sampai betul-betul paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika
tidak meka penyesalan akan dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan
operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga.
-
Persiapan Fisik
Sebelum
dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan secara
umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu,
riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status
hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan
hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien harus
istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan tidur yang cukup pasien tidak
akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien yang
memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan bagi pasien
wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.
§ Status Nutrisi
Kebutuhan
nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat kulit
trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan
keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi
sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan
jaringan. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di
rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi pasca
operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa menyatu),
demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat
mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan kematian.
§ Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance
cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output cairan.
Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang normal. Kadar
elektrolit yang biasanya dilakuakan pemeriksaan diantaranya dalah kadar natrium
serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5 – 5 mmol/l)
dan kadar kreatinin serum (0,70 – 1,50 mg/dl).
Keseimbangan
cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal
berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan
anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik.
Namun jika ginjal mengalami gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi renal
akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda menunggu perbaikan fungsi
ginjal. Kecuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa.
Ø Pengganti defisit pre operatif
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan
anestesi (puasa, lavement) harus diperhitungkan dan
sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi. Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan
pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di
ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita
yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang
cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus
mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit
karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali
menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan
atau rehidrasi sebelum induksi anestesi
§ Kebersihan lambung dan kolon
Lambung
dan kolon harus di bersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa
diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan
pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan enema/lavement. Lamanya puasa
berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul 24.00
WIB).
Tujuan
dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya
cairan lambung ke paru-paru) dan menghindari kontaminasi feses ke area
pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus
pada pasien yang menbutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien
kecelakaan lalu lintas. Maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara
pemasangan NGT (naso gastric tube).
§ Pencukuran daerah operasi
Pencukuran
pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya infeksi pada daerah
yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat
bersembunyi kuman dan juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan
perawatan luka. Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu yang tidak
memerlukan pencukuran sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi pada
lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan dengan hati-hati jangan
sampai menimbulkan luka pada daerah yang dicukur. Sering kali pasien di berikan
kesempatan untuk mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman.
Daeran
yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan
dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat kelamin (pubis) dilakukan pencukuran
jika yang dilakukan operasi pada daerah sekitar perut dan paha. Misalnya :
apendiktomi, herniotomi, uretrolithiasis, operasi pemasangan plate pada fraktur
femur, hemmoroidektomi. Selain terkait daerah pembedahan, pencukuran pada
lengan juga dilakukan pada pemasangan infus sebelum pembedahan.
§ Personal Hygine
Kebersihan
tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor
dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang
dioperasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri
dan membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika pasien
tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara mandiri maka perawat
akan memeberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene.
§ Pengosongan kandung kemih
Pengosongan
kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan kateter. Selain untuk
pengongan isi bladder tindakan kateterisasi juga diperluka untuk mengobservasi
balance cairan.
§ Latihan Pra Operasi
Berbagai
latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat penting
sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi, seperti :
nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan yang
diberikan pada pasien sebelum operasi antara lain :
§ Latihan Nafas Dalam.
Latihan
nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah
operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi
dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum.
Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien
dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan kondisi
dan kebutuhan pasien. Latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
o
Pasien tidur dengan posisi duduk
atau setengah duduk (semifowler)
dengan lutut ditekuk dan perut tidak boleh tegang.
o
Letakkan tangan diatas perut
o
Hirup udara sebanyak-banyaknya dengan
menggunakan hidung dalam kondisi mulut tertutup rapat.
o
Tahan nafas beberapa saat (3-5
detik) kemudian secara perlahan-lahan, udara dikeluarkan sedikit demi sedikit melalui
mulut.
o
Lakukan hal ini berulang kali (15
kali)
o
Lakukan latihan dua kali sehari
praopeartif.
§ Latihan Batuk Efektif.
Latihan
batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien yang mengalami
operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat
bantu nafas selama dalam kondisi teranstesi. Sehingga ketika sadar pasien akan
mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir
kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien
setalah operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret tersebut. Pasien dapat
dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara :
Pasien
condong ke depan dari posisi semifowler, jalinkan jari-jari tangan dan letakkan
melintang diatas incisi sebagai bebat ketika batuk.
o
Kemudian pasien nafas dalam
seperti cara nafas dalam (3-5 kali)
o
Segera lakukan batuk spontan,
pastikan rongga pernafasan terbuka dan tidak hanya batuk dengan mengadalkan
kekuatan tenggorokan saja karena bisa terjadi luka pada tenggorokan. Hal ini
bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak berbahaya terhadap incisi.
o
Ulangi lagi sesuai kebutuhan.
o
Jika selama batuk daerah operasi
terasa nyeri, pasien bisa menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau
gulungan handuk yang lembut untuk menahan daerah operasi dengan hati-hati
sehingga dapat mengurangi guncangan tubuh saat batuk
§ Latihan Gerak Sendi
Latihan
gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga setelah operasi,
pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk
mempercepat proses penyembuhan.
Pasien/keluarga
pasien seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien
setalah operasi. Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena
takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan
seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera
bergerak maka pasien akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus)
sehingga pasien akan lebih cepat kentut/flatus.
Keuntungan
lain adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan
terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah
memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi
pernafasan optimal. Intervensi ditujukan pada perubahan posisi tubuh dan juga
Range of Motion (ROM). Latihan perpindahan posisi dan ROM ini pada awalnya
dilakukan secara pasif namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan
tonus otot maka pasien diminta melakukan secara mandiri.
Status
kesehatan fisik merupakan faktor yang sangat penting bagi pasien yang akan
mengalami pembedahan, keadaan umum yang baik akan mendukung dan mempengaruhi
proses penyembuhan. Sebaliknya, berbagai kondisi fisiologis dapat mempengaruhi
proses pembedahan.
Demikian
juga faktor usia/penuaan dapat mengakibatkan komplikasi dan merupakan faktor
resiko pembedahan. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mempersiapkan fisik
pasien sebelum dilakukan pembedahan/operasi.
Faktor
resiko terhadap pembedahan antara lain :
ü Usia
Pasien
dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) dan usia lanjut mempunyai resiko
lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada usia tua sudah sangat
menurun . sedangkan pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh karena belum
matur-nya semua fungsi organ.
ü Nutrisi
Kondisi
malnutrisi dan obesitas/kegemukan lebih beresiko terhadap pembedahan
dibandingakan dengan orang normal dengan gizi baik terutama pada fase
penyembuhan. Pada orang malnutisi maka orang tersebut mengalami defisiensi
nutrisi yang sangat diperlukan untuk proses penyembuhan luka. Nutrisi-nutrisi
tersebut antara lain adalah protein, kalori, air, vitamin C, vitamin B
kompleks, vitamin A, Vitamin K, zat besi dan seng (diperlukan untuk sintesis
protein). Pada pasien yang mengalami obesitas.
Selama
pembedahan jaringan lemak, terutama sekali sangat rentan terhadap infeksi.
Selain itu, obesitas meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik. Oleh
karenanya dehisiensi dan infeksi luka, umum terjadi. Pasien obes sering sulit
dirawat karena tambahan beraat badan; pasien bernafas tidak optimal saat
berbaaring miring dan karenanya mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi
pulmonari pascaoperatif. Selain itu, distensi abdomen, flebitis dan
kardiovaskuler, endokrin, hepatik dan penyakit biliari terjadi lebih sering
pada pasien obes.
ü Penyakit Kronis
Pada
pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes, PPOM, dan insufisiensi
ginjal menjadi lebih sukar terkait dengan pemakian energi kalori untuk
penyembuhan primer. Dan juga pada penyakit ini banyak masalah sistemik yang
mengganggu sehingga komplikasi pembedahan maupun pasca pembedahan sangat tinggi
ü Ketidaksempurnaan respon neuroendokrin
Pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi endokrin, seperti dibetes mellitus yang
tidak terkontrol, bahaya utama yang mengancam hidup pasien saat dilakukan
pembedahan adalah terjadinya hipoglikemia yang mungkin terjadi selama pembiusan
akibat agen anstesi. Atau juga akibat masukan karbohidrat yang tidak adekuart
pasca operasi atau pemberian insulin yang berlebihan.
Bahaya
lain yang mengancam adalah asidosis atau glukosuria. Pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid beresiko mengalami insufisinsi adrenal. Pengguanaan
oabat-obatan kortikosteroid harus sepengetahuan dokter anastesi dan dokter bedahnya.
ü Merokok
Pasien
dengan riwayat merokok biasanya akan mengalami gangguan vaskuler, terutama
terjadi arterosklerosis pembuluh darah, yang akan meningkatkan tekanan darah
sistemiknya.
ü Alkohol dan obat-obatan
Individu
dengan riwayat alkoholic kronik seringkali menderita malnutrisi dan
masalah-masalah sistemik, sperti gangguan ginjal dan hepar yang akan
meningkatkan resiko pembedahan. Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang
seringkali dialami oleh pemabuk. Maka sebelum dilakukan operasi darurat perlu
dilakukan pengosongan lambung untuk menghindari asprirasi dengan pemasangan
NGT.
-
Persiapan penunjang
Persiapan
penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan
pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak
meungkin bisa menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi,
laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti ECG, dan lain-lain.
Sebelum
dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi pada pasien, dokter
melakukan berbagai pemeriksaan terkait dengan keluhan penyakit pasien sehingga
dokter bisa menyimpulkan penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah
memutuskan untuk dilakukan operasi maka dokter anstesi berperan untuk
menentukan apakan kondisi pasien layak menjalani operasi. Untuk itu dokter
anastesi juga memerlukan berbagai macam pemrikasaan laboratorium terutama
pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan (clotting time)
darah pasien, elektrolit serum, Hemoglobin, protein darah, dan hasil
pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG.
Dibawah
ini adalah berbagai jenis pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada
pasien sebelum operasi (tidak semua jenis pemeriksaan dilakukan terhadap
pasien, namun tergantung pada jenis penyakit dan operasi yang dijalani oleh
pasien). Pemeriksaan penunjang antara lain :
§ Pemeriksaan Radiologi dan diagnostik, seperti : Foto thoraks, abdomen,
foto tulang (daerah fraktur), USG (Ultra Sono Grafi), CT scan (computerized
Tomography Scan) , MRI (Magnrtic Resonance Imagine), BNO-IVP, Renogram,
Cystoscopy, Mammografi, CIL (Colon in Loop), EKG/ECG (Electro Cardio Grafi),
ECHO, EEG (Electro Enchephalo Grafi), dll.
§ Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksaan darah : hemoglobin, angka
leukosit, limfosit, LED (laju enap darah), jumlah trombosit, protein total (albumin
dan globulin), elektrolit (kalium, natrium, dan chlorida), CT/BT, ureum
kretinin, BUN, dll. Bisa juga dilakukan pemeriksaan pada sumsun tulang jika
penyakit terkaut dengan kelainan darah.
§ Biopsi, yaitu tindakan sebelum operasi berupa pengambilan bahan
jaringan tubuh untuk memastikan penyakit pasien sebelum operasi. Biopsi
biasanya dilakukan untuk memastikan apakah ada tumor ganas/jinak atau hanya
berupa infeksi kronis saja.
§ Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD).
Pemeriksaan KGD
dilakukan untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien dalan rentang normal
atau tidak. Uji KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10 jam (puasa jam 10 malam
dan diambil darahnya jam 8 pagi) dan juga dilakukan pemeriksaan KGD 2 jam PP
(ppst prandial).
§ Pemeriksaan status anastesi
Pemeriksaaan
status fisik untuk dilakukan pembiuasan dilakukan untuk keselamatan selama
pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan
mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana
resiko pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah
pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American Society of
Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat dan teknik anastesi
pada umumnya akan mengganggu fungsi pernafasan, peredaran darah dan sistem
saraf. Berikut adalah tabel pemeriksaan ASA.
o
ASA grade I
Status fisik :
Tidak ada gangguan organik, biokimia dan psikiatri. Misal: penderita dengan
herinia ingunalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat, bayi muda yang sehat.
Mortality
(%) : 0,05.
o
ASA grade II
Status fisik :
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan diseababkan oleh penyakit
yang akan dibedah. Misal: penderita dengan obesitas, penderita dengan bronkitis
dan penderita dengan diabetes mellitus ringan yang akan mengalami appendiktomi
Mortality
(%) : 0,4.
o
ASA grade III
Status fisik :
Penyakit sistemik berat; misalnya penderita diabetes mellitus dengan komplikasi
pembuluh darah dan datang dengan appendisitis akut.
Mortality
(%) : 4,5.
o
ASA grade IV
Status fisik :
Penyakit/gangguan sistemik berat yang menbahayakan jiwa yang tidak selalu dapat
diperbaiki dengan pembedahan, misalnya : insufisiensi koroner atau infark
miokard
Mortality
(%) : 25.
o
ASA grade V
Status fisik :
Penyakit/gangguan sistemik berat yang menbahayakan jiwa yang tidak selalu dapat
diperbaiki dengan pembedahan, misalnya : insufisiensi koroner atau infark
miokard
Mortality
(%) : 50.
-
Persiapan mental/psikis
Persiapan
mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi
karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap
kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual
pada integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis
maupun psikologis (Barbara C. Long).
Contoh
perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan dan ketakutan antara lain :
Pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat
mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga
operasi bisa dibatalkan. Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi
dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa
harus ditunda.
Setiap
orang mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi pengalaman operasi
sehingga akan memberikan respon yang berbeda pula, akan tetapi sesungguhnya
perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap orang dalam menghadapi
pembedahan. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan/kecemasan pasien
dalam menghadapi pembedahan antara lain :
§ Takut nyeri setelah pembedahan
§ Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi
normal (body image)
§ Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti)
§ Takut/cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang
mempunyai penyakit yang sama.
§ Takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas
§ Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi.
§ Takut operasi gagal.
Ketakutan
dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya
perubahan-perubahan fisik seperti : meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan,
gerakan-gerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab,
gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering
berkemih. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh
pasien dalam menghadapi stres.
Disamping
itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien
dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang
terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support system. Untuk
mengurangi / mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat menanyakan hal-hal yang
terkait dengan persiapan operasi, antara lain:
§ Pengalaman operasi sebelumnya
§ Persepsi pasien dan keluarga tentang tujuan/alasan tindakan operasi
§ Pengetahuan pasien dan keluarga tentang persiapan operasi baik fisik
maupun penunjang.
§ Pengetahuan pasien dan keluarga tentang situasi/kondisi kamar operasi
dan petugas kamar operasi.
§ Pengetahuan pasien dan keluarga tentang prosedur (pre, intra, post
operasi)
§ Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum
operasi dan harus dijalankan setalah operasi, seperti : latihan nafas dalam,
batuk efektif, ROM, dll.
Persiapan
mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan
keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah
disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian
datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah
menunda operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu.
Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan dan didukung oleh keluarga/orang terdekat pasien.
Persiapan
mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan perawat. Kehadiran dan
keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya
perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien
dengan kata-kata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien
untuk menjalani operasi.
Peranan
perawat dalam memberikan dukungan mental dapat dilakukan dengan berbagai cara:
Membantu pasien mengetahui tentang tindakan-tindakan yang dialami pasien
sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien tentang waktu operasi,
hal-hal yang akan dialami oleh pasien selama proses operasi, menunjukkan tempat
kamar operasi, dll.
Dengan
mengetahui berbagai informasi selama operasi maka diharapkan pasien mejadi
lebih siap menghadapi operasi, meskipun demikian ada keluarga yang tidak
menghendaki pasien mengetahui tentang berbagai hal yang terkait dengan operasi
yang akan dialami pasien.
Memberikan
penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan persiapan operasi sesuai
dengan tingkat perkembangan. Gunakan bahasa yang sederhana dan jelas. Misalnya:
jika pasien harus puasa, perawat akan menjelaskan kapan mulai puasa dan samapai
kapan, manfaatnya untuk apa, dan jika diambil darahnya, pasien perlu diberikan
penjelasan tujuan dari pemeriksaan darah yang dilakukan, dll.
Diharapkan
dengan pemberian informasi yang lengkap, kecemasan yang dialami oleh pasien
akan dapat diturunkan dan mempersiapkan mental pasien dengan baik Memberi kesempatan
pada pasien dan keluarganya untuk menanyakan tentang segala prosedur yang ada.
Dan memberi kesempatan pada pasien dan keluarga untuk berdoa bersama-sama
sebelum pasien di antar ke kamar operasi. Mengoreksi pengertian yang saah
tentang tindakan pembedahan dan hal-hal lain karena pengertian yang salah akan
menimbulkan kecemasan pada pasien.
Kolaborasi
dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre medikasi, seperti valium dan
diazepam tablet sebelum pasien tidur untuk menurunkan kecemasan dan pasien dapat
tidur sehingga kebutuhan istirahatnya terpenuhi.
Pada
saat pasien telah berada di ruang serah terima pasien di kamar operasi, petugas
kesehatan di situ akan memperkenalkan diri sehingga membuat pasien merasa lebih
tenang. Untuk memberikan ketenangan pada pasien, keluarga juga diberikan
kesempatn untuk mengantar pasien samapi ke batas kamar operasi dan
diperkenankan untuk menunggu di ruang tunggu yang terletak di depan kamar
operasi.
-
Obat-obatan premedikasi
Sebelum
operasi dilakukan pada esok harinya. Pasien akan diberikan obat-obatan
premedikasi untuk memberikan kesempatan pasien mendapatkan waktu istirahat yang
cukup. Obat-obatan premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium atau
diazepam. Antibiotik profilaksis biasanya di berikan sebelum pasien di operasi.
Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis biasanya di berikan
1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca bedah 2- 3 kali.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah ceftriakson 1gram dan lain-lain sesuai
indikasi pasien.
d.
Monitoring kebutuhan intra
operatif
Keperawatan
intra operatif merupakan bagian dari tahapan keperawatan perioperatif.
Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah segala macam aktivitas yang
dilakukan oleh perawat di ruang operasi. Aktivitas di ruang operasi oleh
perawat difokuskan pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk
perbaikan, koreksi atau menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu
pasien. Tentunya pada saat dilakukan pembedahan akan muncul permasalahan baik
fisiologis maupun psikologis pada diri pasien. Untuk itu keperawatan intra
operatif tidak hanya berfokus pada masalah fisiologis yang dihadapi oleh pasien
selama operasi, namun juga harus berfokus pada masalah psikologis yang dihadapi
oleh pasien. Sehingga pada akhirnya akan menghasilkan outcome berupa asuhan
keperawatan yang terintegrasi.
Untuk
menghasilkan hasil terbaik bagi diri pasien, tentunya diperlukan tenaga
kesehatan yang kompeten dan kerja sama yang sinergis antara masing-masing
anggota tim. Secara umum anggota tim dalam prosedur pembedahan ada tiga
kelompok besar, meliputi pertama, ahli anastesi dan perawat anastesi yang
bertugas memberikan agen analgetik dan membaringkan pasien dalam posisi yang
tepat di meja operasi, kedua ahli bedah dan asisten yang melakukan scrub dan
pembedahan dan yang ketiga adalah perawat intra operatif.
Perawat
intra operatif bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan (well
being) pasien. Untuk itu perawat intra operatif perlu mengadakan koordinasi
petugas ruang operasi dan pelaksanaan perawat scrub dan pengaturan aktivitas
selama pembedahan. Peran lain perawat di ruang operasi adalah sebagai RNFA
(Registered Nurse First Assitant). Peran sebagai RNFA ini sudah berlangsung
dengan baik di negara-negara amerika utara dan eropa. Namun demikian praktiknya
di indonesia masih belum sepenuhnya tepat. Peran perawat sebagai RNFA
diantaranya meliputi penanganan jaringan, memberikan pemajanan pada daerah
operasi, penggunaan instrumen, jahitan bedah dan pemberian hemostatis.
Untuk
menjamin perawatan pasien yang optimal selama pembedahan, informasi mengenai
pasien harus dijelaskan pada ahli anastesi dan perawat anastesi, serta perawat
bedah dan dokter bedahnya. Selain itu segala macam perkembangan yang berkaitan
dengan perawatan pasien di unit perawatan pasca anastesi (PACU) seperti
perdarahan, temuan yang tidak diperkirakan, permasalahan cairan dan elektrolit,
syok, kesulitan pernafasan harus dicatat, didokumentasikan dan dikomunikasikan
dengan staff PACU.
·
Prinsip-Prinsip Umum
-
Prinsip asepsis ruangan
Antisepsis
dan asepsis adalah suatu usaha untuk agar dicapainya keadaan yang memungkinkan
terdapatnya kuman-kuman pathogen dapat dikurangi atau ditiadakan, baik secara kimiawi,
tindakan mekanis atau tindakan fisik. Termasuk dalam cakupan tindakan
antisepsis adalah selain alat-alat bedah, seluruh sarana kamar operasi, semua
implantat, alat-alat yang dipakai personel operasi (sandal, celana, baju,
masker, topi dan lain-lainnya) dan juga cara membersihkan/melakukan desinfeksi
dari kulit/tangan
-
Prinsip asepsis personel
Teknik
persiapan personel sebelum operasi meliputi 3 tahap, yaitu : Scrubbing (cuci
tangan steril), Gowning (teknik peggunaan gaun operasi), dan Gloving (teknik
pemakaian sarung tangan steril). Semua anggota tim operasi harus memahami
konsep tersebut diatas untuk dapat memberikan penatalaksanaan operasi secara
asepsis dan antisepsis sehingga menghilangkan atau meminimalkan angka kuman.
Hal ini diperlukan untuk meghindarkan bahaya infeksi yang muncul akibat
kontaminasi selama prosedur pembedahan (infeksi nosokomial).
Disamping
sebagai cara pencegahan terhadap infeksi nosokomial, teknik-teknik tersebut
juga digunakan untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kesehatan terhadap
bahaya yang didapatkan akibat prosedur tindakan. Bahaya yang dapat muncul
diantranya penularan berbagai penyakit yang ditularkan melalui cairan tubuh
pasien (darah, cairan peritoneum, dll) seperti HIV/AIDS, Hepatitis dll.
-
Prinsip asepsis pasien
Pasien
yang akan menjalani pembedahan harus diasepsiskan. Maksudnya adalah dengan
melakukan berbagai macam prosedur yang digunakan untuk membuat medan operasi
steril. Prosedur-prosedur itu antara lain adalah kebersihan pasien, desinfeksi
lapangan operasi dan tindakan drapping.
-
Prinsip asepsis instrumen
Instrumen
bedah yang digunakan untuk pembedahan pasien harus benar-benar berada dalam
keadaan steril. Tindakan yang dapat dilakukan diantaranya adalah perawatan dan
sterilisasi alat, mempertahankan kesterilan alat pada saat pembedahan dengan
menggunakan teknik tanpa singgung dan menjaga agar tidak bersinggungan dengan
benda-benda non steril.
·
Fungsi Keperawatan Intra Operatif
Selain
sebagai kepala advokat pasien dalam kamar operasi yang menjamin kelancaran jalannya
operasi dan menjamin keselamatan pasien selama tindakan pembedahan. Secara umum
fungsi perawat di dalam kamar operasi seringkali dijelaskan dalam hubungan
aktivitas-aktivitas sirkulasi dan scrub (instrumentator).
Perawat
sirkulasi berperan mengatur ruang operasi dan melindungi keselamatan dan
kebutuhan pasien dengan memantau aktivitas anggota tim bedah dan memeriksa
kondisi di dalam ruang operasi. Tanggung jawab utamanya meliputi memastikan
kebersihan, suhu yang sesuai, kelembapan, pencahayaan, menjaga peralatan tetap
berfungsi dan ketersediaan berbagai material yang dibutuhkan sebelum, selama
dan sesudah operasi. Perawat sirkuler juga memantau praktik asepsis untuk
menghindari pelanggaran teknik asepsis sambil mengkoordinasi perpindahan
anggota tim yang berhubungan (tenaga medis, rontgen dan petugas laboratorium).
Perawat sirkuler juga memantau kondisi pasien selama prosedur operasi untuk
menjamin keselamatan pasien.
Aktivitas
perawat sebagai scrub nurse termasuk melakukan desinfeksi lapangan pembedahan
dan drapping, mengatur meja steril, menyiapkan alat jahit, diatermi dan
peralatan khusus yang dibutuhkan untuk pembedahan. Selain itu perawat scrub
juga membantu dokter bedah selama prosedur pembedahan dengan melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan seperti mengantisipasi instrumen yang
dibutuhkan, spon, kassa, drainage dan peralatan lain serta terus mengawasi
kondisi pasien ketika pasien dibawah pengaruh anastesi. Saat luka ditutup
perawat harus mengecek semua peralatan dan material untuk memastikan bahwa
semua jarum, kassa dan instrumen sudah dihitung lengkap
Kedua
fungsi tersebut membutuhkan pemahaman, pengetahuan dan ketrampilan perawat
tentang anatomi, perawatan jaringan dan prinsip asepsis, mengerti tentang
tujuan pembedahan, pemahaman dan kemampuan untuk mengantisipasi
kebutuhan-kebutuhan dan untuk bekerja sebagai anggota tim yang terampil dan
kemampuan untuk menangani segala situasi kedaruratan di ruang operasi.
·
Aktivitas Keperawatan Secara Umum
Aktivitas
keperawatan yang dilakukan selama tahap intra operatif meliputi 4 hal, yaitu :
-
Safety Management
Tindakan
ini merupakan suatu bentuk jaminan keamanan bagi pasien selama prosedur
pembedahan. Tindakan yang dilakukan untuk jaminan keamanan diantaranya adalah :
ü Pengaturan posisi pasien
Pengaturan
posisi pasien bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada klien dan memudahkan
pembedahan. Perawat perioperatif mengerti bahwa berbagai posisi operasi
berkaitan dengan perubahan-perubahan fisiologis yang timbul bila pasien
ditempatkan pada posisi tertentu. Faktor penting yang harus diperhatikan ketika
mengatur posisi di ruang operasi adalah:
§ Daerah operasi
§ Usia
§ Berat badan pasien
§ Tipe anastesi
§ Nyeri : normalnya nyeri dialami oleh pasien yang mengalami gangguan
pergerakan, seperti artritis.
Posisi
yang diberikan tidak boleh mengganggu sirkulasi, respirasi, tidak melakukan
penekanan yang berlebihan pada kulit dan tidak menutupi daerah atau medan
operasi.
Hal-hal
yang dilakukan oleh perawat terkait dengan pengaturan posisi pasien meliputi :
ü Kesejajaran fungsional
Maksudnya
adalah memberikan posisi yang tepat selama operasi. Operasi yang berbeda akan
membutuhkan posisi yang berbeda pula. Contoh :
o
Supine (dorsal recumbent) :
hernia, laparotomy, laparotomy eksplorasi, appendiktomi, mastectomy atau pun reseksi
usus.
o
Pronasi : operasi pada daerah
punggung dan spinal. Misal : Lamninectomy
o
Trendelenburg : dengan menempatkan
bagian usus diatas abdomen, sering digunakan untuk operasi pada daerah abdomen
bawah atau pelvis.
o
Lithotomy : posisi ini mengekspose
area perineal dan rectal dan biasanya digunakan untuk operasi vagina. Dilatasi
dan kuretase dan pembedahan rectal seperti : Hemmoiroidektomy
o
Lateral : digunakan untuk operasi
ginjal, dada dan pinggul.
ü Pemajanan area pembedahan
Pemajanan
daerah bedah maksudnya adalah daerah mana yang akan dilakukan tindakan
pembedahan. Dengan pengetahuan tentang hal ini perawat dapat mempersiapkan
daerah operasi dengan teknik drapping
ü Mempertahankan posisi sepanjang prosedur operasi
o
Posisi pasien di meja operasi
selama prosedur pembedahan harus dipertahankan sedemikian rupa. Hal ini selain
untuk mempermudah proses pembedahan juga sebagai bentuk jaminan keselamatan
pasien dengan memberikan posisi fisiologis dan mencegah terjadinya injury.
o
Memasang alat grounding ke pasien
o
Memberikan dukungan fisik dan
psikologis pada klien untuk menenagkan pasien selama operasi sehingga pasien
kooperatif.
o
Memastikan bahwa semua peralatan
yang dibutuhkan telah siap seperti : cairan infus, oksigen, jumlah spongs,
jarum dan instrumen tepat.
-
Monitoring Fisiologis
Pemantauan
fisiologis yang dilakukan meliputi :
ü Melakukan balance cairan
Penghitungan
balance cairan dilakuan untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien. Pemenuhan
balance cairan dilakukan dengan cara menghitung jumlah cairan yang masuk dan
yang keluar (cek pada kantong kateter urine) kemudian melakukan koreksi
terhadap imbalance cairan yang terjadi. Misalnya dengan pemberian cairan infus.
Ø Pengganti cairan selama intra operatif
Jumlah penggantian cairan selama
pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan
kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan
tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah
darah yang hilang.
Pembedahan yang
tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan
rumatan saja selama pembedahan.
Pembedahan dengan
trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah
4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma
pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat
atau Normosol-R.
Pembedahan dengan
trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk
pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
Tabel 7. Rates of
Fluid Administration to Replace Third Space Losses
Fluid Shift
|
Example of
Operation
|
Rates *
(Crystallid)
|
Minor
Moderate
Major
|
Tendon Repair
Tympanoplasty
Hysterectomy
Inguinal hernia
Total hip replacement
Abdominal case with
peritonitis
|
0 – 3 ml/kg/hr
6 ml/kg/hr
9 ml/kg/hr
|
* Includes 2 ml/kg/hr
maintenance but not usual 3 ml crystaloid/ml blood not replaced with blood.
Penggantian darah yang
hilang
Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV =
Estimated Blood Volume = taksiran volume darah), akan
menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada
seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi)
sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.
Tabel 8. Perkiraan volume
darah
Usia
|
Volume darah
|
Neonatus
*Prematur
*full term
Bayi
Dewasa
*Laki-laki
*Wanita
|
90 ml/kgBB
85 ml/kgBB
80 ml/kgBB
75 ml/kgBB
65 ml/kgBB
|
Walaupun volume cairan intravaskuler dapat
dipertahankan dengan larutan kristaloid, pemberian
transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan:
§ Keadaan umum penderita ( kadar Hb dan hematokrit)
sebelum pembedahan
§ Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi
§ Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum.
§ Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi)
§ Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah
diberikan
§ Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit.
§ Usia penderita
Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah:
-
1 unit sel darah merah
(PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.
-
Transfusi 10 cc/kgBB
sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr% Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan
secukupnya sehingga dieresis ± 1 ml/kgBB/jam.
ü Memantau kondisi cardiopulmonal
Pemantaun
kondisi kardio pulmonal harus dilakukan secara kontinu untuk melihat apakah
kondisi pasien normal atau tidak. Pemantauan yang dilakukan meliputi fungsi
pernafasan, nadi dan tekanan darah, saturasi oksigen, perdarahan dll.
ü Pemantauan terhadap perubahan vital sign
Pemantauan
tanda-tanda vital penting dilakukan untuk memastikan kondisi klien masih dalam
batas normal. Jika terjadi gangguan harus dilakukan intervensi secepatnya.
-
Dukungan Psikologis (sebelum
induksi dan bila pasien sadar)
ü Memberikan dukungan emosional pada pasien
ü Berdiri di dekat klien dan memberikan sentuhan selama prosedur induksi
ü Mengkaji status emosional klien
ü Mengkomunikasikan status emosional klien kepada tim kesehatan (jika ada
perubahan)
-
Pengaturan dan Koordinasi Nursing
Care
ü Memanage keamanan fisik pasien
ü Mempertahankan prinsip dan teknik asepsis
·
Tim Operasi
Setelah
kita tahu tentang aktivitas keperawatan yang dilakukan di kamar operasi, maka
sekarang kita akan membahas anggota tim yang terlibat dalam operasi. Anggota
tim operasi secara umum dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu anggota tim
steril dan anggota tim non steril. Berikut adalah bagan anggota tim operasi.
Steril :
ü Ahli bedah
ü Asisten bedah
ü Perawat Instrumentator (Scub nurse)
Non Steril :
ü Ahli anastesi
ü Perawat anastesi
ü Circulating nurse
ü Teknisi (operator alat, ahli patologi dll.)
Surgical Team:
ü Perawat steril bertugas :
o
Mempersiapkan pengadaan alat dan
bahan yang diperlukan untuk operasi
o
Membatu ahli bedah dan asisten
saat prosedur bedah berlangsung
o
Membantu persiapan pelaksanaan
alat yang dibutuhkan seperti jatrum, pisau bedah, kassa dan instrumen yang
dibutuhkan untuk operasi.
ü Perawat sirkuler bertugas :
o
Mengkaji, merencanakan,
mengimplementasikan dan mengevaluasi aktivitas keperawatan yang dapat memenuhi
kebutuhan pasien.
o
Mempertahankan lingkungan yang
aman dan nyaman
o
Menyiapkan bantuan kepada tiap
anggota tim menurut kebutuhan.
o
Memelihara komunikasi antar
anggota tim di ruang operasi.
o
Membantu mengatasi masalah yang
terjadi
e.
Monitoring kebutuhan post operatif
Keperawatan
postoperatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif. Selama periode
ini proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien pada keadaan
equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi.
Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali pada
fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman.
Upaya
yang dapat dilakukan diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang
kemungkinan mucul pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan
akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan di
rumah sakit atau membahayakan diri pasien. Memperhatikan hal ini, asuhan
keperawatan postoperatif sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu
sendiri.
·
Faktor yang Berpengaruh
Postoperatif
-
Mempertahankan jalan nafas
Dengan
mengatur posisi, memasang suction dan pemasangan mayo/gudel.
-
Mempertahankan
ventilasi/oksigenasi
Ventilasi
dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan nafas melalui ventilaot
mekanik atau nasal kanul.
-
Mempertahakan sirkulasi darah
Mempertahankan
sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian caiaran plasma ekspander.
-
Observasi keadaan umum, observasi
vomitus dan drainase
Keadaan
umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan pasien, seperti
kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin saja terjadi akibat
penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau kondisi vomitusnya. Selain itu
drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi terkait dengan kondisi
perdarahan yang dialami pasien.
-
Balance cairan
Harus
diperhatikan untuk mengetahui input dan output caiaran klien. Cairan harus
balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat perdarahan
atau justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi jantung dan juga
mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
Ø Pengganti cairan selama post operatif
Pemenuhan kebutuhan
dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal
sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari pertama
pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium dari sel/jaringan yang rusak,
proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat
stress pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium.
Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu
pemberian natrium. Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat
100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi
kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi
3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah
cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan gara m isotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai
penderita dapat minum dan makan
Mengganti kehilangan
cairan pada masa pasca bedah:
ü Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15%
setiap kenaikan 1°C suhu tubuh
ü Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde
lambung atau muntah.
ü Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan
melalui trakeostomi dan humidifikasi.
Melanjutkan penggantian
defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum selesai.
Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
Koreksi terhadap
gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Monitoring organ-organ
vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter
pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan
warna kulit.
-
Mempertahanakan kenyamanan dan
mencegah resiko injury.
Pasien
post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan beresiko
besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang nyaman dan pasang
side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien, diperlukan intervensi
keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medi terkait dengan agen pemblok
nyerinya.
·
Tindakan Post operatif
Ketika
pasien sudah selasai dalam tahap intraoperatif, setelah itu pasien di pindahkan
keruang perawatan, maka hal – hal yang harus perawat lakukan, yaitu :
-
Monitor tanda – tanda vital dan
keadaan umum pasien, drainage, tube/selang, dan komplikasi. Begitu pasien tiba
di bangsal langsung monitor kondisinya. Pemerikasaan ini merupakan pemmeriksaan
pertama yang dilakukan di bangsal setelah postoperatif.
-
Manajemen Luka
Amati
kondisi luka operasi dan jahitannya, pastikan luka tidak mengalami perdarahan
abnormal. Observasi discharge untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Manajemen
luka meliputi perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan.
-
Mobilisasi dini
Mobilisasi
dini yang dapat dilakukan meliputi ROM, nafas dalam dan juga batuk efektif yang
penting untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskuler dan mengeluarkan sekret
dan lendir.
-
Rehabilitasi
Rehabilitasi
diperlukan oleh pasien untuk memulihkan kondisi pasien kembali. Rehabilitasi
dapat berupa berbagai macam latihan spesifik yang diperlukan untuk
memaksimalkan kondisi pasien seperti sedia kala.
-
Discharge Planning
Merencanakan
kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien dan keluarganya tentang
hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan kondis/penyakitnya
post operasi.
Ada
2 macam discharge planning :
ü Untuk perawat : berisi point-point discahrge planing yang diberikan
kepada klien (sebagai dokumentasi)
ü Untuk pasien : dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih
detail.
f.
Pilihan jenis cairan
·
Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan
ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia
dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak
perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan sederhana dan dapat disimpan
lama. Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup
(3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Heugman
et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru
serta berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka,
apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9%. Penelitian
Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut
memperkuat penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid
berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra
kranial.
Karena
perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih
banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka
kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang
interstitiel Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan untuk resusitasi cairan
walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam
cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati
menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
·
Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau
biasa disebut “plasma substitute” atau
“plasma expander”. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak
lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi
cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).
Kerugian dari plasma expander yaitu mahal dan dapat
menimbulkan reaksi anafilaktik (walau
jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada “cross match”.
Berdasarkan pembuatannya,
terdapat 2 jenis larutan koloid:
-
Koloid alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan
albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60°C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin
dan beta globulin. Prekallikrein
activators (Hageman’s factor fragments) seringkali terdapat
dalam fraksi protein plasma dibandingkan dalam albumin. Oleh
sebab itu pemberian infuse dengan fraksi protein
plasma seringkali menimbulkan hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.
-
Koloid sintesis yaitu:
ü Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat molekul
60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc
mesenteroides B yang tumbuh dalam media
sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume
expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas)
darah. Selain itu Dextran mempunyai efek
anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas
faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat
mengganggu cross match, waktu perdarahan
memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah
yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit)
terlebih dahulu.
ü Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan
6% dengan berat molekul 10.000 – 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30
30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan
dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari
dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau
jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali
volume yang diberikan dan berlangsung selama
12 jam. Karena potensinya sebagai plasma volume expander yang besar
dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid
untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
ü Gelatin
Larutan koloid 3,5-4%
dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang. Ada 3 macam gelatin, yaitu:
modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
Urea linked gelatin
Oxypoly gelatin
Merupakan plasma
expanders dan banyak digunakan pada penderita gawat. Walaupun dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (jarang)
terutama dari golongan urea linked gelatin.
2.2.Konsep
luka
2.2.1.
Definisi
Luka
adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan
banyak hal atau berbagai faktor. Luka
adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau
organ tubuh lain (Kozier, 1995).
Luka
adalah gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 1997).
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah
kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Ketika
luka timbul, beberapa efek akan muncul :
·
Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
·
Respon stres simpatis
·
Perdarahan dan pembekuan darah
·
Kontaminasi bakteri
·
Kematian sel
Luka memiliki
beberapa karakter mekanik di antaranya:
·
Luka memiliki kekuatan yang kecil
pada 2-3 minggu pertama (fase inflamasi dan proliferasi)
·
Pada minggu ke-3, kekuatan luka
meningkat karena adanya remodelling
·
Luka memiliki 50% kekuatannya pada
saat 6 minggu, dan sisanya dalam beberapa minggu setelahnya
·
Kekuatan terus bertambah perlahan
hingga 6-12 bulan
Kekuatan
maksimal adalah 75% dari jaringan biasa (Sudjatmiko, 2007)
2.2.2.
Jenis-jenis luka
Luka
dapat diklasifikasi berdasarkan kategori tertentu :
a.
Berdasarkan waktu penyembuhan luka
·
Luka akut, yaitu luka dengan masa
penyembuhan sesuai dengan proses penyembuhan.
·
Luka kronis, yaitu luka yang mengalami
kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat karena faktor eksogen dan endogen.
b.
Berdasarkan penyebab terjadinya
·
Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat
bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak
dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh
maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
·
Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa
garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada
aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng,
kaca ), dimana bentuk luka teratur .
·
Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau
compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini
dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak
beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan
otot.
·
Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya
kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus
lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya
menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
·
Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk
permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka
juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
·
Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan
arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan
dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga
disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa
c.
Berdasarkan Derajat Kontaminasi
·
Luka bersih (Clean Wounds), yaitu
luka tak terinfeksi, dimana tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan
infeksi, dan kulit disekitar luka tampak bersih. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang
tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.
·
Luka bersih terkontaminasi
(Clean-contamined Wounds), merupakan
luka dalam kondisi terkontrol, tidak ada material kontamin dalam luka. Kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah
3% – 11%.
·
Luka terkontaminasi (Contamined
Wounds), yaitu luka terbuka kurang dari empat jam,
dengan tanda inflamasi non-purulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.
·
Luka
kotor atau infeksi (Dirty or Infected Wounds), yaitu luka terbuka
lebih dari empat jam dengan
tanda infeksi di kulit sekitar luka, terlihat pus dan jaringan nekrotik. Kemungkinan infeksi
luka 40%.
2.2.3.
Penutupan luka
Tujuan
utama dari penutupan luka yaitu untuk mengembalikan integritas kulit sehingga
mengurangi resiko terjadinya infeksi, scar dan penurunan fungsi (Monaco and
Lawrence ,
2003). Proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3 kategori, tergantung pada
tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada luka (David,
2004).
a.
Penutupan luka primer (Intensi
Primer)
Penyembuhan
primer atau sanatio per primam intentionem terjadi bila luka segera
diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Luka dibuat secara aseptik
dengan kerusakan jaringan minimum, dan dilakukan penutupan dengan baik seperti
dengan penjahitan. Ketika luka sembuh melalui instensi pertama, jaringan
granulasi tidak tampak dan pembentukan jaringan parut minimal. Parutan yang
terjadi biasanya lebih halus dan kecil (David, 2004).
b.
Penutupan luka sekunder (Intensi
Sekunder)
Penyembuhan
luka kulit tanpa pertolongan dari luar akan berjalan secara alami. Luka akan
terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini
disebut penyembuhan sekunder atau sanatio per secundam intentionem.
Cara ini biasanya memakan waktu cukup lama dan meninggalkan parut yang kurang
baik, terutama jika lukanya terbuka lebar (Mallefet and Dweck, 2008).
c.
Penutupan luka primer tertunda
(Intensi Tersier)
Penjahitan
luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang terkontaminasi berat atau
tidak berbatas tegas. Luka yang tidak berbatas tegas sering meninggalkan
jaringan yang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan pertama sukar dikenal.
Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit.
Luka yang demikian akan dibersihkan dan dieksisi (debridement) dahulu,
selanjutnya baru dijahit dan dibiarkan sembuh secara primer. Cara ini disebut
penyembuhan primer tertunda.
Gambar 1. Macam-macam proses
penutupan luka
2.2.4.
Fase penyembuhan luka
Setiap proses penyembuhan
luka akan melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan, serta tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka.
Sehubungan dengan adanya perubahan morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri
dari:
a.
Fase Hemostasis dan Inflamasi
(Schwartz and Neumeister, 2006)
Fase hemostasis dan inflamasi
adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan pada
jaringan lunak. Tujuannya adalah menghentikan perdarahan dan membersihkan
area luka dari benda asing, sel-sel mati, dan bakteri, untuk mempersiapkan
dimulainya proses penyembuhan.
Pada awal fase ini, kerusakan
pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis.
Platelet akan menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan
substansi vasokonstriktor yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler
vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan endotel yang akan menutup
pembuluh darah. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan
terjadi vasodilatasi kapiler karena stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya
substansi vasodilator : histamin, serotonin dan sitokin.
Histamin selain menyebabkan
vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga
cairan plasma darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka. Secara
klinis terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis.
Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke
ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan
bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel
makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada proses
penyembuhan luka. Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah (MacKay and Miller, 2003):
·
Sintesa kolagen
·
Membentuk jaringan granulasi bersama dengan fibroblast
·
Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi
·
Membentuk pembuluh kapiler baru atau angiogenesis
Dengan berhasil dicapainya
luka yang bersih, tidak terdapat infeksi serta terbentuknya makrofag dan
fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter bahwa fase
inflamasi ditandai dengan adanya eritema, hangat pada kulit, edema, dan rasa
sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4.
Gambar 2. Fase Hemostasis dan Inflamasi
(Mallefet and Dweck, 2008)
b.
Fase Proliferasi (Fase
Fibroplasia)
Fase
proliferasi disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol adalah proses
proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai
kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum
berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin
yang merupakan bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka
(Diegelmann and Evans, 2004).
Proses
kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan menyembuhkan
luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast sangat besar pada
proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk
struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan.
Pada jaringan lunak yang
normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya
bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblast
akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian
akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen,
elastin, asam hyaluronat, fibronectin dan proteoglikans) yang berperan dalam
membangun jaringan baru (Mallefet and
Dweck, 2008).
Fungsi kolagen yang
lebih spesifik adalah membentuk cikal bakal jaringan baru (connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh
fibroblast, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga
fibroblast sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah sel
dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut disebut
sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblast dengan
aktifitas sintetiknya disebut fibroplasia. Respons yang dilakukan fibroblast
terhadap proses fibroplasia adalah (MacKay and Miller, 2003):
o
Proliferasi
o
Migrasi
o
Deposit jaringan matriks
o
Kontraksi luka
Angiogenesis, suatu proses
pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka, mempunyai arti penting pada
tahap proleferasi proses penyembuhan luka. Kegagalan vaskuler akibat penyakit
(diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid) mengakibatkan
lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan
vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk
memberikan oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka, karena biasanya pada
daerah luka terdapat keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase
ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi
oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag (growth factors).
Proses selanjutnya adalah
epitelisasi, dimana fibroblast mengeluarkan keratinocyte
growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal.
Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang
menutupi permukaan luka. Dengan sintesa kolagen oleh fibroblast, pembentukan
lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya dengan mengatur keseimbangan
jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu jaringan baru tersebut menutup
luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai
kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih
menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal
(David, 2004; Monaco and Lawrence , 2003).
Gambar 3. Fase Proliferasi (Mallefet and Dweck, 2008)
c.
Fase Remodelling
Fase ini dimulai pada minggu
ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari
fase remodelling adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi
jaringan penyembuhan yang kuat dan berkualitas. Fibroblast sudah mulai
meninggalkan jaringan grunalasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang
karena pembuluh mulai regresi, dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak
untuk memperkuat jaringan parut. Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya
pada minggu ke-10 setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak
fase proliferasi akan dilanjutkan pada fase remodelling. Selain pembentukan
kolagen, juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh enzim kolagenase. Kolagen
muda (gelatinous collagen) yang
terbentuk pada fase proliferasi akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,
yaitu lebih kuat, dengan struktur yang lebih baik (proses re-modelling).
Untuk mencapai penyembuhan
yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi dengan yang
dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi
yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu
terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan
kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas
yang normal. Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun
outcome atau hasil yang dicapai
sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi, serta
luasnya luka (David, 2004; Mallefet and
Dweck, 2008; Schwartz and
Neumeister, 2006).
Gambar 4. Fase Remodelling (Mallefet and Dweck, 2008)
Gambar 5. Tahapan penyembuhan
luka. Pada individu sehat, penyembuhan berlangsung secara berurutan melalui
tiga fase yang saling tumpang tindih: (1) fase inflamasi, (2) fase proliferatif,
dan (3) fase remodelling. Stress dapat mempengaruhi perkembangan melalui
tahap-tahap melalui jalur kekebalan tubuh dan beberapa neuroendokrin. Review
saat ini berfokus pada peran interaktif glukokortikoid dan sitokin (misalnya
IL-8, IL-1α, IL-1β, IL-6, TNF-α, dan IL-10). Namun, sitokin tambahan, kemokin,
dan faktor pertumbuhan yang penting untuk penyembuhan. Ini termasuk kemokin CXC
ligan 1 (CXCL1), kemokin CC ligan 2 (CCL2), granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF), protein chemotactic monosit-1 (MCP-1),
makrofag inflamasi protien-1 alpha (MIP -lα), faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), mengubah faktor pertumbuhan-β (TNF-β), faktor pertumbuhan
keratinosit (KGF), faktor pertumbuhan platelet-derived (PDGF), dan faktor
pertumbuhan fibroblas dasar (bFGF)
2.2.5.
Penyembuhan Luka Pada Janin
Kulit
umumnya mengalami regenerasi tanpa parut, hal ini terbatas pada dua trimester
pertama. Banyak aspek jaringan pada janin dan lingkungan yang dapat
berkontribusi pada penyembuhan tanpa parut, yaitu :
a.
Lingkungan bayi (cairan amnion)
steril
b.
Cairan amnion mengandung faktor
pertumbuhan dan molekul matriks ekstra sel
c.
Fase inflamasi minimal, makrofag
diduga sebagai sel pengorganisasi utama pada proses penyembuhan fetus
d.
Faktor pertumbuhan dan sitokin
berbeda pada fetus, meski maknanya tidak diketahui
e.
Elevasi dari molekul yang terlibat
dalam morphogenesis dan pertumbuhan kulit
Penyembuhan
luka tanpa parut pada janin ditunjukkan dengan berkurangnya level TGF-β1,
TGF-β2, dan PDGF serta elevasi dari TGF-β3 (molekul morphogenesis kulit).
(Metcalfe AD and Ferguson MWJ, 2007)
2.2.6.
Penyembuhan Luka di Jaringan
Tertentu
a.
Penyembuhan pada Kulit
Fase
penyembuhan luka dapat diibagi 3 tahap yang saling terkait dan overlap:
inflamasi, formasi jaringan baru dan remodelling. Hal pertama yang terjadi
setelah cedera pada jaringan adalah inflamasi melalui peran sel-sel inflamasi.
Sel inflamasi pertama yang direkrut adalah neutrofil. Sel-sel inflamasi akan
secara masiv menginfiltrasi luka pada 24 jam pertama setelah cedera. Neutrofil
akan memasuki tahap apoptosis segera setelah menginfiltrasi luka dan kemudian
mengeluarkan sitokin selama proses apoptosis itu, dimana sitokin-sitokin
tersebut berperan dalam rekruitmen sel makrofag. Makrofag akan menuju jaringan
luka 2 hari setelah cedera dan melakukan aktifitas fagositosis.
Proses
selanjutnya adalah pembentukan formasi jaringan baru. Proses reepitelisasi ini
dimulai beberapa jam setelah formasi luka terbentuk. Keratinosit dari tepi luka
akan bermigrasi melintasi wound bed
pada permukaan antara dermis luka dan bekuan fibrin. Migrasi ini difasilitasi
oleh produksi protease spesifik seperti kolagenase dari sel epidermal untuk
mendegradasi matrix ekstraseluler. Angiogenesis masiv akan terjadi seiring
kebutuhan akan suplai oksigen dan nutrien jaringan untuk penyembuhan luka.
Kemudian beberapa dari fibroblast akan berdiferensiasi menjadi miofibroblas.
Sel kontraktile ini akan membantu menyambung jarak antar tepi luka. Disaat
bersamaan growth factors yang diproduksi jaringan granulasi akan memudahkan
proliferasi dan diferensiasi sel epitelial memperbaiki integritas barier
epitel.
Fase
terakhir adalah remodeling yang terdiri atas apoptosis miofibroblas, sel
endotelial dan makrofag. Pada fase ini akan terjadi involusi bertahap dari
jaringan granulasi dan terjadi regenerasi kulit (Modero and Khosrotehrani,
2010).
b.
Fase Penyembuhan Pada Tulang
Penyembuhan
fraktur pada tulang adalah sebuah mekanisme yang komplek dan proses regenerasi
unik dalam mengembalikan fungsi dan bentuk tulang.
Proses
penyembuhan tulang didahului oleh proses inflamasi dan didominasi oleh fase
pembentukan formasi tulang. Selama fase penyembuhan, kalus eksternal terbatas
pada kapsula fibrosa yang tersusun oleh jaringan granulasi yang tidak
beraturan. Fase inflamasi lebih lanjut ditandai invasi invasi sel mesenkimal
yang berdiferensiasi menjadi kondrosit untuk pembentukan tulang rawan dan
osteoblast untuk pembentukan tulang. Sel-sel debris inisial dan hematoma
selanjutnya akan digantikan oleh jaringan fibrosa. Jumlah kolagen tipe I akan
meningkat sampai 5 hari setelah fraktur,
tetapi kolagen tipe III adalah yang dominan dalam menyusun jaringan.
Fase
reparasi tulang dikaitkan dengan pertumbuhan formasi tulang intramembran dari
regio periosteal. Fase ini ditandai dengan invasi pembuluh darah dan
pertumbuhan kalus, dimana puncak pertumbuhannya biasa ditemukan hari 14 setelah
fraktur.
Fase
remodelling ditandai terbentuknya
formasi endochondral trabekular yang dihubungkan dengan osteoblast dan
TRAP-positive settlement pada rongga sumsum tulang, penyatuan fragmen dan
regenerasi celah sumsum tulang. Hal ini
sesuai dengan data percobaan dari model percobaan fraktur pada kelinci yang
menunjukkan peningkatan jumlah tulang trabekular dengan penyusun dominannya
kolagen tipe I, sedang kolagen tipe III dan tipe V tetap ditemukan didaerah
puasat dari trabekula. Selanjutnya tulang menyembuh tanpa adanya scar (Coulibaly
et al, 2010).
2.2.7.
Gangguan Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari
tubuh sendiri (endogen) dan oleh penyebab dari luar tubuh (eksogen). Penyebab
endogen terpenting adalah gangguan koagulasi yang disebut koagulopati, dan gangguan sistem imun. Semua gangguan pembekuan darah akan
menghambat
penyembuhan luka, sebab
homeostatis merupakan titik tolak dan dasar fase inflamasi. Gangguan sistem imun akan menghambat dan mengubah reaksi tubuh terhadap
luka, kematian jaringan dan kontaminasi.
Penyebab eksogen
meliputi penyinaran sinar ionisasi yang akan mengganggu mitosis dan merusak sel dengan
akibat dini maupun lanjut. Pemberian sitostatik, obat penekan imun misalnya setelah transplantasi
organ, dan
kortikosteroid juga akan mempengaruhi penyembuhan luka. Pengaruh setempat seperti
infeksi, hematom, benda asing, serta jaringan mati seperti sekuester dan nekrosis sangat menghambat
penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
2.2.8.
Faktor yang mempengaruhi proses
penyembuhan luka
a)
Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri
dari (Kozier, 1995 & Taylor,1997) :
·
Pertimbangan perkembangan
Anak
dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka daripada orang tua.
Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang
dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 1995).
·
Nutrisi
Penyembuhan
menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit
kaya Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn) Bila kurang
nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan
jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan
lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekwat (Taylor, 1997).
·
Infeksi
Ada
tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan penyembuhan luka.
Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam
penyembuhan luka akan terhambat.
·
Sirkulasi dan Oksigenasi
Sejumlah
kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi fisik lemah
atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar.
Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit
pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi
jaringan sel.
Pada
orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu,
lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada
orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau DM.
Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan
pernafasan kronik pada perokok.
·
Keadaan luka
Kedaan
kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka.
Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat. Misalnya luka kotor akan
lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.
·
Obat
Obat
anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan anti
neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama
dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian
pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama
b)
Faktor yang memperlambat
penyembuhan luka
Tidak
adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau lebih dari proses
penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor Intrinsik dan
ekstrinsik (Black & Jacob’s, 1997).
·
Faktor Intrinsik
Ketika
luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan penyembuhan
luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. Infeksi dapat
berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi jika nilai kultur
luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama
menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing
dalam luka adalah sumber infeksi.
Suplai
darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai darah dapat
terbatas karena kerusakan pada pembulu darah Jantung/ Paru. Hipoksia mengganggu
aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan
tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida
untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblast dan fagositosis terbentuk
lambat. Satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada
keadaan hipoksia adalah angio genesis.
·
Faktor ekstrinsik
Faktor
ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi, perubahan
usia dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi dapat mempengaruhi
beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan protein menurunkan sintesa
dari kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan karbonhidrat memperlambat semua
fase penyembuhan luka karena protein di rubah menjadi energi selama malnutrisi.
Kekurangan Vitamin menyebabkan terlambatnya produksi dari kolagen, respon
imun dan respon koagulasi.
Pasien
tua yang mengalami penurunan respon inflamatari yang memperlambat proses
penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan sirkulasi migrasi sel darah putih
pada sisa luka dan fagositasis terlambat. Ditambah pula kemungkinan
Pasien mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat penyembuhan luka
seperti Diabetes Melitus.
Diabetes
Melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak pasien mengalami kesulitan
dalam proses penyembuhan karena gangguan sintesa kolagen, angiogenesis
dan fagositosis. Peningkatan kadar glucosa mengganggu transport sel
asam askorbat kedalaman bermacam sel termasuk fibroblast dan
leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan leukosit kemotaktis, arterosklerosis,
kususnya pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai oksigen jaringan.
Neurapati diobotik mrupakan gangguan
penyembuhan lebih lanjut dengan mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan.
Kontrol dari gulu darah setelah operasi memudahkan penyembuhan luka secara
normal.
Merokok
adalah gangguan Vaso kontriksi dan hipoksia karena kadar Co2
dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok meningkatkan arteri
sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini membatasi
jumlah oksigen dalam luka.
Penggunaan
steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat kologen sintesis,
Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght luka, menghambat
kontraksi dan menghalangi epitilisasi.
Untungnya
Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka yang terhambat karena
gangguan atau penggunaan steroid.
2.2.9.
Penatalaksanaan/Perawatan Luka
a.
Perawatan
luka eksternal (non bedah)
·
Teknik
Perawatan Luka
1) Desinfeksi (Sin. Antiseptik atau Germisida)
-
Desinfeksi adalah tindakan dalam
melakukan pembebasan bakteri dari lapangan operasi dalam hal ini yaitu luka dan
sekitarnya.
-
Macam bahan desinfeksi: Alkohol 70%,
Betadine 10%, Perhidrol 3%, Savlon (Cefrimid +Chlorhexidine), Hibiscrub
(Chlorhexidine 4%)
-
Teknik : Desinfeksi sekitar luka
dengan kasa yang di basahi bahan desinfeksan
-
Tutup dengan doek steril atau kasa
steril
-
Bila perlu anestesi Lido/Xylo 0,5-1%
2) Pembersihan Luka
-
Pembersihan luka adalah mencuci
bagian luka
-
Bahan yang di gunakan : Perhidrol,
Savlon, Boor water, Normal Saline, PZ
-
Bilas dengan garam faali atau boor
water
3)
Debridement
(Wound Excision)
-
Debridement adalah membuang jaringan
yang mati serta merapikan tepi luka
-
Memotong dengan menggunakan scalpel
atau gunting
-
Rawat perdarahan dengan meligasi
menggunakan cat gut
4)
Perawatan Perdarahan
-
Perawatan perdarahan adalah suatu
tindakan untuk menghentikan proses perdarahan
-
Caranya dengan kompresi lokal atau
ligasi pembuluh darah atau jaringan sekitar perdarahan
5)
Penjahitan
luka
-
Penjahitan luka membutuhkan beberapa
persiapan baik alat, bahan serta beberapa peralatan lain. Urutan teknik juga
harus dimengerti oleh operator serta asistennya.
-
Alat, bahan dan perlengkapan yang di
butuhkan
Alat dan bahan yang dibutuhkan :
Alat dan bahan yang dibutuhkan :
1.
Naald Voeder ( Needle Holder ) atau
pemegang jarum biasanya satu buah.
2.
Pinset Chirrurgis atau pinset Bedah
satu buah
3.
Gunting benang satu buah.
4.
Jarum jahit, tergantung ukuran cukup
dua buah saja.
5.
Benang jahit Seide atau silk
6.
Benang Jahit Cat gut chromic dan
plain.
7.
Lain-lain :
-
Doek lubang steril
-
Kasa steril
-
Handscoon steril
·
Operasi teknik
-
Urutan teknik penjahitan luka (
suture techniques)
1)
Persiapan alat dan bahan
2)
Persiapan asisten dan operator
3)
Desinfeksi lapangan operasi
4)
Anestesi lapangan operasi
5)
debridement dan eksisi tepi luka
6)
penjahitan luka
7)
perawatan luka
-
Macam-macam jahitan luka
1) Jahitan Simpul Tunggal (Jahitan Terputus Sederhana, Simple Inerrupted Suture)
Merupakan jenis jahitan yang sering
dipakai. digunakan juga untuk jahitan situasi.
Teknik : – Melakukan penusukan jarum
dengan jarak antara setengah sampai 1 cm ditepi luka dan sekaligus mengambil
jaringan subkutannya sekalian dengan menusukkan jarum secara tegak lurus pada
atau searah garis luka.
Simpul tunggal dilakukan dengan
benang absorbable denga jarak antara 1cm.
Simpul di letakkan ditepi luka pada
salah satu tempat tusukan
Benang dipotong kurang lebih 1 cm.
2) Jahitan matras Horizontal (Horizontal Mattress suture, Interrupted
mattress)
Jahitan dengan melakukan penusukan
seperti simpul, sebelum disimpul dilanjutkan dengan penusukan sejajar sejauh 1
cm dari tusukan pertama.
Memberikan hasil jahitan yang kuat.
3) Jahitan Matras Vertikal (Vertical Mattress suture, Donati, Near to near and
far to far)
Jahitan dengan menjahit secara
mendalam dibawah luka kemudian dilanjutkan dengan menjahit tepi-tepi luka.
Biasanya menghasilkan penyembuhan luka yang cepat karena di dekatkannya
tepi-tepi luka oleh jahitan ini.
4) Jahitan Matras Modifikasi (Half Burried Mattress Suture)
Modifikasi dari matras horizontal
tetapi menjahit daerah luka seberangnya pada daerah subkutannya.
5) Jahitan Jelujur sederhana (Simple running suture, Simple continous,
Continous over and over)
Jahitan ini sangat sederhana, sama
dengan kita menjelujur baju. Biasanya menghasilkan hasiel kosmetik yang baik,
tidak disarankan penggunaannya pada jaringan ikat yang longgar.
6) Jahitan Jelujur Feston (Running locked suture, Interlocking suture)
Jahitan kontinyu dengan mengaitkan
benang pada jahitan sebelumnya, biasa sering dipakai pada jahitan peritoneum.
Merupakan variasi jahitan jelujur biasa.
7) Jahitan Jelujur horizontal (Running Horizontal suture)
Jahitan kontinyu yang diselingi
dengan jahitan arah horizontal.
8) Jahitan Simpul Intrakutan (Subcutaneus Interupted suture, Intradermal
burried suture, Interrupted dermal stitch)
Jahitan simpul pada daerah
intrakutan, biasanya dipakai untuk menjahit area yang dalam kemudian pada
bagian luarnya dijahit pula dengan simpul sederhana.
9) Jahitan Jelujur Intrakutan (Running subcuticular suture, Jahitan jelujur
subkutikular)
Jahitan jelujur yang dilakukan
dibawah kulit, jahitan ini terkenal menghasilkan kosmetik yang baik
·
Tutup atau
Bebat Luka
1) Setelah luka di jahit dengan rapi di bersihkan dengan desinfeksan (beri
salep)
2) Tutup luka dengan kasa steril yang dibasahi dengan betadine
3) Lekatkan dengan plester atau hipafix ( bila perlu diikat dengan Verban)
·
Angkat
Jahitan
Angkat
jahitan adalah proses pengambilan benang pada luka.
Berdasarkan lokasi dan hari tindakan:
1)
Muka atau leher hari ke 5
2)
Perut hari ke7-10
3)
Telapak tangan 10
4)
Jari tangan hari ke 10
5)
Tungkai atas hari ke 10
6)
Tungkai bawah 10-14
7)
Dada hari ke 7
8)
Punggung hari ke 10-14
b.
Perawatan
Luka Internal (Insisi Pasca Bedah)
Luka
insisi dibersihkan dengan alcohol dan larutan suci hama(larutan betadine dan
sebagainya), lalu ditutup dengan kain penutup luka,secara penodik pembalut luka
diganti dan luka dibersihkan. Dibuat pula catatan kapan benang/orave, dicabut
dan dilonggarkan. Diperhatikan pula apakah luka sembuh perprinum atau dibawah
luka terdapat eksudat.
·
Penatalaksanan luka dengan eksudat
:
-
Luka dengan sedikit eksudat di
tutup dengan band and operative dressing.
-
Luka dengan eksudat sedang di
tutup dengan tegal filmated swabs atau dengan pembalut luka lainnya.
-
Luka dengan eksudat banyak ditutup
dengan surgipad atau di kompres dengan cairan suci hama lainnya. Untuk
memberikan kenyamanan dan kebebasan bergerak bagi penderita, sebaiknya di pakai
gurita.
·
Komplikasi luka insisi :
-
Sebagai luka sembuh dan tertutup
baik, sebagian lagi dengan eksudat sebagian lagi dalam sejumlah sedang atau
banyak akan keluar melalui lubang-lubang(fisdel)
-
Luka terbuka sebagian bernanah dan
berinfeksi
-
Luka terbuka seluruhnya dan usus
kelihatan
·
Perawatan pasca tindakan operatif
-
Tempat perawatan pasca operasi
Tempat perawatan
pasca operasi atau bedah , setelah tindakan di kamar operasi , penderita
dipindahkan dalam kamar rawat (recovery room) yang di lengkapi dengan alat
pendingin kamar udara setelah beberapa hari. Bila keadaan penderita gawat,
segera pindahkan ke unit kamar darurat(intensive care unit)
-
Pemberian cairan
Karena selama 24
jam pertama penderita Puasa Pasca Operasi (PPO), maka pemberian cairan perinfus
harus cukup banyak perban mengandung elektrolit yang diperlukan, agar jangan
terjadi hipertemia, dehidrasi, dan komplikasi pada organ-organ tubuh lainnya.
-
Nyeri
Sejak penderita
sadar, dalam 24jam pertama. Rasa nyeri masih dirasakan di daerah operasi, untuk
mengurangi rasa nyeri di berikan obat-obatan anti septic dan penenang seperti
suntikan intramuskuler pthidin dosis 100-150 mg atau morfin sebanyak 10-15 mg
atau secara perinfus atau obat lainnya.
-
Mobilisasi
Mobilisasi segera
tahap demi tahap sangat berguna untuk membantu jalan-jalannya penyembuhan
penderita, kemajian mobilisasi bergantung pula pada jenis-jenis operasi yang di
lakukan oleh komlikasi yang mungkin di jumpai. Secara psikologis hal ini
memberikan pula kepercayaan pada si sakit bahwa ia mulai sembuh.
Perubahan gerakan
dan posisi yang harus di terangkan kepada penderita atau keluarga yang
menunggunya.
Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya trombisis dam emboli sebaiknya, bila terlalau dini melakukan mobilisasi dapat mempengaruhi penyembuhan operasi, jadi mobilisasi secara teratur dan bertahap serta di ikuti dengan istirahat adalah yang paling di anjurkan.
Mobilisasi berguna untuk mencegah terjadinya trombisis dam emboli sebaiknya, bila terlalau dini melakukan mobilisasi dapat mempengaruhi penyembuhan operasi, jadi mobilisasi secara teratur dan bertahap serta di ikuti dengan istirahat adalah yang paling di anjurkan.
-
Pemberian obat-obatan :
Antibiotik,
kemoterapi dan antiflamasi. Cara pemilihan dan pemberian anti biotika sangat
berbeda-beda disetiap institut, bahkan dalam satu institutepun masing-masing
dokter mempunyai cara dan pemilihan yang berlainan.
Sebagai pedoman
umum kira-kira sebagai berikut:
Sebelum melakukan uji biakan
(culture test) dan uji kepekaan (sensitive test), pilihan antibiotika. Pilihan
antibiotika. Pembunuh kuman gram negative sebagai obat peroral atau sebaliknya.
Setelah hasil uji-makan dan uji
kepekaan di terima, berikan obat dengan berpedoman dengan misi uji laboratorium
tersebut dengan cara seperti diatas.
Posisi obat harus tepat dan akurat
serta bersifat spektrum luas (Groad – Spektrum).
Obat-obat pencegah perut kembung.
Untuk mencegah
perut kembung dan untuk memperlancar kerja saluran pencernaan dapat diberikan
obat-obatan secara subkutan dan peroral, diantaranya : plasil, perim peran,
prostigmin, dan sebagainya. Apabila terjadi distansi abdomen, yang ditandai
dengan adanya perut kembung dan meteorimus, dilakukan dekompresi dengan
pemasangan pita rektal dan pita hasal. Boleh juga diberikan supporitoria bisa
codyl, 36 jam pasca bedah.
Obat-obatan Lainnya.
Untuk meningkatkan
vitalis dan keadaan umum penderita dapat diberikan roboronsia, obat anti
inflamasi, atau bahan tranfusi darah pada penderita yang anemis.
·
Perawatan Putih
Setelah selesai
operasi, dokter bedah dan anestesi telah membuat rencana pemeriksaan rutin atau
(check up) bagi penderita pasca bedah yang diteruskan kepada dokter atau nakes
lain.
·
Hal-hal yang harus diperhatikan
dalam pemeriksaan dan pengukuran, yang diukur adalah:
-
Tekanan darah
-
Jumlah nadi per menit
-
Frekuensi pernafasan per menit
-
Jumlah cairan masuk dan keluar
(urine)
-
Suhu badan
-
Pemeriksaan lainnya menurut jenis
operasi kasus periksaan dan pengukuran tersebut sekurang-kurangnya dilakukan
setiap 4 jam sekali dan dicatat dalam status penderita.
·
Tekhnik perawatan luka
Peralatan dan Perlengkapan
-
Pinset anatomi
-
Gunting dan plester
-
Kapas sublimar
-
Bak instrument dan handscoon
-
Bengkok
-
Waskom berisi larutan klorin
-
Kassa steril
-
Troli
-
Tempat tidur
-
Perlak
-
Larutan Nacl 0,9 %
-
Betadine
-
Kapas alcohol
-
Peralatan cuci tangan
Prosedur
Kerja
1)
Beritahu pasien tindakan yang akan
dilakukan.
2)
Siapkan bahan dan alat secara
ergonomis.
3)
Pasang sampiran.
4)
Atur posisi pasien senyaman
mungkin.
5)
Pasang perlak dan pengalasnya
dibawah daerah yang akan dilakukan perawatan.
6)
Cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir.
7)
Pakai sarung tangan (handscoon).
8)
Olesi plester dengan kapas
alcohol, agar mudah dan tidak sakit saat plester dibuka.
9)
Buka plester dan kasa dengan
menggunakan pinset, buang dalam bengkok.
10) Kaji luka (tekan daerah sekitar luka, lihat sudah kering atau basah.
11) Bersihkan luka dengan larutan antiseptic atau larutan gram faal.
12) Buang kasa yang telah digunakan kedalam bengkok.
13) Keringkan luka dengan menggunakan kassa yang baru.
14) Berikan salep antiseptic.
15) Tutup luka dengan kassa dan memasang plester.
16) Rapikan pasien.
17) Bereskan alat.
18) Lepas sarung tangan (masukkan kedalam Waskom berisi larutan klorin 0,5%
selama 10 menit ).
19) Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir, keringkan dengan handuk.
20) Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan.
2.2.10.
Komplikasi Penyembuhan Luka
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul
karena reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka.
Serat kolagen disini teranyam teratur. Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas luka,
sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan intervensi
bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang
menonjol, nodular, dan kemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang –
kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka setelah
sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh.
Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum, pinggang,
daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi. Keloid agak jarang
dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak memuaskan.
Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, bebat tekan, radiasi
ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan). Untuk
mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus,
diberikan bebat tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada
proses penyembuhan luka (Sjamsuhidajat and Jong, 1997).
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
ü Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia. Setiap usia memiliki
perbedaan perubahan cairan tubuh.
ü Cairan terdiri atas cairan intraseluler dan cairan ekstraseluluer.
Cairan ekstraseluler terbagi atas cairan interstitial, cairan intravaskular dan
cairan transeluler.
ü Cairan tubuh mengandung dua
jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
ü Pada perioperatif, terdapat perbedaan monitoring terhadap cairan pada
fase pre operatif, intra operatif dan post operatif.
ü Luka
adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan
kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain.
ü Luka dapat diklasifikasi berdasarkan waktu penyembuhan luka,
berdasarkan penyebab terjadinya luka, dan berdasarkan derajat kontaminasi luka.
ü Proses penutupan pada luka terbagi menjadi 3 kategori, tergantung pada
tipe jaringan yang terlibat dan keadaan serta perlakuan pada luka, yaitu
primer, sekunder, dan tersier.
3.2.Saran
Dengan
penulisan makalah ini, penulis berharap agar dapat menambah ilmu pengetahuan
kepada pembaca tentang kebutuhan cairan dan elektrolit pada pasien operasi,
monitoring kebutuhan perioperatif serta konsep luka, sehingga pembaca mampu
mengaplikasikannya dalam masyarakat. Oleh karena itu, harapan penulis kepada
pembaca semua agar sudi kiranya memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun.
0 komentar:
Posting Komentar