BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Farmakologi
atau yang bisa disebut dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan
ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat
kimiawinya,fisikanya,kegiatan fisiologi,resorpsi dan nasibnya dalam organisme
hidup.
Tujuan terapi obat adalah mencegah,
menyembuhkan atau mengendalikan berbagaikeadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan
ini, dosis obat yang cukup harus disampaikankepada jaringan target sehingga
kadar terapeutik ( tetapi tidak toksik) didapat. Dokter klinik harus mengetahui bahwa kecepatan awitan kerja
obat, besarnya efek obat dan lamanya kerjaobat dikontrol oleh empat proses
dasar gerakan dan modifikasi obat di dalam tubuh ( Mycek,1997 ).
Pertama, absorpsi obat dari tempat
pemberian obat memungkinkan masuknya obat tersebut
( secara langsung atau tidak langsung ) ke dalam plasma ( input). Kedua, obat tersebut
kemudian bisa secar reversible meninggalkan aliran darah dan menyebar ke
dalamcairan intestisial dan intraselular ( distribusi ). Ketiga, obat tersebut
bisa dimetabolisme oleh hati, ginjal, atau jaringan lainnya. Akhirnya, obat dan
metabolitnya dieliminasi dari tubuh(output )
di dalam urin, empedu, atau tinja ( Mycek, 1997 ).
B.
Tujuan
Untuk mengetahui dasar – dasar dari farmakologi dan
bagian – bagiannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Berasal dari kata (Yunani)
Berasal dari kata (Yunani)
Pharmakon : obat
Logia :
studi/ilmu
“Ilmu tentang
obat”
Farmakologi
atau yang bisa disebut dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan
ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat
kimiawinya,fisikanya,kegiatan fisiologi,resorpsi dan nasibnya dalam organisme
hidup.
Sedangkan
pengertian Farmakologi ( menurut Wikipedia )adalah ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan obat-obatan. Biasa dalam ilmu ini dipelajari:
- Penelitian mengenai penyakit-penyakit
- Kemungkinan
penyembuhan
- Penelitian
obat-obat baru
- Penelitian
efek samping obat-obatan dan atau teknologi baru terhadap beberapa
penyakit berhubungan dengan perjalanan obat di dalam tubuh serta perlakuan
tubuh terhadapnya.
Pada mulanya
farmakologi mencakup berbagai pengetahuan tentang obat yang meliputi: sejarah,
sumber, sifat-sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek fisiologi dan
biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotranformasi dan ekskresi,
serta penggunaan obat untuk terapi dan tujuan lain.
Dewasa ini didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat-sifat kimia dan organisme hidup serta segala aspek interaksi mereka.
atau Ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup
Dewasa ini didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat-sifat kimia dan organisme hidup serta segala aspek interaksi mereka.
atau Ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup
Farmakokinetika
Studi tentang absorpsi, distribusi, dan biotransformasi serta eksresi (eliminasi)
atau Pengaruh organisme hidup terhadap obat atau Penanganan obat oleh organisme hidup.
Studi tentang absorpsi, distribusi, dan biotransformasi serta eksresi (eliminasi)
atau Pengaruh organisme hidup terhadap obat atau Penanganan obat oleh organisme hidup.
Farmakodinamika
Studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan biokimiawi obat pada organisme hidup atau Pengaruh obat terhadap organisme hidup
Studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan biokimiawi obat pada organisme hidup atau Pengaruh obat terhadap organisme hidup
Farmakoterapi
Merupakan cabang ilmu farmakologi yang mempelajari penggunaan obat untuk pencegahan dan menyembuhkan penyakit
Merupakan cabang ilmu farmakologi yang mempelajari penggunaan obat untuk pencegahan dan menyembuhkan penyakit
Farmakognosi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat
Khemoterapi
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen termasuk pengobatan neoplasma
Toksikologi
Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup lain. Dalam cabang ini juga dipelajari cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus keracunan.
Cabang ilmu farmakologi yang mempelajari pengobatan penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen termasuk pengobatan neoplasma
Toksikologi
Ilmu yang mempelajari keracunan zat kimia termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industri, maupun lingkungan hidup lain. Dalam cabang ini juga dipelajari cara pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus keracunan.
Farmasi
Suatu sistem yang memberikan pelayanan kesehatan dengan perhatian khusus pada pengetahuan tentang obat dan efeknya pada manusia dan hewan
Suatu sistem yang memberikan pelayanan kesehatan dengan perhatian khusus pada pengetahuan tentang obat dan efeknya pada manusia dan hewan
B.
FARMAKOKINETIK
Obat yang masuk
ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi,
distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam
tubuh. Seluruh proses ini adalah farmakokinetik.
Di tubuh
manusia, obat harus menembus sawar (Barrier)
sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan
menembusnya, bukan dengan melewati celah antara sel, kecuali pada endotel
kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam farmakokinetik ialah trasport lintas membran.
Membran sel
terdiri dari dua lapisan lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi
membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul protein yang tertanam di
kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul
ini membentuk kanal hidrofilik untuk mentransport air dan molekul kecil lainnya
yang larut dalam air.
Cara transport
obat lintas membran adalah dengan cara difusi pasif dan transport aktif., yang
akhirnya melibatkan komponen membran sel dan energi. Sifat fisiko kimia obat
yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam
air, derajat ionisasi dan kelarutan dalam lemak.
Umumnya obat
diabsorbsi dan didistribusi secara difusi pasif. Mula – mula obat harus berada
dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran, kemudian molekul obat
akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini,
obat bergerak dari sisi kadarnya yeng lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf
mantap (Steady state) dicapai, kadar
obat bentuk non ion di kedua sisi membran akan sama.
Kebanyakan obat
berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan
elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung pada pKA
obat dan pH larutan. Untuk obat asam,
pKa rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang
relatif kuat. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah
berdifusi melintasi membran. Sedangkan
bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf
mantap kadar obat bentuk ion – ion saja yang sama dikedua sisi membran,
sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan pH di kedua sisi
membran.
Membran sel
merupakan membran semi permeabel artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul
– molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada
membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama
dengan aliran air akan terbawa zat – zat terlarut bukan ion yang berat
molekulnya kurang dari 100 – 200 misalnya urea, etanol dan antipirin. Meskipun
berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air
sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah
ditemukan kanal selektif untuk ion Na, K dan Ca.
Transport obat
melintasi endotel kapiler terutama melalui celah – celah atar sel, kecuali di
susunan saraf pusat (SSP). Celah atar sel endotel kapiler demikian besarnya
sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang dari
69.000 (BM aluminium), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam
lemak dan bentuk ion sealipun. Proses ini berperan dalam absorpsi obat setelah
pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.
Pinositosis
ialah cara transport dengan membentuk vesikel, misalnya untuk makromolekul
seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini sangat sedikit.
Transport obat
secara aktif biasanya terjadi pada sel
saraf, hati, dan tubulus ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh
dari aktivitas membran sendiri, sehigga zat dapat bergerak melewati perbedaan
kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif,
transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal
(dapat mengalami kejenuhan. Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif
zat – zat endogen dan transport aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi oleh
obat lain. Proses transport aktif mirip dengan difusi terpacu, namun dengan
perbedaan yaitu pada transport aktif, obat / metabolit melewati gradien
kepekatan, karena itu memerlukan energi metabolik. Energi ini biasanya isediakan
oleh ATP, kecuali energi lain yang proses produksinya diketahui.
Difusi
terfasilitasi (Facilitated diffusion)
ialah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen
membran sel tanpa menggunakan energi, sehingga obat dapat melawan perbedaan
kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat saingan, terjadi
pada zat endogen yang transportasinya secara difusi biasa terlalu lambat,
misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.
1.
Absorpsi dan Bioavailabilitas
Kedua kata
tersebut tidaklah sama artinya. Absorpsi yang merupakan proses penyerapan obat
dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut.
Kelengkapan dinyatakan dengan persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi
secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi
sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena, untuk obat – obat
tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai
sirkulasi sistemik.
Sebagai akan
dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di hati
pada lintasan pertamanya melalui organ – organ tersebut. Metabolisme ini
disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first past metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik.
Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun
absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna.
Jadi istilah
bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan dan kelengkapan, absorpsi
sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi
lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian
parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal
atau memberikannya bersama makanan.
Beberapa faktor
yang mempengaruhi bioavailabilitas pada obat oral yaitu:
a.
Faktor obat
1.
Sifat – sifat fisikokimia obat
o
Stabilitas pada pH lambung
o
Stabilitas terhadap enzim – enzim
pencernaan
o
Stabilitas terhadap flora usus
o
Kelarutan dalam air/cairan saluran
cerna
o
Ukuran molekul
o
Derajat ionisasi pada pH saluran
cerna
o
Kelarutan bentuk ion – ion dalam
lemak
o
Stabilitas terhadap enzim dalam
dinding saluran cerna
o
Stabilitas enzim dalam hati
2.
Formula obat
o
Keadaan fisik obat (ukuran partikel,
bentuk kristal / bubuk dan lainnya)
o
Zat – zat pengisi, pengikat,
pelicin, penyalut dan lainnya
b.
Faktor prnderita
1.
pH larutan cerna, fungsi empedu
2.
Kecepatan pengosongan lambung
(mobilitas saluran cerna, pH lambung, adanya makanan, bentuk tubuh, aktivitas
fisik yang berat, stres, nyeri hebat, ulkus peptikum, stenosis pilorus,
gangguan fungsi tiroid)
3.
Waktu transit dalam saluran cerna
(motilitas saluran cerna dan gangguannya)
4.
Perfusi saluran cerna (makanan,
aktivitas fisik yang berat, penyakit kardiovaskuler)
5.
Kapasitas absorpsi (luas permukaan
absorpsi, sindrom malabsorpsi, usia lanjut)
6.
Metabolisme dalam lumen saluran
cerna ( pH lambung, enzim – enzim pencernaan, flora usus)
7.
Kapasitas metabolisme dalam dinding
saluran cerna dan dalam hati (aktivitas enzim metabolisme dalam dinding saluran
cerna dan dalam hati, faktor genetik, aliran darah porta, penyakit hati)
c.
Interaksi dalam absorpsi di saluran
cerna
1.
Adanya makanan
2.
Perubahan pH saluran cerna (antasid)
3.
Perubahan motilitas saluran cerna
(katartik, opiat, antikolinergik)
4.
Perubahan perfusi saluran cerna
(obat – obat kardiovaskuler)
5.
Gangguan pada fungsi normal mukosa
usus (neomisin, kolkisin)
6.
Interaksi langsung (kelasi,
adsorpsi, terikat pada resin larutan dalam cairan yang tidak diabsorbsi)
BIOEKUIVALENSI
Ekuivalensi kimia yaitu
kesetaraan jumlah obat dalam sediaan – belum tentu menghasilkan kadar obat yang
sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi biologik atau
bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetap tidak
berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioekuivalensi. Ini terutama
terjadi pada obat – obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam
cairan saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat
mengalami metabolisme selama absorpsinya, misalnya eritromisisin dan levodopa.
Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan
perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi
terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi,
terutama untuk obat yang indeks terapinya sempit, misalnya digoksin,
difenilhidantoin, teofilin.
2.
Distribusi
Setelah
diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya
di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi
segera setelah penyerapan, yaitu ke organ ynag perfusinya baik misalnya jantung,
hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya Distribusi
fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak
sebaik organ diatas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Distribusi ini
baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang
intestinal jaringan terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu
melawan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam
lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat
yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga
distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi
oleh ikatan obat pada protein plasma., hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan
mencapai keseimbangan.
Derajat ikatan
obat dengan protein plasma ditentukan oleh
afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar proteinnya sendiri.
Pengikatan obat oleh protein akan berkurang dalam malnutrisi berat karena
adanya difisiensi protein.
Obat dapat
terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif, atau lebih
sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid,
atau nukleoprotein. Misalnya pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk
dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang penting
untuk obat larut lemak, misalnya tiopental. Protein plasma juga merupakan
reservoar obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma,
sedangkan obat yang bersifat basa pada asam alfa1-glikoprotein. Tulang dapat
menjadi reservoar untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium. Cairan
transeluler misalnya asam lambung, berlaku sebagai reservoar untuk obat yang
bersifat basa lemah akibat perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan
lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoar untuk obat oral yang
diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas. Obat terakumulasi
ini berada dalam keseimbangan dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan
sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoar ini dapat memperpanjang
kerja obat.
Redistribusi
obat dari tempat kerjannya ke jaringan lain merupakan salah satu faktor yang
dapat menghentikan kerja obat. Fenomena ini hanya terjadi pada obat yang sangat
larut lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi ,
maka setelah disuntikan IV, obat ini segera mencapai kadar maksimal maksimal dalam otak. Tetapi
karena kadar dalam plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke jaringan lain,
maka tiopental dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma
untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.
Distribusi dari
sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus menembus sawar khusus yang
dikenal sebagai sawar darah otak. Endotel kapiler otak tidak mempunyai celah antarsel maupun partikel
pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat (tight junction). Disamping itu, terdapat sel glia yang
mengelilingi kapiler otak ini. Dengan demikian obat tidak harus hanya melewati
endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk mencapai cairan
intestinal cairan otak. Karenan itu, kemampuan obat untuk menembus sawar darah
otak hanya ditentukan oleh, dan sebanding dengan kelarutann bentuk non ion dalam lemak. Obat yang
seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya amonium kuaterner
atau penisilin, dalam keadaan normal tidak cepat masuk ke otak dari darah.
Penisilin dosis besar sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisilin dosis terapi
hanya dapat masuk ke otak bila radang selaput otak, karena permeabilitas meningkat
di tempat radang.
Eliminasi obat
dari otak kembali ke darah terjadi melalui 3 cara yaitu :
a.
Secara transport aktif melalui
epitel pleksus koloid dari cairan serebrospinal (CSS) ke kapiler darah untuk
ion – ion organik meisalnya penisilin.
b.
Secara difusi pasif lewat sawar
darah otak dan sawar darah CSS di pleksus koroid untuk obat yang larut lemak.
c.
Ikut berasama aliran CSS melalui
vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat dan metabolit endogen, larut lemak
maupun tidak, ukuran kecil maupun besar.
Sawar uri yang
memisahkan darah induk dan darah janin terdiri dari sel epitel vili dan sel
endogen kapiler janin; jadi, tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena
itu, semua obat oral yang diterima induk akan masuk ke sirkulasi janin.
Distribusi obat dalam tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah induk
dalam waktu paling cepat 40 menit.
3.
Biotransformasi
Biotransformasi
atau metabolisme obat ialah proses
perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh
enzim.
Pada proses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan
kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresikan melalui ginjal,
sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Selain
itu, pada umumnya obat obat menjadi inaktif. Tetapi ada obat yang metabolitnya
sama aktif, lebih aktif dan lebih toksikn. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim
biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih
lanjut dan /atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Reaksi biokimia
yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk
reaksi fase I ialah oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Reaksi fase I ini
mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau
lebih aktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II yang disebut juga reaksi
sintetik, merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan
endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat atau asam amino. Tempat
terjadi : Hepar, paru-paru ginjal, dinding usus dan darah Hasil konyugasi ini
bersifat lebih polar dan mudah
terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi. Metabolit hasil konyugasi biasanya
tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat dimetabolisme
melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja
(satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau dua macam
reaksi). Tetapi, kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi
sekaligus secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit.
Enzim yang
berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya di
dalam sel yaitu :
a.
Enzim mikrosom yang terdapat dalam
RE halus (yang pada isolasi in vitro membbentuk mikrosom)
b.
Enzim non-mikrosom.
Kedua enzim ini
terdapat dalam hati, namun terdapat juga pada ginjal, paru, epitel saluran
cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga ada enzim nonmikrosom yang
dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi
glukuroid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan
hidrolisis. Sedangkan enzim nonmikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya,
beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sebagian besar
biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian juga
biotransformsi asam lemak, hormon steroid dan bilirubin. Untuk itu obat harus
larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam RE dan berikatan
dengan enzim mikrosom.
Sistem enzim
mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur (mixed-function oxidase=MFO) atau
monooksigenase; sitokrom P 450 ialah komponen utama dalam sistem ini. Reaksi
yang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N dan O-dealkilasi, hidroksilasi
cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder,
serta desulfurasi.
Glukuroid
merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol atau
asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi
melalui ginjal dan empedu secara ekskresi atau untuk anion. Glukuroid yang
diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim beta-glukuronidase yang
dihasilkan oleh bakteri usus dan obat yang dibebaskan dapat diserap kembali.
Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini
dikatalisis oleh beberapa enzim glukuronil transferase.
Berbeda dengan
enzim nonmikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun dihambat aktifitasnya
oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat dilingkungan. Zat ini
menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya. Zat
penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yaitu :kelompok yang kerjanya
menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital
meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon polisiklik
meningkatkan beberapa obat saja. Penghambat
enzim sitokrom P450 pada manusia dapat disebabkan oleh simetidin dan
etanol. Berbeda dengan penghambat dengan penghambat enzimyang langsung terjadi,
induksi enzim memerlukan waktu perjalanan beberapa hari bahakan beberapa minggu
sampai zat penginduksi terkumpul cukup banyak. Hilangnya efek induksi juga
terjadi bertahap setelah perjalanan zat penginduksi dihentikan. Beberapa obat
bersifat autoindiuktif artinya merangsang merangsang metabolisme sendiri.,
sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar
untuk mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama menginduksi
enzim metabolismenya., memerlukan peningkatkan dosis obat. Misalnya pemberian
warfarin bersama fenobarbitol, memerlukan peningkatan dosis warfarin untuk
mendapatkan efek antikoagulan yang diinginkan. Bila fenobarbitol dihentikan,
dosis warfarin harus diturunkan kembali untuk menghindari terjadinya perbedaan
yang hebat.
Oksidasi obat
tertentu oleh sitokrom P450 menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang
dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang lebih stabil. Tetapi,
bila enzimnya diinduksi atau kadar obatnya sangat tinggi , maka metabolit
anatara yang terbetuk banya sekali. Karena inaktivasinya tidak cukup cepat,
maka senyawa tersebut sempat bereaksi dengan komponen sel dan menyebakan
kerusakan jaringan. Contohnya ialah parasetamol.
Enzim
nonmikrosom mengkatalisis semua reaksi
konyugasi yang bukan dengan glukuronat yaitu konyugasi dengan asam asetat,
glisin, glutation, asam sulfat, asam fosfat, dan gugus metil. Sistem ini juga
mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Reaksi hidrolisis dikatalisis
oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna, dan ditempat
lain, serta oleh enzim amidase yang terutama terdapat di hati. Reaksi oksidasi terjadi di mitokondria
dan plasma sel hati serta jaringan lain, dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan
aldehid dehidrogenase, xantin oksidase, tirosin hidroksilase dan monoamin
oksidase.
Reaksi reduksi mikrosomal dan
nonmikrosomal terjadi di hati dan jaringan lain untuk senyawa azo dan nitro,
misalnya kloramfenikol. Reaksi ini sering kali dikatalisis oleh enzim flora
usus dalam lingkungan usus yang anaerob.
Karena kadar
terapi obat biasanya jauh di bawah kemampuan maksimal enzim metabolismenya,
maka penghambat kompetitif antara obat yang menjadi substrat bagi enzim yang
sama jarang terjadi. Penghambat kompetitif metabolisme obat hanya terjadi pada
obat yang kadar tepainya mendekati kapasitas maksimal enzim metabolismenya,
misalnya difenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan
6-merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh alopurinol. Akibatnya,
toksisitas obat yang dihabat metabolismenya meningkat.
Aktivitas enzim
mikrosom maupun non mikrosom ditentukan oleh faktor genetik sehingga kecepatan
metabolisme obat antarindividu bervariasi, dapat sampai 6 kali lipat atau
lebih. Beberapa enzim bahkan memperlihatkan polimorfisme genetik, artinya
terdapat dua kelompok utama dalam populasi. Distribusi populasi berdasarkan
perbedaan aktivitas enzim ini disebut distribusi bimodal, yaitu terdiri atas
yang tinggi (cepat) dan yang rendah (lambat). Misalnya untuk enzim asetilasi
isoniazid, hidralazin dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok
asetilator cepat dan asetilator lambat; enzim sitokrom P450 yang mengoksidasi
debrisokuin, metopolol dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas
kelompok extensive metabolizers dan poor metabolizers. Ini juga berlaku
untuk beberapa enzim lain.
Metabolisme
obat di hati terganggu bila terjadi kerusakan parenkimhati misalnya oleh adanya
zat hipatoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam hal ini dosis obat yang
eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau
dikurangi. Demikian juga penurunan aliran darah hepar oleh obat, gangguan
kardiovaskuler, atau latihan fisik yang berat akan mengurangi metabolisme
tertentu di hati.
4.
Ekskresi
Obat
dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar
diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui
paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini
merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif
di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Glomerulus yang
merupakan jaringan kapiler dapat melewati semua zat yang lebih kecil dari
albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak
terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam
organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat glukuroid dan asam urat)
diekskresi aktif melalui sistem transport untuk asam organik dan basa organik
(neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk
basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif sehingga
terjadi kompetisi anatar-asam organik
dan antar-basa organik dalam sistem transportnya masing – masing. Untuk zat
–zat endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung dua
arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli
proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion – ion. Oleh
karena itu, untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini
bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin
lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorpsinya
berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam,
ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi
basa lemah. Prinsip ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang
ekskresinya dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya
salisilat, fenobarbitol. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan
fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian
diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan
dosis atau interval pemberian obat.
Banyak
metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresi ke dalam usus melalui empedu,
kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran
cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transportasi ke
dalam empedu, semuanya transport aktif yaitu masing – masing untuk asam organik
termasuk glukuroid, basa organik, dan zat netral misalnya steroid. Telah disebutkan bahwa konyugat glukuroid
akan mengalami sirkulasi enterohepatik.
Ekskresi obat
juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi
dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran
efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar
obat tertentu. Rambutpun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya
arsen, pada kedokteran forensik.
C. FARMAKODINAMIK
Studi tentang tempat dan mekanisme
kerja serta efek fisiologik dan biokimiawi obat pada organisme hidup Atau Pengaruh
obat terhadap organisme hidup.
Farmakodinamika membahas tentang:
1.
Mekanisme
Kerja Obat
Kebanyakan
obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan
fisiologi yang merupakan respons khas untuk obat tersebut. Reseptor obat
merupakan komponen makromolekul fungisional.
Hal
ini mencakup 2 konsep penting:
a.
Obat dapat mengubah
kecepatan faal tubuh
b. Obat
tidak menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.
Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor obat, tetapi sekelompok
reseptor obat berperan sebagai reseptor fisiologis untuk ligand endogen
(hormone, neurotransmitter). Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen
disebut agonis. Sebaliknya, obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik
sehingga sehingga menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut
antagonis. Disamping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor
fisiologik akan menimbulkan efek intrinsik yang berlawanan dengan efek agonis,
yang disebut agonis negative.
Kerja obat
dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
a.
Kerja Obat Yang Diperantarai Oleh
Reseptor
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan
reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan reseptornya,
mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons biologis
yang khas untuk obat tersebut. Interaksi antara obat dengan enzim
biotransformasi juga merupakan interaksi yang khas karena mengakibatkan
perubahan struktur makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi
fisiologis yang dapat diamati sebagai respons biologis .
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul
fungsional, yaitu tempat terikatnya obat untuk menimbulkan respons. Sekelompok
reseptor obat tertentu juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen (
hormon dan neurotransmitor. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat
adalah protein ( misalnya : asetilkolinesterase, Na+ -, K+ -ATP ase dsb ). Asam
nukleat juga dapat merupakan reseptor obat , contohnya untuk obat sitostatika (
pembunuh sel kanker ).
Hubungan Struktur dan Aktifitas Biologik :
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
aktifitasnya terhadap reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan
kecil dalam molekul obat (misal : perubahan stereoisomer ) dapat menimbulkan
perubahan besar dalam sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan
struktur dan aktifitas bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru.
b.
Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai
Reseptor
Obat-obat berikut bekerja tanpa melalui
reseptor. Ada 3 mekanisme:
1.
Efek Nonspesifik dan
Gangguan pada Membran
Berdasarkan
sifat osmotic. Diuretic Osmotik (urea,monitol) meningkatkan osmolaritas
filtrate glomerulus sehingga mengurangi reabsorbsi air di tubulus ginjal
sehingga dengan akibat terjadi efek diuretic. Demikian juga katarik osmotic
(MgSO4), gliserol yang megurangi edema serebrat, dan pengganti
plasma (polivinil pirolidon = PVP) untuk menambah volume intravaskuler.
Berdasarkan
sifat asam/basa. Kerja ini diperlihatkan oleh antacid dalam menetralkan asam lambung,
NH4CL dalam membasakan urin, dan asam-asam organic sebagai
antiseptic saluran kemih atau sebagai spermisid topical dalam saluran vagina.
Kerusakan
nonspesifik. Zat-zat perusak nonspesifik digunakan sebagai
antiseptic-desinfektan. Contohnya:
o Detergen
merusak integritas membrane lipoproptein
o Halogen,peroksida,
dan oksidator lain merusak zat organic
o Denaturan
merusak integritas dan kapasitas fungisional membrane sel, partikel subseluler,
dan protein.
Gangguan
fungsi membrane. Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter, halotan,
enfluran dan metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane
jaringan otak sehingga eksitabilitasnya menurun. Anastetik local bekerja
dengan menyebabkan perubahan nonspesifik pada struktur membrane saraf.
2.
Interaksi dengan
Molekul Kecil atau Ion
Kerja
ini diperlihatkan oleh kalator (cvhelating agents) misalnya:
a.
CaNa2EDTA
untuk mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inakti pada keracunan
Pb
b. Penisilamin
untuk mengikat Cu2+ bebas yang menumpuk dalam hati dan oata pasien
penyakit Wilson menjadi komplek yang larut dalam aid an dikeluarkan melalui
urin
c.
Dimerkaplor (BAL =
british antilewiste) untuk mengikat logam berat (As, Sb, Hg, Au, Bi) yang bebas
maupun dalam kompleks organic menjadi kompleks yang larut dalam air dan
dikeluarkan melalui urin
3.
Inkorporasi dalam
Makromolekul
Obat
yang merupakan analog purin atau pirimidin dapat berinkorporasi dalam asam
nukleat sehingga menggangu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini
disebut antimetabolit, misalnya 6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, etionin,
p-fluoro-fenilalainin.
2.
Reseptor
Obat
Resept obat
atau reseptor farmakologik (selanjutnya disebut reseptor saja) ialah Komponen
speifik sel yang dapat berinteraksidengan obat dan hasil interaksi ini
menimbulkan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang pada akhirnya menimbulkan
efek atau respon.
Obat yang dapat
menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptor dinamakan agonis, sedangkan
yang tidak menimbulkan efek disebut antagonis.
Sifat dan Fungsi
Reseptor
Dari data
analisis fisiko-kimiawi menunjukan bahwa reseptor merupakan makromolekul yang
dapat berupa lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat
Reseptor obat
dalam tubuh hewan pada umumnya merupakan reeptor fisiologik yaitu reseptor
untuk senyawa-senyawa endogen seperti hormon, neurotransmiter dan autokoid. Kebanyakan
reseptor merupakan komponen fungsional membran plasma dan hanya sebagian kecil
yang berlokasi di dalam sel.
Reseptor yang
terletak pada permukaan sel meliputi reseptor untuk neurotransmiter, hormon
peptida (mis: insulin), sedangkan reseptor yang terdapat di dalam sel(reseptor
intraseluler) mis: reseptor untuk steroid.
Reseptor berfungsi untuk menerima rangsangan (stimulus) dengan mengikat senyawa endogen (obat) yang sesuai kemudian menyampaikan informasi yang diterimanya itu kedalam sel dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permiabilitas membran (mis: reseptor nikotinik). Disamping sebagai alat komunikasi reseptor juga dapat berfungsi sebagai enzim dan asam nukleat.
Reseptor berfungsi untuk menerima rangsangan (stimulus) dengan mengikat senyawa endogen (obat) yang sesuai kemudian menyampaikan informasi yang diterimanya itu kedalam sel dengan langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permiabilitas membran (mis: reseptor nikotinik). Disamping sebagai alat komunikasi reseptor juga dapat berfungsi sebagai enzim dan asam nukleat.
Sifat
Kimia Protein merupakan reseptor obat yang paling penting (misalnya reseptor,
fisiologis, asetilkolinesterase, Na+, K+-ATPase, tubulin,
dsb). Asam nukleat juga dapat merupakan reseptor obat yang penting. Misalnya
untuk sitostatik. Ikatan obat reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen,
hidrofobik, van der walls, atau kovalen, tetapi umumnya, merupakan
campuran berbagai ikatan kovalen diatas. Perlu diperhatikan bahwa ikatan yang
kuat sehingga lama kerja obat seringkali, tetapi tidak selalu, panjang.
Walaupun demikian, ikatan nonkovalen yang afinitasnya tinggi juga dapat
bersifat permanen.
Ikatan antara
obat dengan reseptor, misalnya ikatan antara substrat dengan enzim, biasanya
merupakan ikatan lemah ( ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan
van der Walls ) dan jarang berupa ikatan kovalen. Hubungannya dengan efek obat
dapat digambarkan sebagai berikut :
Hubungan
Sturuktur-Aktivitas. Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan
afinitasnya terhadap reseptor dan aktitivas intrinsiknya. Sehingga perubahan
kecil dalam molekul obat. Misalnya perubahan stereoisomer, dapat menimbulkan
perubahan besar pada sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai struktur aktivitas
bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru, sintesis obat yang rasio
terapinya lebih baik, atau sintesisi obat yang selektif terhadap jaringan
tertentu.
Reseptor
Fisiologik telah disebutkan bahwa reseptor obat adalah mikromolekul seluler
tempat obat terikat untuk menimbulkan efeknya. Sedangkan reseptor fisiologik
adalah protein seluler yang secara normal berfungsi sebagai
reseptor bagi ligand endogen, terutama hormoin neurotransmitter, growth
factor dan autakoid. Fungsi reseptor ini meliputi peningkatan ligant yang
sesuai (oleh ligand binding domain) dan penghantar sinyal (oleh effector
domain) yang dapat secara langsung menimbulkan efek intrasel atau secara tidak
langsung memulai sintesis atau penglepasan molekul intrasel lain yang dikenal
sebagai second messenger.
3.
Transmisi
Sinyal Biologis
Penghantar
sinyal biologis ialah proses yang menyebabkan suatu substansi ekstraseluler
(Extracellular chemical messenger) menimbulkan suatu respons seluler fisiologis
yang spesifik. System hantaran ini dimulai dengan penempatan hormone atau
neorotransmiter pada reseptor yang terdapat dimembran sel atau didalam
sitoplasma.
Saat
ini dikenal 5 jenis reseptor fisiologik. Empat dari reseptor ini terdapat
dipermukaan sel, sedangkan satu terdapat pada sitoplasma. Dari 4 reseptor
dipermukaan sel, satu reseptor meneruskan sinyal yang disampaikan ligandnya
dari permukaan sel kedalam sitoplasma dan inti sel.
Reseptor
yang terdapat dipermukaan sel terdiri atas reseptor dalam bentuk enzim, kanal
ion G-protein, coupled receptor (G-PCR) Reseptor bentuk Enzim terdiri dari 2
jenis, yaitu:
a.
Yang menimbulkan
fosforilasi protein efektor yang merupakan bagian reseptor tersebut pada
membrane sel bagian dalam, berupa tirosin kinase, tirosin fosfatase, serin
kinase, atau guanili kinase.
b. Reseptor
sitokin yang mempunyai ligand growth hormone, eritropoeitin, interperon dan
ligand lain yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi.
Reseptor
yang terdapat dalam sitoplasma merupakan protein terlarut pengikat DNA (Soluble
DNA-binding protein) yang mengatur transkripsi gen gen tertentu.
Pendudukan reseptor oleh hormone yang sesuai akan menimbulkan sintesis protein
tedrtentu.
Second
messenger sitoplasma . Penghantar sinyal biologis dalam sitpoplasma
dilangsungkan dengan kerja second messenger antara lain berupa siklik-AMP
(cAMP), ion Ca2+, 1,4,5-inositol trifosfat (IP3),
diasligliserol (DAG), dan NO.
Siklik-AMP
(cAMP) ialah second messenger yang pertama kali ditemukan. Substansi ini
dihasilkan melalui stimulasi adenilat siklase sebagai respon terhadap aktivasi
bermacam-macam reseptor (misalnya reseptor adrenergic). Stimulasi adenilat
siklase dilangsungkan lewat protein G8 dan adenilat siklase juga
dapat distimulasi oleh Ca2+ (terutama pada neuron) toksin kolera,
atau ion fluoride (F-).
Ion
Ca2+ sitoplasma merupakan second messenger lain yang berfungsi dalam
aktivitas beberapa jenis enzim (misalnya fosolipase), menggiatkan aparat
kontraktil sel otot, mencetuskan penglepasan histamine, dan sebagainya.
Inositol
triphosphate (IP3) dan diasilgliserol (DAG) merupakan second
messenger pada transmisi sinyal di α1 adrenoseptor, reseptor
vasopressin, asetikolin, histamine, platelet-derived growth factor, dan
sebagainya.
NO
(nitric oxide) berperan dalam pengaturan dalam system kardiovaskuler, imunologi
dan susunan saraf. Disamping sebagai perantara dalam fungsi sel normal, NO juga
berperan dalam sejumlah proses patologis seperti syok septic, hipertensi,
stroke dan penyakit neurodegenerative. Pada system vaskuler NO berperan
menstimulasi guanilil siklase untuk memproduksi cGMP yang merupakan vasodilator
Pengaturan
fungsi reseptor. Resepto tidak hanya berfungsi dalam pengaturan fisiologi dan
biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh mekanisme homeostatic lain.
Bila suatu sel dirangsang oleh agonisnya secara terus menerus maka akan terjadi
desensitisasi (refrakterisasi atau down regulation) yang menyebabkan efek
perangsangan selanjutnya oleh kadar obat yang sama berkurang atau menghilang .
sebaliknya bila rangsangan pada reseptor berkurang secara kronik misalnya pada
pemberian β-bloker jangka panjang, seringkali terjadi hipereaktivitas karena
supersensivitas terhadap agonis.
4.
Interaksi
Obat - Reseptor
Ikatan
antara obat dengan reseptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan lemah (ikatan
ion, hydrogen, hidrofobik, van des waals) mirip ikatan antar substrat dengan
enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.
a.
Hubungan Kadar /
Dosis – Intensitas Efek
D
+
R
DR
E
Keterangan:
D :
Obat
R :Reseptor
:
k1
:K2
E :Efek
Menurut
teori pendudukan reseptor (receptor occupsncy), intensitas efek obat berbanding
lurus dengan fraksi receptor yang diduduki oleh obat. Oleh karena interaksi
obat reseptor ini analog dengan interaksi substrat-enzim, maka disini berlaku
persamaan Michealis- Menten:
Emax
[D]
E
=
KD
+ [D]
Keterangan
:
E = intensitas efek obat
Emax =efek maksimal
[D]
=Kadar Obat bebas
Hubungan
antara kadar atau dosis obat [D] dengan besarnya efek [E] terlihat sebagai
kurva dosis-intensitas efek (graded dose-effect curve =DEC) yang berbentuk
hiperbola. Jika dosis dalam log, maka hubungan antara log D dengan besarnya
efek E terlihat sebagai kurva log dosis-intensitas efek ( log DEC) yang berbentuk
sigmoid
Potensi
menunjukkan kisaran dosis obat yang menimbulkan efek , besarnya ditentukan
oleh:
o Kadar
obat yang mencapai reseptor yang tergantung dari sifat-sifat farmakokinetik
obat
o Afinitas
obat terhadap reseptornya
Efek
maksimal atau efektivitasadalah respon maksimal yang dapat ditimbulkan oleh
obat jika diberikan pada dosis yang tinggi. Ini ditentukan oleh aktivitas
intrinsic obat dan ditunjukkan oleh plateau atau DEC. tetapi dalam klinik,
dosis obat dapat dibatasi oleh timbulnya efek yang tidak diinginkan.
Slope
atau kemiringan Log DEC merupaka veriabel yang penting karena menunjukkan
batas-batas keamanan obat. Slope obat yang curam, misalnya untuk fenobarbital,
menunjukkan bahwa dosis yang menimbulkan koma hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan dosis yang menimbulkan sadasi/tidur.
Variasi
biologic adalah variasi anatar individu dalam besarnya respons terhadap dosis
obat yang sama pada populasi yang sama. Suatu graded DEC hanya berlaku
untuk satu orang pada suatu waktu, tetapi dapat juga merupakan nilai rata-rata
dari populasi.
b. Hubungan
Dosis Obat – Persen Responsif
Telah
disebutkan bahwa untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada
populasi diperlukan suatu kisaran dosis. Jika dibuat distribusi frekuensi dari
individu yang responsive (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log
dosis) maka akan diperoleh kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi
tersebut dibuat kumulatif maka akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang
disebut kurva log dosis-persen responsive (log dose-percent curve = log DPC).
Oleh karena respons pasien disini bersifat kuantal (all or none), maka kurva
sigmoid ini diebut juga kurva log dosis-efek kuantal (quantal log dose-effect
curve = log DEC kuantal). Jadi log DPC menunjukkan variasi individual
dari dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu misalnya
log DPC untuk suatu sedatik – hipnotik dapat dilihat dimana terlihat log DPC
atau log DEC kuantal sebelah kiri untuk efek hipnotis, sedangkan sebelah kanan
untuk efek kematian.
Dosis
yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu disebut dosis terapi median atau
dosis efektif median (=ED50). Dosis letal median (=LD50) ialah dosis yang
menimbulkan kematian pada 50% individu sedangkan TD50 ialah dosis toksin 50%.
Dalam
studi farmakodinamik dilaboratorium, index terapi suatu obat dinyatakan dalam
rasio berikut :
TD50
LD50
indeks Terapi
=
Atau
ED50
ED50
Obat
ideal menimbulkan efek terapi pada semua pasien tanpa menimbulkan efek
toksin pada seorang pun pasien. Oleh karena itu,
TD1
indeks Terapi
=
Adalah lebih tepat dan untuk
ED99
TD1
Obat Ideal
:
≥
ED99
Akan
tetapi, nilai-nilai ektrem tersebut tidak dapat dintentukan dengan teliti
karena letaknya dibagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.
5.
Antagonisme
Farmakodinamik
Secara
farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis antagonism farmakodinamik yaitu:
a.
Antagonisme
fisiologik, yaitu antagonisme pada system fisiologik yang sama, tetapi pada
system reseptor yang berlainan, misalnya efek hiksotamin dan autakoid lainnya
yang dilepaskan tubuh sewaktu terjadi syok anafilaktin dapat diantagonisasi
dengan pemberian adrenalin.
b. Antagonisme
pada reseptor, yaitu antagonism melalui system reseptor yang sama (antagonism
antara agonis dengan antagonisnya). Misalnya efek histamine yang dilepaskan
dalam reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin, yang mendukung
reseptor yang sama.
Antagonis
pada reseptor dapat bersiat kompetitif atau non kompetitif.
a.
Antagonis Komptitif,
dalam hal ini antagonis mengikat reseptor ditempat ikatan agonis (receptor site
atau active side), secara revensibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar
tinggi. Dengan demikian hambatan efek agonis dapat dibatasi dengan meningkatkan
kadar agonis sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan
kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti
ainitas agonis terhadap reseptornya menurun.
b. Antagonis
nonkompetitif, hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak dapat
dibatasi dengan meningkatkan kadar agonis, akibanya, efek maksimal yang dicapai
akan berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.
Antagonism
nonkompetitif terjadi jika:
o Antagonis
mengikat reseptor secara irreversible.
o Antagonis
mengikat bukan pada melekulnya sendiri tapi pada komponen lain dalam system
reseptor.
Agonis
persial adalah agonis yang lemah, artinya agonis yang mempunyai aktifitas
intrinsic atau efektivitas yang rendah sehingga menimbulkan efek maksimal yang
lemah. Akan tetapi, obat ini kan mengurangi efek maksimal yang ditimbulkan
agonis penuh. Oleh karena itu agonis persial disebut juga antagonis persial.
D.
FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI EFEK OBAT
Beberapa factor yang
mempengaruhi efek obat yang diberikan antara lain:
1.
Faktor bukan obat
Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
a.
Intrinsik
dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi,
penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
b.
Ekstrinsik
di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran
oleh antibiotika.
2.
Faktor obat
a.
Intrinsik
dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
b.
Pemilihan
obat.
c.
Cara
penggunaan obat.
d.
Interaksi
antar obat.
E. DASAR – DASAR TOKSIKOLOGI
Toksikologi
adalah ilmu yang mempelajari efek toksik (daya racun) berbagai zat kimia,
terutama obat terhadap tubuh. Pada hakekatnya semua obat dalam dosis yang cukup
tinggi dapat bekerja sebagai racun dan merusak organisme.
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Sekarang banyak dikenal faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapetik.
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelcus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis dengan mengatakan bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun. Sekarang banyak dikenal faktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersifat racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang terpenting. Untuk setiap zat kimia, termasuk air, dapat ditentukan dosis kecil yang tidak berefek sama sekali atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian. Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapetik.
1.
Toksikologi
Eksperimental
Sejak
awal harus disadari bahwa tidak mungkin membuat suatu petunjuk lengkap mengenai
pemeriksaan toksis suatu obat dan zat kimia. Pada hakekatnya tidak perlu
dibedakan antara obat dan zat kimia dari sudut toksikologi, sehingga dalam
pembahasan keduanya diperlukan sama. Selanjutnya dalam bab ini akan disebut zat
untuk pengertian zat kimia termasuk obat. Percobaan toksisitas sangat
berpariasi dan suatu perotokol yang kaku akan membuat penelitian tidak relefan
atau menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih. Karena itu jenis pemeriksaan
toksisitas harus didasarkan pada sifat zat (kimia atau obat) yang akan
digunakan serta cara pemakaiannya. Penggunaan obat secara kronik seperti pada
pengobatan hipertensi atau pengguna kontrasepsi atau harus disertai dengan data
karsinogenisitas dan teratogenisitas. Sedangkan obat cacing yang digunakan
dalam waktu pendek pertama-tama harus memenuhi syarat toksisitas akut.
Dengan
tidak mengurangi kepentingan hal yang telah dijelaskan tadi akan dibahas
beberapa aspek dari pemeriksaan toksisitas obat. Penilaian komprehensif dapat
diperoleh melalui penyelidikan dalam bidang farmakokinetik, farmakodinamik dan
toksikologi. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena
perbedaan fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang lebih besar
dalam eksperimen toksikologi. Pengetahuan dalam kedua ilmu ini bersifat komplementer
dan saling menunjang.
a.
Uji Farmakokinetik
Uji
famakokinetik diproleh melalui nasip
obat dalam tubuh, yang menyangkut absorpsi, distribusi, redistribusi,
biotransformasi dan ekskresi obat. Pengetahuan
mengenai hal ini penting untuk menafsirkan tidak saja efek terapi,
tetapi juga toksisitas suatu obat. Segala hal yang menyangkut farmakokinetik
ini memerlukan analisis kuantitatif dari zat dalam cairan biologik atau organ
tubuh.
Karakteristik
absorpsi penting untuk di ketahui; zat kimia dengan sifat koefisien partisi
yang tinggi serta derajat ionisasi yang rendah akan mudah di searp melalui
dinding sel. Sebaliknya alkaloid dan gugus molekul yang berionisasi baik akan
sukar di absorpsi. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi absorpsi ini,
sehingga akan mempengaruhi dosis dan toksisitasnya. Cara absorpsi yang di
teliti sebaiknya di sesuaikan dengan cara pemakaiannya. Suatu obat atau zat
kimia yang akan di pakai lokal saja pada kulit, harus di pelajari terutama
berapa jauh absorpsinya melalui kulit. Perbedaan kadar dalam darah dari
pemberian oral dan parenteral akan memberi gambaran tentang derajat absorpsi
per oral.
Setelah di absorpsi semua zat akan di
distribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Distribusi ini mungkin
tidak akan merata dan kumulasi sering di lihat dalam organ tubuh tertentu. Efak
toksik obat dapat tergantung dari kumulasi ini seperti juga efek terapinya.
Pengikatan obat oleh protein plasma dapat mengurangi efektivitas/ toksisitasnya.
Otak mempunyai semacam sawar yang
menghalangi beberapa obat dengan sifat tertentu untuk masuk ke dalamnya.
Keadaan distribusi ini tidak statis tetapi sangat dinamis sehingga selalu obat
akan mengalami redistribusi dalam cairan dan organ tubuh.
Setiap
obat akan di anggap oleh tubuh sebagai suatu bahan asing, sehingga tubuh
merombaknya menjadi bentuk yang dapat di ekskresi (lebih larut dalm air,lebih
polar). Metabolit yang terbentuk, biasanya tidak aktif lagi dan toksistas
biasanya berkurang, walaupun kadang-kadang dapat terjadi sebaliknya, sehingga
mungkin metabolit lebih toksik misalnya prontosil menjadi sulfa, fenasetin
menjadi paracetamol dan paration menjadi paraoxon alat ekskresi terpenting
ialah hati dan ginjal. Ekskresi obat dapat terjadi dalam bentuk asalnya maupun
dalam bentuk metabolit. Pengetahuan mengenai ini penting dalam toksikologi karena
pada keracunan, usaha untuk meningkatkan diuresis hanya dapat bermanfaat bila
obat yang bersangkutan di keluarkan melaui urine dalam bentuk aktif dan bukan
dalam metabolit inaktif.
Parameter yang di perlukan untuk
mempelajari nasib obat dalam tubuh ialah kadar plasma, waktu paruh, karakteristik distribusi, produk
biotranspormasi dan eksreksi. Data ini merupakan petunjuk yang mengarahkan
lebih tepat mengenai percobaan toksisitas apa yang masih harus di lakukan.
b. Uji
Farmakodinamik
Sebelum
suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu harus diketahui dahulu efek
apa yang terjadi terhadap semua organ dalam tubuh yang sehat. Skrining efek
farmakodinamik ini sangat diperlukan. Jarang terdapat suatu obat yang hanya
memiliki satu jenis efek; hampir semua obat mempunyai efek tambahan dan mampu
mempengaruhi fungsi berbagai macam alat dan faal tubuh. Efek yang menonjol,
biasanya merupakan pegangan dalam menentukan penggunaannya, sedangkan perubahan
lain merupakan efek samping yang bahkan dapat bersifat toksik. Sering kali
sifat toksik suatu obat merupakan lanjutan dari efek farmakodinamik atau efek
terapinya.
c.
Menilai Keamanan Zat
Kimia
Penilaian
keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi,
karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan di pergunakan harus di
uji toksisitas dan keamanannya. Bila zat kimia itu merupakan zat tambahan
makanana atau kontaminan yang tanpa sengaja dapat masuk dalam makanan, misalnya
pestisida atau berbagai metal, maka penilaian keamanannya dilakukan melalui
tahap-tahap yang telah baku.
Setiap
zat kimia, bila deberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan
gejala-gejala toksik. Gejala-gejala ini pertama-tama harus di tentukan pada
hewan coba melalui penelitian toksisitas akut dan subkronik guna memperoleh
kesan pertama tentang kelainan yang dapat di timbulkan. Hal ini diperlukan
untuk meramalkan kemungkinan yang dapat terjadi pada manusia dengan dosis yang
lebih kecil. Selanjutnya, perlu di tentukan suatu dosis yang terbesar, dinyatakan
dalam mg/kgBB/hari, yang tidak menimbulkan efek merugikan pada hewan coba; yang
di sebut No Effect level (NEL) atau No (observed) Effect Level (NOEL). Hal
ini dilakukan dengan mencobakan berbagai tingkat dosis sampai ditemukan dosis
yang tidak menimbulkan efek buruk pada hewan coba. NEL di definisikan sebagai :
“jumlah atau kosentrasi suatu zat kimia yang di temukan melalui penelitian atau
observasi, yang tidak menimbulkan kelainan buruk, perubahan morfologi atau
fungsi organ, pertumbuhan, perkembangan, maupun mengurangi lama hidup hewan
coba”.
Suatu
faktor keamanan kemudian (perlu) diterapkan guna memperhitungkan perbedaan
antara tikus dan manusia dan antara manusia sendiri. Faktor keamanan ini secara
konsensus telah ditentukan sebesar 100 yang berasal dari faktor 10 untuk
perbedaan hewan ke manusia dan 10 lagi untuk perbedaan antar manusia. Bila
NEL dibagi 100 maka di peroleh suatu
batas keamanan yang di sebut Acceptable
Daily Intake (ADI). Berikut ialah rumus perhitungan ADI:
NEL
ADI = mg/kgBB/hari
100
|
ADI
didefinisikan sebagai “dosis suatu zat kimia yang terbesar, yang dinyatakan
dalam satuan mg/kgBB/hari, yang dapat diberikan setiap hari seumur hidup, dan
diperkirakan tidak menimbulkan efek kesehatan yang buruk pada manusia,
berdasarkan pengetahuan yang ada pada waktu itu”. ADI ini merupakan suatu
perkiraan, tetapi cukup menjamin bahwa bila angka itu tidak dilampaui dalam
konsumsi kita sehari-hari, maka zat kimia yang bersangkutan akan cukup aman.
ADI
juga dimaksudkan sebagai batas atas konsumsi harian sehingga makin kecil tentu
akan lebih menjamin keamanannya. Zat kimia yang di akumulasi dalam tubuh tidak
diperolehkan dipakai sebagai zat tambahan makanan san zat kimia ini harus
dieksresikan dalam 24 jam. Untuk mudahnya maka ADI biasanya diperhitungkan dengan
jenis makanan yang mengandung zat tambahan makanan atau kontaminan itu. Dengan
demikian dapat dihitung berapa konsentrasi zat kimia itu diperbolehkan berada
dalam makanan tertentu dan disebut maximal
permissible concentration (MPC).
Hal ini didasarkan atas data statik konsumsi berbagai makanan, seperti nasi,
ikan, gula,roti,dsb. Bila zat tambahan makanan, maka jumlah seluruhnya perlu diperkirakan dan konsentrasi dalam makanan perlu ditentukan. Dalam perhitungan
ini tentu juga dipikirkan mengenai batas maksimal sesorang dapat minum atau makan; sehingga
kuantitas atau rasa, secara otomatis
akan membatasi jumlah zat kimia yang
dapat dikonsumsi.
Formula
yang ditetapkan ialah sbb:
ADI
x Berat Badan (Kg)
M.P.C = = ....... p.p.m
Faktor makanan (Kg)
|
Dalam
bidang industri, beberapa faktor keamanan yang sering digunakan adalah batas
pajanan yang dinyatakan sebagai : Threshold
Limit Value (TLV), atau Maximum
Exposure Limit (MEL), yang menyatakan kadar pajanan terhadap zat kimia
selama delapan jam kerja. Dari beberapa faktor keamanan yang dibahas di atas,
maka jelaslah hubungan antara dosis dengan respon merupakan konsep dasar dalam
toksikologi.
d. Uji
Toksikologi
Sebelum
percobaan toksikologi sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat
obat dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan
percobaan toksisitas yang akan dilakukan. Hal ini memerlukan penilaian dari
seseorang yang berpengalaman dalam bidang ini. Beberapa segi akan dibahas di
bawah ini.
Tikus
putih yang digunakan biasanya yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200
gram. Tikus ini harus diaklimitisasi dalam laboratorium dan harus semuanya
sehat. Untik ini ada yang menggunakan Spesific
Pathogen Free (SFP) atau Caesarean
Orginated Barrier Sustained Animals (COBS) sehingga terjamin kesehatannya.
Penggunaan tikus sebagai suatu model patologik sering tidak relevan karena
sulit untuk menyamakan keadaan ini dengan patologi manusia. Tikus jantan dan
betina sebaiknya di evaluasi terpisah karena kadang-kadang berbeda responnya.
Toksisitas Akut.
Percobaan ini meliputi Singel Dose
Experiment yang dievaluasi 3-14 hari
sesudahnya,tergantung dari geajala yang ditimbulkan. Batas dosis harus di pilih
sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh suatu kurva dosis respons yang dapat
berwujud respons bertahap ( misalnya mengukur lamanya waktu tidur) atau suatu
respons kuantal (misalnya mati). Biasanya digunakan 4-6 kelompok terdiri dari
sedikitnya 4 ekor tikus.
Peningkatan
dosis harus dipilih dengan log interval atau anti-lod interval, misalnya I. 10
mg/kgBB; II. 15 mg/kgBB; III. 22,5 kg/BB; IV. 33,75 mg/kkBB. Batas dosis ini
diharapkan dapat menimbulkan respons pada 10-90% dari hewan coba. Perhitungan
ED50 atau LD50 di dasarkan atas perhitungan statistik. Nilai LD50 untuk zat
kimia yang sama dapat berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan di berbagai macam
laboratorium. Karena itu harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang di
pakai, misalnya berat badan dan umur tikus, zat pelarut, jantan atau betina,
lingkungan dan sebagainya. Jumlah cairan yabg diberikann per oral pada tikus
untuk semua golongan termasuk kontrol harus kira-kira sama, sedapatnya tidak
melebihi 2 mL.
Cara
pemberian obat harus dipilih sesuai dengan yang akan digunakan di klinik. Jadi
untuk obat yang akan di pakai sebagai obat suntik perlu di uji dengan cara
parenteral dan obat yang digunakan sebagai salep terutama harus diuji terhadap
kulit.
Evaluasi
tidak hanya mengenai LD50, tetapi juga terhadap kelainan tingkah laku,
stimulasi atau depresi SSP, aktivitas motorik dan pernafasan tikus untuk
mendapat gambaran tentang sebab kematian. Hal ini harus dilengkapi dengan
pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan sediaan histologi dari organ yang
di anggap dapat memperlihatkan kelainan.
Kematian yang timbul oleh kerusakan pada
hati, ginjal atau sistem hemopeotik tidak akan terjadi pada hari pertama.
Kematian yang ditimbulkan karena kerusakan alat tersebut di atas, baru timbul
paling cepat pada hari ketiga.
Toksisitas Jangka
Lama. Percobaan jenis ini mencakup
pemberian obat secara berulang selama 1-3 bulan ( percobaan subakut), 3-6 bulan
( percobaan kronik). Atau seumur hewan (lifelong
studies). Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak
akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenesitas. Hal ini telah di
buktikan dengan membandingkan penelitian 6 bulan dengan yang lebih lama, dan
ternyata tidak diperoleh informasi baru dengan memperpanjang penelitian.
Berlainan dengan percobaan toksisitas akut
yang mengutamakan, mencari efek toksik, maksud utama percobaan toksisitas
kronik ialah menguji keamanan obat. Menafsikan keamanan obat (atau zat kimia)
untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan toksisitas terhadap
hewan. Perhatikan, bahwa disini digunakan istilah menafsirkan, karena
ekstrapolasi data dari hewan ke manusia toidak dapat dilakukan begitu saja
tanpa mempertimbangkan segala faktor perbedaan antara hewan dan manusia.
Mendekati penilaian keamanan obat/zat kimia dapat dilakukan dengan tahapan
berikut : (1) menentukan LD50; (2) melakukan percobaan toksisitas subakut dan
kronik untuk menentukan no effect levels;
dan (3) melakukan percobaan karsinogenisitas, teratogenisitas dan
mutagenisitas yang merupakan bagian dari skrining rutin mengenai keamanan.
Dalam
melakukan studi di atas, segala perubahan berupa akumulasi, toleransi,
metabolisme dan kelainan khusus di organ atau sistem organ tertentu harus di
pelajari. Dan pada waktu teertentu sebagian tikus perlu di bunuh untuk
mengetahui pengaruh bertahap obat terhadap organ. Sebagian lain digunakan untuk
eksperimen pemulihan guna mempelajari reversibilitas dari kelainan yang
terjadi. Pemeriksaan kimia darah, urine dan tinja perlu diusahakan agar dapat
diikuti kelainan yang timbul.
Mekanisme terjadinya
toksisitas obat. Berbagai mekanisme dapat mendasari
toksisitas obat. Biasanya reaaksi toksik merupakan kelanjutan dari efek
farmakodinamik. Karena itu, gejala toksik merupakan efek farmakodinamik yang
berlebihan. Suatu obat jantung yang bekerja menghambat konduksi
antriventrikuler akan menimbulkan blok AV pada keracunan; suatu hipnotik akan
menimbulkan koma.
Kelainan yang disebabkan oleh reaksi
antigen-antibodi bermanifestasi sebagai reaksi alergi. Gugus kimia tertentu
dapat menimbulkan reaksi toksik yang sama. Ketidakmurnian dalam sediaan hormon
seperti insulin dapat menyebabkan reaksi toksik.
Zat pengisi laktosa dalam produk fenitoin
dapat memperbesar bioavilabilitas sehingga meninggalkan kadar fenition dalam
darah. Hal ini, dapat menimbulkan keracunan karena batas keamanan fenition
sempit. Di bawah kadar darah 10 g/mL fenition tidak efektif sedangkan di atas
20 g/mL timbul reaksi toksik. Sedangkan penggunaan fenition dalam dosis 0,3
gram sehari dapat memberikan kadar darah yang sangat bervariasi yaitu 4-60
g/mL.
Produk dekomposisi dari tetrasiklin yang
berwarna coklat mengandung epi-anhidrotetrasiklin yang dapat merusak gimjal,
dan karena itu tetrasiklin yang telah menjadi coklat tidak boleh digunakan
lagi. Kerusakan jaringan tubuh misalnya hati dan ginjal dapat menggangggu
secara tidak langsung dan memudahkan terjadinya
toksisitas.
2.
Keracunan
a.
Klasifikasi Keracunan
1.
Klasifikasi Menurut
Cara Terjadinya Keracunan
o Self Poisoning.
Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan
pengetahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi pasien tidak
bermaksud bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik perhatian lingkungannya.
Pada anak muda kadang-kadang dilakukan untuk coba-coba, tanpa disadari bahwa
tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
o Attempted Suicide.
Dalam hal ini, pasien memang bermaksud bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan
kematian atau pasien sembuh kembali bila ia salah tafsir tentang dosis yang
dimakannya.
o Accidental Poisoning.
Ini jelas merupakan kecelakaan, tanpa faktor kesengajaan sama sekali.
o Homicidal Poisoning.
Keracunan ini akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni
orang lain.
2.
Klasifikasi Menurut
Mula Waktu Terjadinya Keracunan
o Diagnosis
keracunan kronik sulit dibuat, karena gejalanya timbul perlahan dan lama
sesudah pajanan. Gejala juga dapat timbul secara akut setelah pemajanan
berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil. Suatu ciri khas ialah bahwa zat
penyebab diekskresikan lebih lama dari 24 jam, waktu paruhnya panjang, sehingga
terjadi akumulasi. Juga mungkin terjadi suatu manifestasi kronik pada organ
oleh zat kimia yang mempunyai waktu paruh pendek, namun toksisitasnya terhadap
organ bersifat kumulatif. Salah satu contoh ialah nekrosis papila ginjal yang
terjadi karena makan analgesik bertahun-tahun. Berbagai kelainan organ yang
tidak dapat diterangkan patogenesisnya harus dicurigai sebagai akibat keracunan
dan suatu anamnesis yang rinci sangat diperlukan.
o Keracunan
Akut Lebih mudah dikenal daripada keracunan kronik karena biasanya terjadi
mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah sering mengenai banyak orang.,
misalnya pada keracunan makanan, dapat mengenai seluruh keluarga atau warga
sekampung. Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit,
karena itu harus selalu diingat kemungkinan keracunan pada keadaan sakit
mendadak dengan gejala seperti muntah, diare, kejang, koma dan sebagainya.
3.
Klasifikasi menurut
organ yang terkena.
Dalam klasifikasi ini keracunan dapat
di golongkan menurut organ yang terkena, misalnya racun SSP, racun jantung,
racun hati, racun ginjal, dan sebagainya. Suatu organ cendrung dipengaruhi oleh
banyak macam obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang hanya mengenai suatu
organ. Karbon tetraklorida misalnya, bersifat toksik terhadap hati, ginjal dan
jantung sekaligus.
4.
Klasifikasi menurut
jenis bahan kimia.
Golongan zat kimia tertentu biasanya
memperlihatkan sifat toksik yang sama. Misalnya golongan alkohol, fenol, logam
berat, organoklorin dan lain-lain.
b. Penyebab
Keracunan
Tidak ada batasan yang tegas tentang
keracunan berbagai macam obat dan zat kimia, praktis setiap zat kimia mungkin
menjadi penyebabnya.
Accidental Poisoning. Terutama terjadi pada anak dibawah umur 5 tahun karena
kebiasaannya memasukkan segala benda yang dijumpai dalam mulut. Obat berlapis
gula atau asetosal pun menarik bagi mereka. Minyak tanah merupakan penyebab keracunan terbesar pada anak menurut survei keracunan yang
dilakukan di jakarta pada tahun 1971 dan 1972.
Barbitoriat dan hipnotik-sedatip lain
merupakan pilihan pertama untuk bunuh diri pada orang dewasa, sedangkan obiat
biasanya merupakan penyebab pada anak muda yang menyalah-gunakan. Keracunan
insektisida dapat terjadi karena self-poisonin
atau suatu kecelakaan karena kurang berhati-hati dalam penggunaannya. Namun
dalam 20 tahun terakhir ini, insektisida merupakan salah satu penyaebab
keracunan paling sering di indonesia.
Enterotoksin stafilokokus sering
mencari makanan dan menyababakan keracunan. Demikian pula toksin botulinus
mungki terdapat dalam makanan kaleng yang sudah rusak karena pengwetan yang
kurang sempurna. Makanan sehari-hari dapat mengandung racun yang amat kuat
seperti amanida pada singkong, muskarin
atau faloidin pada jamur, ichtyosarcotoksin pada ikan dan sebagainya. Kandungan asam
jengkolat dapat menyebabkan penyumbatan
tubuli ginjal sehingga timbul hematuria dan ematuria.
Keracunan ptomain dahulu disebabkan
oleh makanan basi (ptoma=corpse). Anggapan ini ternyata tidak benar. Pada
kenyataannya banyak makanan yang justru dimakan setelah dibusukkan, misalnya
keju limburg, ikan busuk dan udang busuk yang disukai orang eskimo dan telur
busuk tidak menyebabkan keracunan. Banyak kejadian yang dahulu disangka
keracunan ptomain, ternyata disebabkan oleh enterotoksin stafilokokus.
Kemungkinan besar enterotoksin ini pula penyebab tersering dari keracunan
makanan di indonesia yang tidak diketahui etiologinya secara jelas.
Akhir-akhir ini banyak dipermasalahkan
boraks dan formaldehid (formalin) sebagai prngawet makanan. Sebetulnya, kedua
zat kimia ini tisak memenuhi syarat badan POM sebagai bahan tambahan dalam
makanan, namun entah karena ketidaktahuan atau kesengajaan, banyak produsen
makanan (tahu, bakso, mi basah dan ikan segar) menggunakannya. Masih belum
diketahui seberapa jauh praktik ini membahayakan masyarakat, namun karena kedua
zat kimia tersebut potensial dapat membahayakan, sebaiknya kedua zat tersebut
dihindari penggunaannya.
c.
Gejala Dan Diagnosis
Keracunan
Pada pengelolaan pasien keracunan yang
paling penting adalah penilaian klinis, walaupun sebabnya belum di ketahui. Hal
ini disebabkan karena pengobatan simtomatik sudah dapat dilakukan terhadap
gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan ialah
derajat kesadaran dan respirasi.
Kesadaran
Kesadaran merupakan petunjuk penting
tentang beratnya keracunan. Makin dalam koma, makin berat keracunannya, dan
angka kematian bertambah dengan bertambah dalamnya koma. Derajat koma ini
sebanding dengan kadar obat dalam darah pasien, tetapi suatu kadar tertentu
tidak menimbulkan derajat koma yang sama pada setiap orang. Hal ini berhubungan
dengan toleransi dan perbedaan kepekaan seseorang.
Dalam toksikologi, derajat kesadaran
dibagi dalam 4 tingkat seperti pada anastesia.
Tingkat
I. Pasien mengantuk tetapi mudah diajak bicara.
Tingkat
II. Pasien dalam keadaan sopor, dapat
dibangunkan dengan rangsang minimal, misalnya bicara keras atau digoyang
tangannya.
Tingkat
III. Pasien dalam keadaan soporokoma,
hanya dapat bereaksi terhadap rangsangan maksimal yaitu dengan menekan sternum
dengan kepalan tangan.
Tingkat
IV. Pasien dalam keadaan koma, tidak ada reaksi
sedikit pun terhadap rangsangan maksimal seperti di atas. Keadaan ini paling
berat tetapi prognosisnya tidak selalu buruk.
Respirasi
Seringkali hambatan pada pusat nafas
merupakan sebab kematian pada keracunan, karena itu frekuensi nafas dan volume
harus diperhatiakan. Volume semenit dapat diukur dengan Wright’s spirometer yang diletakkan diatas mulut dan hidung pasien;
bila kurang dari 4 liter/menit, maka diperlukan O2 dan respirator mekanik bila
tersedia. Jalan nafas juga sering terhambat oleh sekresi mukus yang dapat
berbahaya bila tidak segera dibersihkan. Hal ini dijumpai pada keracunan
insektisida organofosfat atau karbamat.
Tekanan
Darah
Syok sering dijumpai pada keracunan.
Biasanya keadaan syok tidak begitu berat dan dapat diatasi dengan tindakan yang
sederhana. Syok berat biasanya berkaitan dengan kerussakan pusat vasomotor dan
prognosisnya buruk.
Kejang
Kejang menandakan adanya perangsangan
SSP (misalnya oleh amfetamin), medula spinalis ( oleh striknin) atau hubungan
syaraf otot (oleh insektisida organosofosfat). Kaeadaan ini harus dibedakan
dari penyakit yang menimbulkan kejang misalnya epilepsi, kejang demam dan
sebagainya. Kombinasi antara koma dan rangsangan SSP dapat terjadi pada
keracunan beberapa obat, misalnya metakualon dapat menimbulkan koma, hipertoni,
refleks meninggi, klonus serta hiperekstensi refleks plantar.
Pupil
Dan Refleks Ekstermitas
Bertentangan dengan pendapat umum,
gejala pupil dan refleks ekstermitas tidak begitu penting untuk diagnosis
karena sangat bervariasi, kecuali pada keracunan atropin dan morfin. Juga dalam
menentukan prognosis, gejala ini tidak dapat dijadikan pegangan. Pada keracunan
hipnotik, pupil sering anisokor dan midriasis menetap tetapi tidak selalu
menandakan prognosis buruk.
Bising
Usus
Perubahan bising usus biasanya
menyertai perubahan deraajat kesadaran. Pada derajat kesadaran tingkat III
biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat IV selalu negatif, sehingga
tanda ini dapat dipakai untuk mencocokkan derajat kesadaran misalnya pada
pasien yang bersimulasi (berpura-pura).
Jantung
Bebrerapa obat menimbulkan kelainan
ritme jantung sehungga dapat terjadi gejala payah jantung atau henti jantung.
Untuk menentukan keracunan obat misalnya digitalis, antidepresi trisiklik dan
hidrokarbon berklorida serta pengobatannya, diperlukan pengetahuan khusus
tentang mekanisme terjadinya aritmia ini.
Lain-Lain
Gejala lain tentu juga perlu
diperhatikan, misalnya gangguan keseimbangan asam basa atau air, tanda
kerusakan hati dan ginjal, kelainan EEG, retensi urin, muntah dan diare serta
kelainan spesifik misalnya pada X-foto tulang dan lain-lain. Pada 6% pasien
keracunan akut barbiturat atau hipnotik lain ditemukan bula di kulit.
d. Peranan
Laboratorium
Diagnosis akhir ditentukan oleh
pemeriksaan analisis darah, urin atau muntahan pasien. Pemeriksaan laboratorium
ini tidak mudah,karena obat didalam tubuh mengalami perubahan molekuler akibat
proses biotransformasi. Spesimen biologik dapat diperiksa secara kualitatif
maupun kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dan semikuantitatif sudah cukup
untuk diagnosis.
Pemeriksaan
kuantitatif yang memerlukan teknik dan alat yang lebih canggih terbatas
nilainya sehingga tidak begitu praktis
dilakukan, kecuali untuk penelitian. Keterbatasan ini disebabkan oleh beberapa
hal yaitu : (1) adanya variasi individu dalam biotransformasi; (2) terjadinya
toleransi dan habituasi misalnya seorang yang biasa minum barbiturat
kadang-kadang masih sadar dengan kadar dalam darah 8 mg%, sedangkan yang belum
pernah mendapat barbiturat sudah tidak sadar dengan kadar 2 mg%; (3) adanya
kombinasi obat yang dalam tubuh dapat mengubah kadar obat dan metabolitnya
dalam darah; (4) digunakan bermacam-macam metode untuk menentukan kadar dalam
cairan biologik yang memberikan hasil berbeda-beda sehingga sukar untuk
membandingkannya; (5) data kadal dalam kepustakaan jarang disertai penjelasan
tentang fraksi yang diperiksa, obat bebaskah atau metabolit inaktifnya; (6)
beberapa kombinasi obat mengganggu pemeriksaan kadar yang dilakukan, misalnya
pengobatan dengan bemegrid mempersulit pemeriksaan kadar barbiturat.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor
diatas dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan semikuantitatif saja sudah cukup.
Untuk ini perlu di sertakan data gejala pasien dan permintaan mengenai obat apa
atau sedikitnya golongan apa yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini cukup di
lakukan dengan spot test dan kromatografi lapis tipis, yang relatif sederhana.
Jika dibutuhkan pemeriksaan yang lebih teliti, penentuan dapat diulangi dengan
metode yang lebih akurat, misalnya kromatografi gas dan kromatografi cair
kinerja tinggi (High performance liquid chromatography) dengan detektor spektor-massa
(massa-spectrophotometer).
e.
Terapi Intoksikasi
Dewasa ini pengobatan keracunan umumnya
dilakukan di bagian Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak dan jika perlu di suatu
Unit Perawtan Intensife. Hanya beberapa tempat tertentu terdapat suatu Poisoning Treatment Ward, dengan staf
khusus dan di lengkapi alat yang tidak banyak berbeda dengan perlengkapan suatu
unit perawatan intesif. Banyak ahli berpendapat bahwa tidak di perlukan
pengobatan di suatu sentra tertentu karena sebagian besar pasien memerlukan
pengobatan simtomatik. Lima persen kasus memerlukan terapi khusus, misalnya
hemodialisis. Antidotum khusus
tersedia untuk kurang dari 2-3% kasus, misalnya pada keracunan Pb, As, Hg,
Sianida, insektisida organofosfat, karbamat, derivat morfin dan warfin. Tetapi
tidak dapat di sangkal bahwa suatu unit keracunan banyak manfaat dan
keunggulannya, yang tercermin dari kecilnya Fatality
rate dalam unit seperti ini (kurang dari 1-2% pada institusi yanng baik).
Dalam tiga dekade
terakhir ini pengobatan keracunan mengarah ke prinsip merawat pasien dan tidak
memberi pengobatan berlebihan. Hal ini terlihat jelas pada pengobatan keracunan barbiturat.
Pengobatan simtomatik tidak kalah pentingnya dari penggunaan antidotum. Selam
fungsi vital tubuh pasien dapat dipertahankan maka biotransformasi dan ekskresi
obat tetap berlangsung, dengan demikian dapat mengatasi keracunannya sendiri.
Keadaan menjadi lebih sulit jika terjadi komplikasi kerusakan alat penting
misalnya otak, hati, dan ginjal.
Keadaan
Darurat
Dalam menangani pasien keracunan,
pertimbangan pertama ialah memutuskan apakah diperlukan suatu tindakan segera
terutama pad fungsi vital, karena itu tindakan darurat meliputi penanganan
gagal nafas dan syok serta mencegah absorpsi obat lebih lanjut.
GAGAL NAFAS. Hambatan respirasi tidak
hanya terjaadi pada keracuanan obat hipnotik sedatif, misalnya salisilat dan
obat perangsang SSP. Gangguan nafas dapat berakibat anoksia dan gangguan
keseimbangan asam basa.
Sering sekresi saliva dan bronkus
menyumbat jalan nafas, terutama pada keracunan obat kolinergik. Dalam hal ini
membersihkan mulut dan jalan nafas merupakan tindakan pertama yang harus
dilakukan. Untuk mengurangi kemungkinan aspirasi, pasien harus selalu
dibaringkan dalam posisi miring bergantian pada sisi kanan atau kiri bila ia
tidak sadar.
Evaluasi nafas yang obyektif dapat
diukur dengan respirometer; bila volume semenit kurang dari 4 liter maka
diperlukan oksigen. Pengukuran Ph, Pco2, PO2 dan standar bikarbonat dari darah
arteri juga diperlukan. Dalam keadaan darurat niketamid boleh digunakan sebagai
perangsang nafas; pemberian satu kali 2 Ml sudah cukup.
Jika
terjadi apne atau keadaan yang mendekati apne, maka suatu respirator mekanik
harus dipakai. Bila pipa endotrakeal dari respirator perlu dipertahankan lebih
dari 48 jam, maka harus dilakukan trakeotomi untuk mencegah kerusakan pita
suara.
SYOK.
Pada keracunan barbiturat, syok terjadi karena depresi otot jantung dan
berkurangnya curah jantung. Kedua-duanya rupanya berdasarkan mekanisme sentral.
Curah jantung menurun karena alir balik vena terganggu oleh dua hal : (1)
permeabilitas kapiler meninggi, sehingga terjadi ektravasasi cairan dengan
akibat berkurangnya volume darah dan; (2) katup vena di ektermitas tidak
bekerja secara baik, sehingga darah terkumpul dibagian vena. Kemungkinan besar
mekanisme ini juga terdapat pada keracunan sedatif lain. Berdasarkan pendapat
diatas, maka urutan tindakan untuk mengatasi syok pada keracunan barbiturat
ialah :
(1) Pasien
diletakkan dalam sikap yaitu tungkai sedikit(10cm) ke atas;
(2) Berikan
metaraminol 5 mg IM dan diulangi 2-3 kali dengan interval 20 menit bila perlu;
tekanan darah tidak boleh melebihi 100mmHg sistolik, karena pada tekanan darah
diatas 100mmHg terjadi inefesiensi kerja
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah
ginjal;
(3) Bila
tindakan diatas belum menolong dapat diberikan infus dekstran(berat molekul
60-70.000);
(4) Oksigen
perlu selalu diberikan;
(5) Asidemia
dan payah jantung memperhebat syok dan tindakan untuk mengatasi kedua hal ini
perlu dilakukan; dan
(6) Hidrokortison
100 mg tiap 6 jam dapat ditambahkan
dalam pengobatan kasus yang resisten.
PENCEGAHAN
ABSORPSI OBAT.
Bila keracunan terjadi melalui kulit,
harus diingat bahwa tidak boleh menggunakan zat pelarut organik untuk
membersihkan; sabun dan air merupakan pembersih yang paling baik. Pada
keracunan per inhalasi, pasien harus dipindahkan keruangan yang segar.
Bila
obat ditelan, ada 3 jalan untuk mengeluarkannya, yaitu dengan menimbulkan
muntah, membilas lambung, dan memberikan pencahar. Menimbulkan muntah pada
pasien yang sadar dilakukan dengan cara mengorek dinding faring belakang dengan
spatel atau dengan memberikan afomorfin 5-8 mg subkutan. Pemberian larutan
garam tidak begitu baik karena kemungkinan terjadi penyerapan garam berlebihan.
Mustard dapat diberikan dua sendok
makan dalam segelas air hangat. Tindakan ini mungkinsia-sia bila penyebab
keracunan adalah antiemetik.
Bilas lambung dengan pipa karet
berdiameter besar dianggap lebih berguna sebab memunbgkinkan keluarnya tablet
yang belum hancur. Tindakan ini hanya boleh dikerjakan bila pasien sadar. Cara
yang baik untuk mengerjakannya ialah dalam sikap miringke kiri, kepala lebih
rendah untuk mengurangi kemungkinan aspirasi paru. Prosedur ini dikerjakan
dalam 4 jam setelah obat ditelan, kecuali untuk salisilat dan barbiturat atau
obat lain yang memperpanjang waktu pengosongan lambung. Cairan yang biasa
digunaakan untuk ini ialah air hangat, tetapi dalam beberapa keadaan bisa digunakan
larutan lain, misalnya untuk keracunan sianida dan pemutih pakaian
diberikan larutan tiosulfat dan untuk opiat digunakan larutan KMn04.
Pemberian pencahar dapat meningkatkan
peristaltik usus sehingga waktu absorpsi berkurang. Karbonaktif kadang-kadanng
beguna menyerap obat yang terdapat dalam saluran cerna atau yang diekskresikan
melalui empedu. Bubuk karbonaktif dalan suspensi air, dapat diberikan melalui
nasogastric tube. Dosis awal 35-50 gram, disusul dengan dosis 12-20 g setiap
4-6 jam. Dengan demikian waktu paruh eliminasi dapat dikurangi, misalnya
fenobarbital dari 110 menjadi 19,8 jam, karmazepin dari 32 menjadi 17,6 jam,
fenilbutazon dari 51,5 menjadi 36,7 jam. Hasil serupa juga diperoleh pada
digoksin, propoksifen, nadolol, satalol dan teofilin. Namun pelu diingat bahwa
karbon aktif hanya merupakan tindakan tambahan, tidak dapat menggantikan cara
pengobatan kausal dan simtomatik lainnya.
Tindakan
Lain
Selain perawatan
yang baik, pasien memerlukan pengobatan simtomatik lain yang tidak banyak
berbeda dengan pengobatan penyakit. Karena itu penilaian keadaan klinik sangat
penting. Hal-hal tersebut dibawah ini mungkin diperlukan :
(1) Barbiturat
atau diazepam untuk kejang-kejang;
(2) Caiaran
IV untuk mengatasi ganguan keseimbangan air dan elektrolit serta gagal ginjal;
atau
(3) Antibiotik
pada komplikasi radang paru.
Tindakan simtomatik lain yang lebih
khusus dan penting untuk mempercepat
ekskresi obat diperlukan untuk kira-kira 5% dari pasien keracunan.
F. CARA PEMBERIAN OBAT
1.
Cara pemberian
obat per oral :
Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan
murah. Namun untuk obat yang diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitas :
a.
Faktor obatnya sendiri (larut dalam
lipid, air atau keduanya)
b.
Faktor penderita ( keadaan patologik
organ-organ pencernaan dan metabolisme )
c.
Interaksi dalam absorpsi di saluran
cerna. ( interksi dengan makanan )
(halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi sebagai tugas mandiri dan Terapi`)
(halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi sebagai tugas mandiri dan Terapi`)
2.
Cara pemberian
obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral
dibandingkan per oral, yaitu :
a.
Efeknya timbul lebih cepat dan
teratur
b.
Dapat diberikan pada penderita yang
tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah
c.
Sangat berguna dalam keadaan darurat
Kelemahan cara
pemberian obat melalui suntikan :
a.
Dibutuhkan cara aseptis
b.
Menyebabkan rasa nyeri
c.
Kemungkinan terjadi penularan
penyakit lewat suntikan
d.
Tidak bisa dilakukan sendiri oleh
penderita
e.
Tidak ekonomis
3.
Pemberian Obat
Melalui Paru-paru :
Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk
obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum
dan obat dalam bentuk aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa saluran
napas
Keuntungan :
Keuntungan :
a.
Absorpsi terjadi secara cepat karena
permukaan absorpsinya luas
b.
Terhindar dari eliminasi lintas
pertama di hati
c.
Obat dapat diberikan langsung pada
bronchus ( untuk asma bronchial )
Kelemahan :
a.
Diperlukan alat dan metoda khusus
yang agak sulit ( obat semprot untuk asma)
b.
Sukar mengukur dosis (karena
ukurannya: berapa kali semprotan sekali pakai)
c.
Obatnya sering mengiritasi epitel
paru
4.
Pemberian Topikal
Pada kulit : Jumlah obat yang diserap tergantung : -
(1) pada luas permukaan kulit yang terpejan; - (2) kelarutan obat dalam lemak;
-( 3 ) dapat ditingkatkan absorpsinya dengan membuat suspensi obat dalam lemak.
G.
PRINSIP
TERAPI
Perawat
harus terampil dan tepat saat memberikan obat, tidak sekedar memberikan pil
untuk diminum (oral) atau injeksi obat melalui pembuluh darah (parenteral),
namun juga mengobservasi respon klien terhadap pemberian obat tersebut.
Pengetahuan
tentang manfaat dan efek samping obat sangat penting dimiliki oleh perawat.
Perawat memiliki peran yang utama dalam meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan klien dengan mendorong klien untuk lebih proaktif jika membutuhkan
pengobatan. Perawat berusaha membantu klien dalam membangun pengertian yang
benar dan jelas tentang pengobatan, mengkonsultasikan setiap obat yang
dipesankan dan turut serta bertanggungjawab dalam pengambilan keputusa tentang
pengobatan bersama dengan tenaga kesehatan lain.
Perawat
dalam memberikan obat juga harus memperhatikan resep obat yang diberikan harus
tepat, hitungan yang tepat pada dosis yang diberikan sesuai resep dan selalu
menggunakan prinsip 6 benar,
yaitu:
1.
Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus
diperiksa (papan identitas di tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan
langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon
secara verbal, respon non verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk.
Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau
kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung
kepada keluarganya. Bayi harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.
Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap
obat dengan nama dagang yang kita asing (baru kita dengar namanya) harus
diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama
generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada
botol atau kemasannya harus diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca
permintaan obat dan botolnya diambil dari rak obat, kedua label botol
dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat dikembalikan ke rak obat.
Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan harus dikembalikan
ke bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus
memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat untuk apa obat itu
diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.
Benar Dosis
Sebelum memberi
obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi
dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien.
Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa
obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau
tabletnya
4.
Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang
berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan
umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat,
serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual,
parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
5.
Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang
efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau mempertahankan kadar darah yang
memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang
diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan. Ingat dalam pemberian
antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena susu dapat mengikat
sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat yang harus diminum
setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan pada lambung misalnya
asam mefenamat.
6.
Benar
Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan,
dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak
meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan
dilaporkan.
H.
OBAT
YANG PALING SERING DIGUNAKAN
Obat-obatan
biasanya hanya dapat meredakan gejala, tetapi tidak memperbaiki akar penyebab
masalah kesehatan. Sehingga sebaiknya beralih pada hal-hal yang dapat mengelola
penyebab penyakit. "Ada terapi alami yang tersedia yang jauh lebih aman,
seringkali lebih efektif, dan lebih murah. Tetapi juga bukan berarti harus
langsung berhenti mengonsumsi obat tanpa berkonsultasi dengan dokter,"
kata Jacob Teitelbaum, MD.
Berikut daftar
5 obat yang paling sering digunakan dan alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengelola penyebab penyakit seperti dikutip dari MSNHealth, Selasa
(28/2/2012) antara lain:
1.
Chiropractic untuk gantikan obat
pereda nyeri, seperti Hydrocodone atau acetaminophen.
Berdasarkan hasil statistik, dokter menulis lebih dari
131 juta resep untuk obat-obatan pereda nyeri tahun lalu. Namun terdapat cara
alami untuk menggantikan obat pereda nyeri tersebut Bahan-bahan seperti
acetaminophen juga dapat merusak hati dalam jangka panjang. Daripada
mengandalkan obat untuk meredakan rasa sakit, cobalah untuk mengatasi pemicu
rasa sakit tersebut. "Obat pereda rasa sakit tidak akan pernah menjadi
jawaban untuk memecahkan rasa sakit karena hanya meredakan gejala, bukan
penyebab. Nyeri dapat disebabkan oleh gangguan dalam sistem saraf tubuh.
Sehingga dengan memanipulasi sistem saluran utama saraf ke otak dapat membantu
meredakan rasa nyeri," kata Sungwon D. Yoo, DC, MSAOM, L.Ac.
Menurut Archives of Physical Medicine and
Rehabilitation, orang dengan nyeri punggung bawah yang menerima hanya 4 sesi
pengobatan chiropractic dalam 2 minggu menunjukkan peningkatan yang lebih besar
dalam sakit dibandingkan dengan orang yang menerima perawatan biasa.
2.
Diet makanan sehari-hari dapat
menggantikan obat penurun kolesterol
Statin mencegah hati dari membuat kolesterol dengan
menghambat enzim yang diperlukan. Dengan mengubah diet sehari-hari dapat
membuat orang terbebas dari obat resep statin. Makanan tertentu dapat membantu
mengurangi peradangan dalam tubuh dan telah terbukti menurunkan kolesterol
jahat (LDL) atau meningkatkan kolesterol baik (HDL) secara alami.
Makanan
tersebut, seperti gandum, bawang putih, minyak zaitun, dan anggur merah. Bawang
putih dapat melindungi jantung oleh karena asam amino yang disebut allicin,
yang dilepaskan ketika bawang putih dihancurkan. Allicin melindungi jantung
dengan menjaga kolesterol menempel ke dinding arteri.
3.
Asupan kalium dan magnesium dapat
menjadi alternatif obat tekanan darah tinggi
Obat untuk
tekanan darah tinggi juga termasuk daftar teratas obat yang sering digunakan.
Obat resep dapat memainkan peran penting dalam menurunkan tekanan darah, tetapi
dengan bantuan dokter dan suplemen yang tepat, mungkin dapat mengurangi atau
akhirnya berhenti minum obat resep tersebut.
Meningkatkan
asupan kalium, sekitar 500 mg sehari dan magnesium sekitar 200 mg sehari sangat
efektif dalam menurunkan tekanan darah pada kebanyakan orang. Kalium dapat
terkandung dalam pisang, jus tomat atau air kelapa.
4.
Suplemen kelenjar tiroid dapat
menjadi alternatif obat yang sering diresepkan untuk hipotiroidisme
Hipotiroidisme
adalah paling umum pada wanita di atas usia 50 tahun. Bahkan, sebanyak 10
persen wanita di atas 50 tahun akan memiliki hipotiroidisme ringan. Lebih dari
70 juta resep diberikan untuk hipotiroidisme per tahun. Masalah tiroid rendah
mungkin terjadi karena tiroid sedang diserang oleh sistem kekebalan, tetapi
juga dapat terjadi dari kekurangan mineral seperti yodium, besi, atau selenium.
Berkonsultasilah dengan dokter mengenai konsumsi suplemen mineral yang mungkin
dapat membantu.
"Suplemen
kelenjar tiroid memasok bahan baku yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi
tiroid," kata Dr Teitelbaum. Jika berisiko untuk penyakit jantung,
mengonsumsi suplemen tiroid dapat memicu jantung berdebar-debar atau bahkan
serangan jantung atau angina. Maka sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu
dengan dokter.
5.
Perubahan gaya hidup dapat mencegah
refluks asam sehingga tidak perlu mengonsumsi obat untuk refluks asam
"Jumlah resep untuk obat refluks asam meningkat
hingga 8 juta pada tahun 2010. Orang mengonsumsi obat pereda refluks asam,
misalnya Prilosec, dapat memblok asam klorida pelindung (HCL) di perut, yang
dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus kecil dan
akhirnya kekurangan mineral dengan menghalangi penyerapan," kata Liz
Lipski, PhD, KKN.
Maka sebaiknya
harus mencoba untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari menyebabkan gangguan
pencernaan atau refluks asam bukan hanya meredakan gejalanya dengan
obat-obatan. Perubahan gaya hidup sederhana, seperti penentuan kepekaan
terhadap makanan sehingga dapat menghindari makanan yang memicu refluks asam,
makan secara perlahan, dan pengelolaan stres.
I.
CARA
MENILAI KEAMANAN OBAT
Obat pada
dasarnya merupakan bahan yang hanya dengan takaran tertentu dan dengan
penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosa, mencegah penyakit,
menyembuhkan atau memelihara kesehatan. Penggunaan obat yang tepat dan benar
sangat menentukan keberhasilan proses pengobatan.
Pertama-tama
yang harus diperhatikan atau dicermati adalah kode golongan obat yang akan
dikonsumsi. Obat golongan obat bebas atau golongan obat bebas terbatas dapat
diperoleh tanpa resep dokter dan obat golongan keras merupakan obat yang dapat
diperoleh dengan resep dokter.
Obat
yang digolongkan sebagai obat keras tentunya merupakan obat yang memiliki
potensi resiko yang lebih tinggi dibandingkan obat golongan bebas dan obat
bebas terbatas. Namun demikian potensi risiko di atas sudah diperhitungkan
dalam range yang dapat diantisipasi manusia serta tetap dilakukan
pemantauan terhadap keamanan suatu produk obat beredar, baik oleh pihak
produsen maupun pemerintah.
Nomor registrasi
Konsumen
harus dapat memilah informasi yang objektif agar dapat memilih pengobatan.
Dengan demikian penggunaan obat dapat menghasilkan efek yang optimal dan
meminimalkan potensi risiko. Banyak yang perlu diketahui dalam mengkonsumsi
suatu produk obat, baik untuk obat keras, obat bebas maupun obat bebas
terbatas.
Saat
ini banyak pilihan obat yang beredar, terutama untuk obat yang dapat digunakan
tanpa resep dokter. Untuk memilih obat beberapa faktor perlu dipertimbangkan.
Hal pertama yang harus diperiksa adalah keberadaan/pencantuman nomor izin edar
atau nomor registrasi obat serta tanggal kedaluwarsa.
Obat
yang tidak mencantumkan nomor registrasi merupakan produk yang belum terdaftar.
Proses pendaftaran atau registrasi merupakan suatu proses evaluasi atau
penilaian obat. Evaluasi atau penilaian produk obat meliputi evaluasi atau
penilaian aspek efikasi (kemanjuran), keamanan dan mutu. Menggunakan obat yang
tidak mencantumkan nomor registrasi dapat berisiko tidak terjaminnya kebenaran
kandungan dan mutu obat. Setiap produk obat memiliki nomor registrasi dan
informasi siapa industri farmasi pendaftar produk obat tersebut, serta beberapa
informasi lainnya.
Nomor
registrasi yang dipalsukan akan dapat ditelusuri dengan melihat kesesuaian kode
nomor dengan fisik produk serta data pada Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM).
Kadaluwarsa
Sementara itu, penting memperhatikan masa kedaluwarsa suatu produk obat sehingga dapat menghindari konsumsi suatu produk yang sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada produk obat yang sudah kedaluwarsa adalah sebagai berikut:
Sementara itu, penting memperhatikan masa kedaluwarsa suatu produk obat sehingga dapat menghindari konsumsi suatu produk yang sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi. Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada produk obat yang sudah kedaluwarsa adalah sebagai berikut:
Kadar
obat sudah tidak berada dalam rentang yang dipersyaratkan untuk penggunaan. Ini
dapat menyebabkan obat tidak bekerja optimal atau mungkin menjadi toksik, dan
akan sangat berbahaya. Beberapa di antaranya adalah obat-obat jenis
antibakteri, antihipertensi, dan antidiabet. Kerja obat yang tidak optimal
karena turunnya kadar/potensi obat dapat memberikan dampak yang sangat luas,
seperti:
o Dapat mengancam keselamatan jiwa.
o Mengacaukan diagnosa penyakit.
o Menimbulkan/meningkatkan kasus resistensi (untuk antibiotik).
o Meningkatkan biaya pengobatan.
o Mutu obat tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya yang menyangkut
sifat fisik produk obat seperti kekerasan tablet.
*
Nomor batch yang tercantum pada kemasan obat juga merupakan hal penting
untuk diperhatikan. Kode nomor tersebut merupakan kode yang diberikan oleh
industri farmasi yang bersangkutan. Sehingga, memudahkan dilakukan penelusuran
balik kepada sumber bila terjadi suatu masalah pada produk obat yang beredar di
pasaran, baik masalah keamanan dan ataupun masalah mutu.
*
Memperhatikan cara penyimpanan yang tertera dalam kemasan juga penting.
Menyimpan obat sesuai dengan yang dianjurkan berarti ikut menjaga kondisi dan
keadaan obat tersebut tetap stabil hingga masa kedaluwarsa. Karena itu, para
konsumen diharapkan benar-benar memperhatikan dan mematuhi cara penyimpanan
yang dianjurkan demi mendapatkan hasil optimal dari obat yang digunakan
tersebut.
Keamanan suatu obat secara pendekatan ditentukan
dengan Indeks Terapi (IT) dan Margin Dosis Keamanan (MDK). Indeks terapi obat
dinyatakan dengan persamaan berikut:
TD50
LD50
indeks Terapi
=
Atau
ED50
ED50
Dimana:
IT : Indeks terapi
IT : Indeks terapi
LD 50 : Median dosis letal, yaitu dosis yang mematikan
50% jumlah hewan
TD 50 : Dosis yang menimbulkan efek toksis pada 50% jumlah hewan coba
ED 50 : Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% jumlah hewan coba
Obat yang ideal memiliki nilai Indeks Terapi (IT) lebih besar dari satu. Semakin besar nilai IT, maka obat tersebut makin aman digunakan. Sedangkan nilai MDK adalah rasio antara dua dosis yang memberikan efek samping dan dosis yang memberikan efek terapi. MDK digunakan untuk mengevaluasi keamanan dalam penentuan dosis untuk manusia.
Indeks terapi merupakan batas keamanan obat yang berupa hubungan antara dosis terapi dan dosis obat yang menimbulkan efek. Hal ini menimbulkan selektivitas obat, tetapi data ini sulit diperoleh dari penelitian klinik karena dalam uji klinik, selektivitas obat dinyatakan secara tidak langsung yakni sebagai pola efek samping yang ditimbulkan obat dalam dosis terapi dan persentase penderita yang menghentikan pemakaian obat atau menurunkan dosis akibat efek samping.
TD 50 : Dosis yang menimbulkan efek toksis pada 50% jumlah hewan coba
ED 50 : Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% jumlah hewan coba
Obat yang ideal memiliki nilai Indeks Terapi (IT) lebih besar dari satu. Semakin besar nilai IT, maka obat tersebut makin aman digunakan. Sedangkan nilai MDK adalah rasio antara dua dosis yang memberikan efek samping dan dosis yang memberikan efek terapi. MDK digunakan untuk mengevaluasi keamanan dalam penentuan dosis untuk manusia.
Indeks terapi merupakan batas keamanan obat yang berupa hubungan antara dosis terapi dan dosis obat yang menimbulkan efek. Hal ini menimbulkan selektivitas obat, tetapi data ini sulit diperoleh dari penelitian klinik karena dalam uji klinik, selektivitas obat dinyatakan secara tidak langsung yakni sebagai pola efek samping yang ditimbulkan obat dalam dosis terapi dan persentase penderita yang menghentikan pemakaian obat atau menurunkan dosis akibat efek samping.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Farmakologi atau yang bisa disebut
dengan “ ilmu khasiat obat “ adalah merupakan ilmu yang mempelajari
pengetahuan obat dalam seluruh aspeknya baik sifat
kimiawinya,fisikanya,kegiatan fisiologi,resorpsi dan nasibnya dalam organisme
hidup. Sedangkan pengertian Farmakologi ( menurut Wikipedia
)adalah ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan obat-obatan.
Farmakologi membahas tentang farmakokinetik,
farmakodinamik, faktor yang mempengaruhi efek obat, toksikologi dasar, cara
pemberian obat, prinsip terapi, obat yang sering digunakan, dan cara menilai
keamanan obat.
Hal – hal itu perlu diketahui untuk mengetahui apa
saja yang menjadi bagian dari farmakologi dan bagaimana obat-obat yang ada
bereaksi di dalam tubuh manusia.
B.
Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan pembaca tentang farmakologi dan obat-obatan yang ada
sehingga dapat meminimalisir efek yang tidak diinginkan dari obat-obatan.
DAFTAR PUSTAKA
Sulistia, Gan Gunawan. Farmakologi dan Terapi.
Ed.5. 2009. Jakarta: FKUI
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner dan
Suddarth
Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran 2001
Edisi 8. Penerbit Buku Kedokteran 2001
http://data-farmasi.blogspot.com/,
diakses tanggal 11 November 2012
Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran.2009. FARMAKOLOGI DAN TERAPI. Universitas Indonesia:jakarta
http://farmasidinkesrl.wordpress.com/2008/10/22/penggunaan-obat-yang-tepat-dan-benar/, diakses
tanggal 11 November 2012
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2131886-mengenal-toksikologi/#ixzz2BysNenfh,
diakses tanggal 12 November 2012
0 komentar:
Posting Komentar