KONSEP TEORI
ANESTESI
A. Pengertian Anastesi
Anestesi (pembiusan;
berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk
merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh.
Anastesiologi
adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai tindakan meliputi
pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di operasi
maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien
gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
B. Skala Resiko
“ASA”
“American Society of Anaesthesiologists”
(ASA) menetapkan sistem penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam
lima kelompok.
Golongan
|
Status
Fisik
|
I
|
Tidak ada gangguan organic, biokimia dan psikiatri,
misalnya penderita dengan hernia inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua
sehat dan bayi muda yang sehat.
|
II
|
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan
disebabkan oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya penderita dengan
obesitas, penderita bronchitis dan penderita DM ringan yang akan menjalani
apendektomi
|
III
|
Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM
dengan komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendicitis akut
|
IV
|
Penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan
jiwa yang tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, missal
insufisiensi koroner atau MCI
|
V
|
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil,
pembedahan dilakukan sebagai pilihan terakhir, missal penderita syok berat
karena perdarahan akibat kehamilan di luar uterus yang pecah.
|
C.
Pembagian
Anastesi
- Anastesi Umum
Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Cara pemberian anastesi umum:
a. Parenteral
(intramuscular/intravena)
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anastesi.
b. Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan singkat.
c. Anastesi
Inhalasi
Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara
pernapasan. Zat anestetik yang digunakan
berupa campuran gas (denganO2) dan konsentrasi zat anestetik
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter
dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I
Stadium I
(analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan
biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II
(delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III
(pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana
yaitu:
1)
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak,
pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah tidak
ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulai menurun).
2)
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak
bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
3)
Plana 3 :
Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
4)
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang,
refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV
(paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan
pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Obat-obat
anestesi umum
a.
Tiopenthal :
1)
Bubuk berbau belerang, berwarna
kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan dengan aquades sampai konsentrasi
2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB.
2)
Melindungi otak oleh karena
kekurangan O2.
3)
Sangat alkalis, nyeri hebat dan
vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri yang menyebabkan nekrosis jaringan
sekitar.
b.
Propofol:
1)
Dalam emulsi lemak berwarna putih
susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB, rumatan
4-12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB. Pengenceran hanya dengan
Dextrosa 5%.
2)
Dosis dikurangi pada manula, dan
tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu hamil.
c.
Ketamin:
1)
Kurang disenangi karena sering
takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska anestesi mual, muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB.
2)
Dikemas dalam cairan bening
kepekatan 5%, 10%, 1%.
d.
Opioid:
1) Diberikan
dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
pasien dengan kelainan jantung.
2) Untuk
induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.
Untuk memberikan cairan dalam waktu
singkat dapat digunakan vena-vena di punggung tangan, di dalam pergelangan
tangan, lengan bawah atau daerah kubiti. Pada anak kecil dan bayi digunakan
punggung kaki, depan mata kaki atau di kepala. Bayi bari lahir digunakan vena
umbilikus.
- Anastesi Lokal/Regional
Adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan tekhnik:
a.
Anastesi Permukaan
Yaitu pengolesan atu penyemprotan analgetik lokal diatas selaput mukosa,
seperti mata, hidung atau faring.
b. Anastesi
Infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan
disekitar tempat lesi, luka dan insisi
c. Anastesi
Blok
Penyuntikan
analgetik lokal langsung ke saraf utama atau pleksus
saraf. Hal ini bervariasi dari blokade pada saraf tunggal, misal saraf oksipital dan pleksus
brachialis, anastesi spinal, anastesi epidural, dan anestesi kaudal. Pada anestesi spinal, anestesi lokal
disuntikkan ke ruang subarakhnoid.
1) Anastesi
Spinal
Anestesi spinal merupakan tipe blok
konduksi saraf yang luas dengan memasukkan anestesi local dalam rung
subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan L5). Cara ini menghasilkan
anesthesia pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen bawah. Untuk prosedur
fungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada. Teknik steril
diterapkan saat melakukan fungsi lumbal dan medikasi disuntikkan melalui jarum.
Segera setelah penyuntikan, pasien dibaringkan terlentang. Jika diinginkan
tingkat blok yang secara relative tinggi, maka kepala dan bahu pasien
diletakkan lebih rendah.
Penyebab agens anastetik dan tingkat
anesthesia bergantung pada jumlah cairan yang disuntikkan, posisi pasie setelah
penyuntikan, dan berat jenis agens. Jika berat jenis agens lebih berat dari
berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agens akan bergerak keposisi dependen
spasium subarachnoid, jika berat jenis agens anastetik lebih kecil dadri CSS,
maka anasteti akan bergerak menjauh bagian dependen. Perbatasan ini dikendalikan
oleh ahli anestesi. Secara umum, agens yang digunakan adalah prokain, tetrakain
(Pontocaine), dan lidokain (Xylokain).
Dalam beberapa menit, anestesia dan
paralisis mempengaruhi jari-jari kaki dan perineum dan kemudian secara bertahap
mempengaruhi tungkai dan abdomen. Jika anestetik mencapai toraks bagian atas
dan medulla spinalis dalam konsentrasi yang tinggi, dapat terjadi paralisis
respiratori temporer, parsial atau komplit. Paralisis oto-otot pernapasan
diatasi dengan mempertahankan respirasi artificial sampai efek anestetik pada
saraf respiratori menghilang. Mual, muntah dan nyeri dapat terjadi selama
pembedahan ketika digunakan anestesia spinal. Sebagai aturan, reaksi ini
terjadi akibat traksi pada berbagai struktur, terutama pada struktur di dalam
rongga abdomen. Reaksi tersebut dapat dihindari dengan pemberian intarvena
secara simultan larutan teopental lemah dan inhalasi oksida nitrat.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada
tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini
juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah
rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak.
Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan
dengan anestesi umum.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi
infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia
berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi
relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung,
penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah,
dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
Persiapan
Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi
tentang tindakan ini (informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi
daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi
seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan
laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin
(PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus
diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor
pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik
spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di
dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang
digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis
obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi.
Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke
atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat
penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis
1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa
steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga harus disiapkan. Jarum
spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti
ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya
seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang
menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
Teknik
Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam
melakukan anestesi spinal, antara lain:
a)
Posisi pasien duduk atau dekubitus
lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal.
Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan
dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur
berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
b)
Posisi permukaan jarum spinal
ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata lumbalis (interlumbal).
c)
Lakukan tindakan asepsis dan
antisepsis kulit daerah punggung pasien.
d)
Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial
dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah
cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan
subaraknoid.
e)
Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
f)
Suntikkan obat
anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang
untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi
adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala,
retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi
spinal total.
Pengkajian keperawatan yang
dilakukan setelah anestesia spinal, selain memantau tekanan darah, perawat
perlu mengobservasi pesien dengan cermat dan mencatat waktu saat perjalanan
sensasi kaki dan jari kembali. Jika sensasi pada jari kaki telah kembali
sepenuhnya, pasien dapat dipertimbangkan telah pulih dari efek anestetik
spinal.
2)
Blok Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan
menyuntikkan anestetik local ke dalam kanalis spinalis dalam spasium sekeliling
durameter. Anestesia epidural memblok fungsi sensori, motor dan otonomik yang
mirip, tetapi tempat injeksinya yang membedakannya dari anestesi spinal. Dosis
epidural lebih besar disbanding dosis yang diberikan selama anestesi spinal
karena anestesi epidural tidak membuat kontak langsung dengan medulla atau
radiks saraf. Keuntungan dari anestesi epidural adalah tidak adanya sakit
kepala yang kadang disebabkan oleh penyuntikan subarachnoid. Kerugiannya adalah
memiliki tantangan teknik yang lebih besar dalam memasukkan anestetik ke dalam
epidural dan bukan ke dalam spasium subarachnoid. Jika terjadi penyuntikan
subarachnoid secarA tidak sengaja selama anestesi epidural dan anestetik
menjalar ke arah kepala, akan terjadi anestesia spinal “tinggi”. Anestesia
spinal tinggi dapat menyebabkan hipotensi berat dan depresi atau henti napas.
Pengobatan untuk komplikasi ini adalah dukungan jalan napas, cairan intravena,
dan penggunaan vasopresor.
3)
Blok Pleksus Brakialis
Blok pleksus brakialis menyebabkan
anestesia pada lengan.
4)
Anestesia Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan
anestesia pada saraf yang mempersarafi dada, dindind abdomen dan ekstremitas.
5)
Blok Transakral (Kaudal)
Blok transakral menyebabkan
anestesia pada perineum dan kadang abdomen bawah.
d. Anastesi Regional Intravena
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal.
Ekstremitas dieksanguinasi
dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik dengan torniquet pneumatik.
D.
Obat Premedikasi
Pemberian obat premedikasi bertujuan untuk:
1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekhawatiran, memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi).
2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anastesi.
3. Mengurangi jumlah obat-obatan anastesi.
4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah
pascaanastesi
5. Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat,
dan lain-lain).
6. Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi
pada tindakan anestesi adalah sebagai berikut:
1. Analgetik narkotik
a.
Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB)
intramuskular diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi,
menghindari takipnu pada
pemberian trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam. Kerugiannya
adalah terjadi
perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter.
b.
Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan
untuk menekan tekanan darah dan pernafasan
serta merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB intravena.
2. Barbiturat
Penobarbital dan sekobarbital). Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200 mg, pada
anak dan bayi 1 mg/kg BB secara
oral atau intramuslcular.
3. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja
setelah 10-15 menit.
4. Obat penenang (tranquillizer)
a. Diazepam
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin.
Dosis premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau
5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB)
dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis
sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2 mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1 mg/kg BB intravena.
b.
Midazolam
Mempunyai
awal dan lama kerja lebih pendek dibandingkan
dengan diazepam.
E.
Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi
neuromuskular sehingga menimbulkan
kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya obat ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu obat penghambat secara
depolarisasi resisten dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi. Pada anestesi umum, obat ini
memudahkan dan mengurangi cedera
tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea, serta memberi relaksasi otot
yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali.
Perbedaan Obat Pelumpuh Otot
Depolarisasi dan Nondepolarisasi
Depolarisasi
|
Nondepolarisasi
|
Ada vasikulasi otot
|
Tidak ada vasikulasi otot
|
Berpotensiasi dengan antikolinesterase
|
Berpontisiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi,
eter, halotan, enfluran dan isofluran
|
Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal
atau tetanik
|
Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap
pada perangsangan tunggal atau tetanik
|
Belum dapat diatasi dengan obat spesifik
|
Dapat diantagonis oleh antikolin esterase
|
Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi dan asidosis
|
1.
Obat Pelumpuh
Otot Nondepolarisasi
Pavulon (pankuronium bromida). Dosis
awal untuk relaksasi otot 0,008 mg/kgBB
intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis intubasi trakhea 0,15 mg/kgBB intravena.
Trakrium (atrakurium besilat). Keunggulannya adalah
metabolisme terjadi di dalam darah, tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Dosis intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis relaksasi
otot 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena.
Vekuronium (norkuron).
Rokuronium. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-2 mg/kgBB.
2.
Obat Pelumpuh
Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-5 menit. Dosis intubasi 1-1,5 mg/kgBB
intravena.
Antagonis Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin mempunyai efek
nikotik, muskarinik, dan merupakan stimulan otot
langsung. Dosis 0,5 mg
bertahap sampai 5 mg, biasa diberikan bersama atropin dosis 1- 1,5mg.
F. Obat Anestes1
Inhalasi
Zat
|
Untung
|
Rugi
|
N2O
|
Analgesik kuat, baunya manis, tidak iritasi, tidak
terbakar.
|
Jarang digunakan tunggal, harus disertai O2
minimal 25%, anestetik lemah, memudahkan hipoksia difusi.
|
Halotan
|
Baunya enak. Tidak merangsang jalan nafas, anestesi
kuat
|
Vasodilator serebral, meningkatkan aliran darah otak
yang sulit dikendalikan, analgesik lemah.
Kelebihan dosis akan menyebabkan depresi nafas,
menurunnya tonus simpatis, hipotensi, bradikardi, vasodilator perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard.
Kontraindikasi gangguan hepar. Paska pemberian
menyebabkan menggigil.
|
Enfluran
|
Induksi dan pemulihan lebih cepat dari halotan. Efek
relaksasi terhadap otot lebih baik
|
Pada EEG, menunjukkan kondisi epileptik. Depresi
nafas, iritatif, depresi sirkulasi.
|
Isofluran
|
Menurunkan laju meta-bolisme otak terhadap O2
|
Meninggikan aliran darak otak dan TIK.
|
Desfluran
|
Sangat mudah menguap, potensi rendah.
Simpatomimetik, depresi nafas, me-rangsang jalan nafas atas.
|
|
Sevofluran
|
Bau tidak menyengat, tidak merangsang jalan nafas,
kardiovaskular stabil
|
G.
Obat Anestesi
Intravena
1.
Natrium
Tiopental (tiopental, pentotal)
2.
Ketamin
3.
Droperidol
4.
Diprivan
H.
Obat Anestesi
Regional/Lokal
Obat anestesi regional/lokal adalah obat yang
menghambat hantaran
saraf bila dikenakan secara lokal. Anestesi lokal ideal adalah yang tidak mengiritasi atau merusak jaringan secara
permanen, batas keamanan
lebar, mula kerja singkat, masa kerja cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan, dan efeknya reversibel. Obat anestesianya yaitu lidokain dan bupivikain.
I. Posisi
Pasien Di Meja Operasi
Posisi pasien di meja operasi
bergantung pada prosedur operasi yang akan dilakukan juga pada kondisi fisik
pasien. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
- Pasien
harus dalam posisi senyaman mungkin, apakah ia tetidur atau sadar.
- Area
operatif harus terpajan secara adekuat.
- Pasokan
vascular tidak boleh terbendung akibat posisi yang salah.
- Pernapasan
pasien harus bebas dar gangguan tekanan lengan pada dada atau konstriksi
pada leher dan dada yang disebabkan oleh gaun.
- Saraf
harus dilindungi dari tekanan yang tidak perlu. Pengaturan posisi lengan,
tangan, tungkai, atau kaki yang tidak tepat dapat mengakibatkan cedera
serius atau paralisis. Bidang bahu harus tersangga dengan baik untuk mencegah
cedera saraf yang tidak dapat diperbaiki, terutama jika posisi
Trendelenburg diperlukan.
- Tindak
kewaspadaan untuk keselamatan pasien harus diobservasi, terutama pada
pasien kurus, lansia atau obes.
- Pasien
membutuhkan restrain tidak keras sebelum induksi, untuk berjaga-jaga bila
pasien melawan
Posisi
pasien di meja operasi:
- Posisi
Dorsal Rekumben
Posisi lazim untuk pembedahan adalah
terlentang dasar; satu lengan di sisi tubuh, dengan telapak tangan
tertelungkup; tangan satunya diposisikan di atas sebuah papan lengan untuk
infuse intravena. Posisi ini kebanyakan digunakan pada bedah abdomen, kecuali
untuk bedah kandung empedu dan pelvis.
- Posisi
Trendelenberg
Posisi ini biasanya digunakan untuk
pembedahan abdomen bawah dan pelvis untuk mendapat pajanan area operasi yang
baik dengan mengeser intestine ke dalam abdomen atas. Dalam posisi ini kepala
dan badan lebih rendah dan lutut dalam keadaan fleksi.
- Posisi
Litotomi
Dalam posisi litotomi, pasien
terlentang dengan tungkai dan paha fleksi dengan sudut yang tepat. Posisi ini
dipertahankan dengan menempatkan telapak kaki pada pijakan kaki. Posisi ini
digunakan pada pembedahan perineal, rectal dan vaginal.
- Untuk
Bedah Ginjal
Pasien dibaringkan miring pada sisi
tubuh yang tidak dioperasi dalam posisi Sims menggunakan bantal udara dengan
ketebalan 12,5 cm samapai 15 cm di bawah pinggang, atau di atas meja dengan
ginjal dan punggung di atas.
- Untuk
Bedah Dada dan Abdominotorakik
Posisi yang dibutuhkan beragam
sesuai dengan pembedahan yang akan dilakukan. Ahli bedah dan ahli anestesi
membaringkan pasien dalam posisi yang diinginkan.
- Pembedahan
pada Leher
Bedah leher, misalnya bedah tiroid,
dilakukan dengan pasien dalam posisi terlentang, leher ekstensi menggunakan
bantal yang diletakkan dibawah bahu, dan kepala serta dada ditinggikan untuyk
mengurangi aliran balik vena.
- Pembedahan
pada Tulang Tengkorak dan Otak
Prosedur ini membutuhkan posisi dan
peralatan khusus, biasanya diataur oleh ahli bedah.
J. Peralatan
Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang
sering digunakan.
Secara umum mesin anestesi terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan yaitu:
- Komponen
1: sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter),dan alat penguap (vaporizer).
- Komponen 2: sistem napas,
yang terdiri dari sistem lingkar dan
sistem Magill. - Komponen
3: alat yang menghubungkan sistem napas dengan
pasien yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakhea
(endotrakheal tube).
K. Tahapan
- Persipan Praanestesi
Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya.
Dilakukan penilaian
praoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, akses intravena dipasang untuk pemberian cairan infus, transfusi
dan obat-obatan. Dilakukan pemantauan
elektrografi, tekanan darah, saturasi Cb, kadar
CO2 dalam darah (kapnograf), dan tekanan vena sentral (CVP). Premedikasi dapat diberikan. oral, rektal,
intramuskular, atau intravena.
- Induksi Anestesi
Pasien diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka.
Obat-obat induksi diberikan secara intravena seperti tipental, ketamin, diazepam, midazolam, dan profol. Jalan
napas dikontrol dengan sungkup muka atau napas orofaring/nasofaring. Setelah
itu dilakukan intubasi
trakhea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan.
- Rumatan Anestesi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan
anestesi. Hal-hal yang
dipantau adalah fungsi vital (pernapasan, tekanan darah, nadi, dan kedalaman
anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas,
takikardi, hipertensi, keringat,
air mata, midriasis.
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan,
bantu, atau kendali
tergantung jenis, lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa,
rumatan, perdarahan, evaporasi, dan lain-lain
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan dan frekuensi nadi terjadi bila anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi sekresi adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu dengan meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan
barbiturat. Penurunan tekanan darah dan nadi halus sebagai tanda syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah atau cairan. Peningkatan tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan transfusi yang berlebihan. Diatasi dengan penghentian transfusi.
- Pemulihan Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien
dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
atau keruang perawatan intensif (bila ada
indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pemapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain, dan lain-lain
Kriteria yang digunakan dan
umumnya yang dinilai adalah warna kulit,
kesadaran, sirkulasi, pemapasan dan aktivitas motorik, seperti Skor Aldrette. Idealnya
pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. namun
bila skor total telah diatas 8 pasien boleh
dipindahkan dari ruang pemulihan.
Skor
Pemulihan Pasca-Anestesi
Penilaian
|
Nilai
|
|
Warna
|
Merah muda
Pucat
Sianotik
|
2
1
0
|
Pernapasan
|
Dapat bernafas dalam dan batuk
Dangkal namun pertukaran udara adekuat
Apnea atau obstruksi
|
2
1
0
|
Sirkulasi
|
Tekanan darah menyimpang <20%>
Tekanan darah
menyimpang 20-50% dari normal
Tekanan darah
menyimpang >50% dari normal
|
2
1
0
|
Kesadaran
|
Sadar, siaga,
dan orientasi
Bangun namun
cepat kembali tertidur
Tidak
berespon
|
2
1
0
|
Aktivitas
|
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan
Dua ekstremitas dapat digerakkan
Tidak bergerak
|
2
1
0
|
L. Intubasi Trakea
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakeal ke dalam trakea
sehingga jalan napas bebas hambatan dan napas mudah dibantu atau dikendalikan. Ekstubasi trakea adalah tindakan pengeluaran pipa endotrakeal.
- Tujuan
Pembersihan saluran trakeobronkial, mempertahankan
jalan napas agar tetap
paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenisasi.
- Indikasi
Tindakan resusitasi, tindakan anestesi,
pemeliharaan jalan napas, dan pemberian
ventilasi mekanis jangka panjang.
- Peralatan
Sebelum mengerjakan intubasi trakea, dapat diingat
kata STATICS
S : scope, laringioskop dan stetoskop
T : tubes, pipa endotrakeal
A : airway tubes, pipa orofaring/nasofaring
T : tape, plester
I : introducer, stilet, mandrin
C: connector, sambungan-sambungan
S : suction, penghisap lendir
- Komplikasi
a. Komplikasi tindakan laringioskopi dan intubasi:
1)
Malposisi:
intubasi esofagus, intubasi endobronkial,
malposisi laryngeal cuff.
malposisi laryngeal cuff.
2)
Trauma jalan napas: kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah,
atau mukosa mulut, cedera tenggorokan, dislokasi
mandibula, dan diseksi retrofangeal.
atau mukosa mulut, cedera tenggorokan, dislokasi
mandibula, dan diseksi retrofangeal.
3)
Gangguan refleks: hipertensi, takikardi, tekarian
intrakranial meningkat, tekanan intraokular meningkat,
dan spasme laring.
intrakranial meningkat, tekanan intraokular meningkat,
dan spasme laring.
4)
Malfungsi tuba: perforasi cuff.
b. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal:
1)
Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial, malposisi laringeal cuff.
endobronkial, malposisi laringeal cuff.
2)
Trauma jalan napas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
ekskoriasi kulit hidung.
3)
Malfungsi tuba: obstruksi.
c. Komplikasi setelah ekstubasi:
1) Trauma jalan napas: edema dan stenosis (glotis,
subglotis,
atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis
pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis
pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2) Gangguan refleks: spasme laring.
5.
Penentuan ukuran ETT
Usia
|
Diameter
|
Skala
French
|
Jarak
sampai bibir
|
Prematur
|
2,0-2,5
|
10
|
10 cm
|
Neonatus
|
2,5-3,5
|
12
|
11 cm
|
1-6 bulan
|
3,0-4,0
|
14
|
11 cm
|
0,5-1 tahun
|
3,5-3,5
|
16
|
12 cm
|
1-4 tahun
|
4,0-5,0
|
18
|
13 cm
|
4-6 tahun
|
4,5-5,5
|
20
|
14 cm
|
6-8 tahun
|
5,0-5,5
|
22
|
15-16 cm
|
8-10 tahun
|
5,5-6,0
|
24
|
16-17 cm
|
10-12 tahun
|
6,0-6,5
|
26
|
17-18 cm
|
12-14 tahun
|
6,5-7,0
|
28-30
|
18-22 cm
|
Dewasa wanita
|
6,5-8,5
|
28-30
|
20-24 cm
|
Dewasa pria
|
7,5-10,0
|
32-34
|
20-24 cm
|
Cara memilih pipa trakhea untuk bayi
dan anak kecil
a. Ф dalam pipa
trakheal (mm) = 4,0 + ¼ umur (thn)
b. Panjang pipa
oro trakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
c. Panjang pipa
nasotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
M. Intubasi Pada Operasi Darurat
Pada operasi darurat dilakukan induksi cepat (crush
induction) untuk mencegah
aspirasi selama tindakan intubasi. Diindikasikan terutama pada pasien dengan lambung penuh. Selain peralatan intubasi
dipersiapkan pula alat penghisap dan pipa lambung. Pasien dipersiapkan dalam posisi setengah duduk atau telentang dengan
posisi kepala lebih rendah.
Awali dengan pemberian O2 100%
(praoksigenisasi) selama 3-5 menit kemudian obat pelumpuh otot nondepolarisasi ¼ dosis (prekurarisasi). Suntikan obat induksi cepat
diberikan sampai refleks bulu mata hilang. Tulang krikoid ditekan ke arah posterior (Sellick
manouver) dan kemudian obat pelumpuh otot depolarisasi diberikan dengan dosis 1,5-2 kali dosis normal. Setelah itu
baru dilakukan tindakan
laringioskopi dan intubasi. Bila pipa endotrakeal telah masuk, balon pipa (cuff) segera dikembangkan.
N. Hipotermia
Hipotermia adalah keadaan dimana
suhu tubuh di bawah batas normal fisiologis (36,6 - 37,5°C). Hipotermia yang
tidka diinginkan mungkin dialami oleh pasien sebagai akibat suhu yang rendah
diruang operasi, infuse denga cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin,
kavitas atau kula terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut
atau agens obat-obatan yang digunakan.
Penanganan hipotermi antara lain
dengan membuat suhu lingkungan dalam ruang operasi diataur pada suhu 25° - 26,6°C.
Cairan intravena dan irigasi dihangatkan samapai 37°C. gaun dan selimut basah
diganti dengan yang kering, karena gaun dan selimut yang basah memperbesar
kehilangan panas.
Diperlukan pemantauan suhu inti
tubuh, haluan urin, EKG, tekanan darah, gas darah dalam ateri, dan serum
elektrolit yang cermat. Perhatikan terhadap penatalaksanaan hiportemi meluas
hingga keperiode pascaoperatif untuk mencegah kehilangan nitrogen yang
signifikan dan katabolisme. Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang
adekuat, dan nutrisi yang sesuai. Kehilangan panas pada pasien lansia di rung
operasi dapat dicegah dengan menutupi kepala pasien mengguanakn topi penahan
panas selama anestesi, jaga suhu ruangan operasi harus dipertahankan pada 26,6oC.
larutan antiseptic yang digunakan dalam persiapkan awal kulit sebelum
pemasangan selimut harus cukup hangat, dan bukan yang dingin.
O.
Hipertermia Maligna Selama Anastesi
Umum
Hipertermia maligna adalah gangguan
otot yang diturunkan yang secara kimiawi diinduksikan oleh anestetik. Selama
anastesi agen protein seperti anastesi inhalasi dan relaksan otot dapat memicu
gejala hipertermi maligna. Medikasi seperti simpatomimetik, teofilin,
aminofilin, dan glikosida jantung dapat juga menginduksi atau mengeluarkan
reaksi tersebut, proses ini diawali oleh setres.
Patofisiologi ini berkaitan dengan
aktivitas sel-sel otot. Sel-sel otot terdiri atas cairan bagian dalam dan
membrane bagian terluar. Kalsium, suatu factor penting dalam proses kontraksi
otot, normalnya disimpan dalam froses kontraksi otot, kalsiu dilepaskan
sehingga memungkinkan terjadinya kontraksi otot, hipertermia, dan kerusakan
pada system saraf pusat. Dengan angka moralitas yang melebihi 50%,
mengidentifasikan pasien yang beresiko adalah penting penting.
Manifestasi klinis; gejala awal
hipertermia maligna adalah yang berkaitan dengan aktivitas kardiovaskuler dan
muskuloskletal. Takikardi sering merupakan tanda dini. Selain takikardi,
silmulasi saraf sinpatis mengarah pada disrima ventikuler, hipotensi, dan
penurunan curah jantung, oliguria, dan selanjutnya henti jantung. Dengan
transport kalsium yang abnormal, kekakuan atau gerakan seperti tetani yang
sering terjadi pada rahang. Kenaikan suhu tubuh sebenarnya adalah tanda lanjut
yang terjadi dengan cepat, dan dapat meningkat 1oC setiap 5 menit.
Pemindahan dari ruang operasi ke
unit perawatan pascaanestesia (PACU), yang juga disebut sebagai ruang pemulihan
pascaanestesia (PARR), memerlukan pertimbangan khusus pada letak insisi,
perubahan vascular dan pemajanan.letak posisi insisi harus selalu
dipertimbangkan setiap kali pasien pascaoperatif dipindahkan banyak luka
tertutup dalam tetgangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya dilakukan untuk
mencegah renggangan sutura lebih lanjut. Selain itu pasien diposisikan sehingga
ia tidak berbaring pada dan menyumbat drain atau selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat
terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi lainya, seperti
dari posisi litotomi keposisi hozontal, dari lateral ke posisi terlentang.
Bahkan memindahklan pasien yang telah dianestesi ke brankar dapat menimbulkan
masalah. Jadi pasien harus dipindahkan secara perlahan lahan dan secara cermat.
P. Unit
Perawatan Pasca Anestesia
PACU biasanya berdekatan dengan
ruang operasi. Pasien yang masih terpengaruh anestesi atau yang pulih dari
anestesi ditempatkan diunut untuk kemudahan akses ke
1.
Perawat yang disiapkan dalam merawat
pasien pascaoperatif segera
2.
Ahli anestesi dan ahli bedah
3.
Alat pemantau dan peralatan khusus
medikasi dan penggantian cairan.
Ruang dijaga agar harus, bersih dan
bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan. Ruang juga harus dicat dengan warna
yang lembut dan menyenangkan dan mempunyai
- Pencahayaan
tidak langsung
- Plafon
kedap suara
- Peralatan
yang mengontrol atau menghilangkan suara mis basin emesis dari plastic
- Ruang
terisolasi (kotak berkaca) untuk pasien yang terganggu
Alat pemantau tersedia untuk
memberikan penilaian yang akurat dan cepat tentang kondisi pasien.
- Alat
bantu pernapasan
- Oksigen
- Laringoskop
- Set
trakeostomi
- Peralatan
bronchial
- Kateter
- Ventilator
mekanis
- Peralatan
suction
Sasaran pelaksanan PACU adalah untuk
memberikan perawatan sampai pasien pulih dari efek anestesi (sampai kembalinya
fungsi motorik dan sensorik), terorientasi, mempunyai tanda vital yang stabil,
dan tidak memperlihatkan tanda-tanda hemoragik.
Pengkajian pascaoperatif segera
perawat PACU menerima pasien memeriksa hal – hal berikut dengan ahli-ahli
anestesi atau anastesis :
- Diagnosa
medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
- Usia
dan kondisi umum pasien masih, kepatenen jalan nafas, tanda-tanda vital
- Anestetik
dan medikasi lain yang digunakan misalnya narkotik, relaksan otot,
antibiotic
- Segala
masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin mempengaruhi
pascaoperatif midalnya hemoralgi berlebihan, syok dan henti jantung
- Patologi
yang dihadapi (jika malignansi, apakah pasien atau keluarga sudah
diberitahukan)
- Cairan
yang diberikan, kehilangan darah dan penggantian.
- Segala
slang, drain kateter, atau alat bantu pendukung lainnya
- Informasi
spesifik tentang siapa ahli bedah atau anestesi yang akan diberitahukan
Q. Intervensi
Keperawatan
Tanda vital dipantau dan status
fisik umum pasien dikaji pada setidaknya setiap 5 menit. Kepatenan jalan nafas
dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi pertama kali, diikuti dengan pengkajian
fungsi kardiovaskuler, kondisi letak yang dioperasi dan fungsi system saraf
pusat.
Sasaran utama intervensi adalah
mempertahankan ventilasi pulmonal dan dengan demikian mencegah hipoksemia
(penurunan oksigen dalam darah) dan hiperkapnea (kelebihan kadar dioksida dalam
darah) hal ini terjadi jika jalan nafas tersumbat dan ventilasi berkurang.
Kesulitan pernafasan berkaitan
dengan tipe spesifik anestesi
Tanda-tanda
kesulitan ini termasuk :
- Tersedak
- Pernapasan
yang bising dan tidak teratur
- Dalam
beberapa menit kulit menjadi berwarna biru agak kehitaman
Satu-satunya cara untuka mengetahui
apakah pasien bernafas atau tidak adalah dengan menmpatkan telapak tangan di
atas hidung dan mulut pasien untuk merasakan hembusan napas. Tindakan obstruksi
hipofaringeus termasuk mendongakan kepala kebelakang dan mendorong kedepan pada
sudut rahang bawah.
- Obstruksi
hipofaringeus terjadi leher yang fleksi memungkinkan dagu untuk turun
kearah dada; obstruksi hamper selalu terjadi ketika kepala dalam
midposisi.
- Mendongakan
kepala kebelakang untuk meregangkan struktur leher anterior menyebabkan
dasar lidah terangkat menjauhi dinding faringeal posterior. Arah anak
panah menunjukkan tekanan dari tangan.
- Membuka
mulut diperlukan untuk memperbaiki obstruksi seperti katup dari saluran
hidung selama ekspirasi yang terjadi pada sekitar 30 % pasien tidak sadar.
R.
Proses Keperawatan Merawat Pasien
Pasca Anestesia
Pengkajian segera pasien bedah saat
kembali ke unit klinik terdiri atas yang berikut :
- Repirasi
kepatenan jalan napas ; kedalaman, frekuensi, dan karakter pernapasan ;
sulit dan bunyi napas
- Sirkulasi
; tanda-tanda vital termasuk tekanan darah kondisi kulit.
- Neurologi
; tingkat respon
- Drainase
; adanya drainase keharusan untuk menghubungkan selang kesistem drainase
yang spesifik adanya dan kodisi balutan
- Kenyamanan
; tipe nyeri dan likasi mual atau muntah perubahan posisi yang dibutuhkan.
- Psikologi
; sifat dari pertanyaan pasien kebutuhan akan istirahat dan tidur ;
gangguan oleh kebisingan pengunjung, ketersedian bel pemanggil.
- Keselamatan
; kebutuhan akan pagar tempat tidur ; drainase selang tidak tersumbat;
cairan IV terinfus dengan tepat dan letak IV terbebat dengan baik
- Peralatan
; diperiksa untiuk fungsi yang baik
S.
Pengkajian Respirasi
Yang harus diamati kualitas pernapasan
dicatat seperti :
- Kedalaman
- Frekuensi
- Bunyi
napas
Pernapasan pendek dan cepat mungkin
karena nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi lambung atau obstruksi oleh
sekresi.
T.
Pengkajian Sirkulasi
Pertimbangan dasar dalam mengkaji
fungsi kardiovaskuler adalah Pemantaun tanda-tanda syok dan hemoragi.
penampilan pasien, TTV untuk menentukan fungsi kardiovaskuler. Tekanan vena
sentral (TVS) dan nilai gas darah arteri dipantau jika kondisi pasien
membutuhkan pengkajian yang demikian.
Institusi mempunyai protocol
spesifik untuk pemantauan pascaoperatif. Nadi darah dan pernapasan dicatat
setiap 15 menit selama 2 jam pertama, dan setiap 30 menit selama 2 jam, dan
setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya, kecuali diindikasikan untuk dilakukan
lebih sering setelanhnya mereka diukur lebih jarang jika semuanya tetap stabil.
Suhu tubuh dipantau setiap 4 jam selama 24 jam pertama.
- Suhu
tubuh diatas 37,70C (100oF) atau dibawah 36,1oC
(97oF) pernapasan lebih dari 30 kali atau kurang dari 16 kali
permenit dan tekanan darah sistolik turun dibawah 90 mmhg biasanya
dianggap segera dilaporkan. Namun tekanan darah dasar atau praoperatif
pasien digunakan sebagai perbandingan pascaoperatif yang jelas.
- Tekanan
darah yang sebelumnya stabil yang menunjukkan kecendrungan menurun 5 mmHg
pada pengukuran setiap 15 menit juga harus mewaspadakan perawat terhadap
adanya masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Latief, A. Said, dkk. Anestesiology. Jakarta: FKUI. 2009
Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta:
Media Aesculapius. 2000
Gainswarna, G Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta
: FKUI
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol I.
Jakarta : EGC. 2001
Anestesi Spinal. http://anestesi-fkunram.blogspot.com/2009/02/anestesi-spinal.html.
Diakses tanggal 15 November 2012 pukul 22:00
0 komentar:
Posting Komentar