BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perdarahan Post
Partum (PPP) merupakan perdarahan yang masih berasal dari tempat implantasi
plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah
satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil ektopik dan
abortus. Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan yang semestinya
akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan
kembali.
Perdarahan post
partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada
umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah
menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi >
100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Dari data WHO
(World Health Organization) menunjukan bahwa 25% dari kematian maternal
disebabkan oleh perdarahan postpartum dan diperkirakan 100.000 kematian
maternal tiap tahunnya (Admin, 2009).
Angka Kematian Ibu
di Indonesia menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat penurunan angka kematian ibu (AKI) dari
307 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Provinsi NTB ditemukan angka kematian ibu sebesar 95
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, tahun 2008 menjadi 99 per 100.000
kelahiran hidup, tahun 2009 menjadi 130 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun
2010 sebesar 114 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2011 mengalami
peningkatan yaitu 129 per 100.000 kelahiran hidup, dan target pencapaian
millenium Development Goals (MDGS), yaitu AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran
hidup pada tahun 2015, perlu dilakukan upaya terobosan yang efektif dan
berkesinambungan (Anonim, 2010).
Penyebab langsung tingginya angka kematian ibu di Indonesia disebabkan
oleh perdarahan 28%, Eklampsia24%, infeksi 20%, komplikasi Puerperium 8%,
abortus 5%, partus macet 5%, trauma obsetri 5 %, emboli 3% (WHO, 2010).
Perdarahan, khususnya
perdarahan post-partum, terjadi secara mendadak dan lebih berbahaya apabila
terjadi pada wanita yang menderita anemia. Seorang ibu dengan perdarahan dapat
meninggal dalam waktu kurang dari satu jam (Kemenkes RI, 2008). Kondisi
kematian ibu secara keseluruhan diperberat oleh “tiga terlambat” yaitu
terlambat dalam pengambilan keputusan, terlambat mencapai tempat rujukan,
terlambat dalam mendapatkan pertolongan yang tepat di fasilitas kesehatan
(Dinas Provinsi NTB, 2010).
Di tingkat
provinsi upaya penurunan AKI dan AKB dilakukan melalui strategi AKINO (angka
kematian ibu menuju nol). Untuk mewujudkan strategi / program tersebut
pemerintah provinsi NTB melakukan beberapa upaya diantarnya peningkatan
kualitas tenaga kesehatan, peningkatan sarana dan prasaran, memberikan layanan
yang bermutu diantaranya pemeriksaan hamil minimal 4 kali, penanganan gizi ibu
hamil, penanganan penyakit menular dan tidak menular pada ibu hamil, persalinan
nakes, pelayanan KB, dll (Anonim, 2010).
Dalam rangka percepatan penurunan angka kematian ibu dan angka kematian
bayi, pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya dibidang kesehatan,
diantaranya dengan peningkatan mutu pelayanan dan pengelolaan manajemen program
kesehatan ibu dan anak (KIA). Namun ternyata masih perlu adanya peningkatan
keterlibatan masyarakat dalam perhatian dan pemeliharaan kesehatan ibu dan bayi
baru lahir. Seperti kita ketahui bersama bahwa ditingkat masyarakat masalah
keterlambatan, utamanya keterlambatan mengenal tanda bahaya dan mengambil
keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, terlambat mendapatkan
pertolongan di fasilitas kesehatan, serta masalah 4 terlalu yaitu terlalu muda
punya anak(<20 tahun), terlalu banyak melahirkan(>3 anak), terlalu rapat
jarak kelahiran (<2 tahun), terlalu tua (>35 tahun), masih
dilatarbelakangi oleh rendahnya pengetahuan (Kemenkes RI, 2009).
Untuk
menanggulangi permasalahan tersebut, telah dilkukan upaya percepatan AKI. Pada
tahun 2000 Departemen kesehatan telah merancangkan Strategi Making Pregnancy
Safer (MPS) yang merupakan strategi terfokus dalam penyediaan dan pemantapan
pelayanan kesehatan, dengan 3 pesan kunci MPS, yaitu: (1) setiap persalinan
ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, (2) setiap konflikasi obstetri dan
neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, dan (3) setiap wanita usia subur
mempunyai askes terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanganan komflikasi keguguran. Upaya percepatan penurunan AKI tersebut
dilaksanakan melalui empat strategi, yaitu: (1) peningkatan kualitas dan akses
pelayanan kesehatan ibu dan bayi,(2) kerjasama lintas program,lintas sektor
terkait dan masyarakat termasuk swasta (3) pemberdayaan perempuan, keluarga dan
pemberdayaan masyarakat, dan (4) meningkatkan survailance, monitoring-evaluasi
KIA dan pembiayaan.
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Kota Mataram selama tahun 2012
tercatat 261 yang mengalami Perdarahan Post Partum (HPP). Berdasarkan data
register rekapan persalinan dari Puskesmas Tanjung Karang terhitung dari tahun
2012, terdapat jumlah persalinan sebanyak 1.335 persalinan. Sedangkan yang
disertai perdarahan setelah melahirkan terdapat 50 orang (Anonim, 2012).
Melihat masih tingginya angka kematian ibu akibat
perdarahan peneliti tertarik untuk meneliti Karakteristik ibu dan Penyebab Kejadian Perdarahan
Post Partum Di Puskesmas Tanjung Karang Kota Mataram NTB Tahun 2012”.
1.2
Rumusan
Masalah
Bagaimanakah Karakteristik ibu dan Penyebab terjadinya Perdarahan Post
Partum Di Puskesmas Tanjung Karang Kota Mataram NTB Tahun 2012?”.
1.3
Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui landasan teori serta konsep asuhan keperawatan dari perdarahan
post partum.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.
Agar mahasiswa mampu mengetahui tentang definisi
dari perdarahan post partum.
2.
Agar mahasiswa mampu mengetahui etiologi dari
perdarahan post partum.
3.
Agar mahasiswa mampu memahami serta mampu
menguraikan patofiologi dari perdarahan post partum.
4.
Agar mahasiswa mampu memahami tentang factor
predisposisi dari perdarahan post partum.
5.
Agar mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis
dari perdarahan post partum.
6.
Agar mahasiswa mampu mengetahui serta memahami
penatalaksanaan dari perdarahan post partum.
7.
Agar mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada
pasien dengan paerdarahan post partum.
8.
Agar mahasiswa mampu merumuskan diagnose serta
membuat rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan peradarahan post
partum.
9.
Agar mahasiswa mampu mengevaluasi pada pasien
dengan perdarahan post partum.
1.4
Manfaat
Penelitian
1.4.1
Bagi Institusi Pendidikan
Makalah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat khususnya dalam memperbanyak referensi tentang penyebab
perdarahan post partum sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya.
1.4.2
Bagi Masyarakat
Memberikan pengetahuan atau gambaran pada masyarakat khususnya tentang
perdarahan post partum terutama faktor penyebab terjadinya perdarahan post
partum dalam 24 jam pertama setelah melahirkan.
1.4.3
Bagi Penulis
Penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dan wawasan dalam
penelitian serta sebagai bahan untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan
selama kuliah.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perdarahan Post Partum
2.1.1. Pengertian Perdarahan Post Partum
Definisi perdarahan
post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada
praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada
umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah
menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung,
berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi >
100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan (Prawirohardjo, 2011).
Perdarahan postpartum
sering didefenisikan secara berturut-turut sebagai kehilangan darah berlebihan dari traktus
genetalia dalam 24 jam setelah persalinan, sebanyak 500 ml atau lebih, atau
sebanyak apapun yang mengganggu kesejahtraan ibu (Widiarti, 2007).
Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah
perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai
perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda
vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin,
menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik <90 mmHg, denyut nadi> 100
x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.
2.1.2. Jenis-Jenis Perdarahan Postpartum
Menurut pendapat (Varney, 2008).
Perdarahan post partum dibagi menjadi 2:
1.
Perdarahan Post Partum Dini/Perdarahan Post
Partum Primer (Early Postpartum Hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama setelah kala III. Penyebab utama perdarahan post partum primer adalah
atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir.
Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2.
Perdarahan pada Masa Nifas I Perdarahan Post
Partum Sekunder (Late Postpartum Hemorrhage)
Perdarahan post partum sekunder ialah perdarahan yang terjadi setelah
anak lahir biasanya hari ke 5-15 post partum. Penyebab utamanya robekan jalan
lahir dan sisa plasenta.
2.1.3. Klasifikasi perdarahan post partum
1.
Perdarahan paska
persalinan dini/ early HPP/ primary HPP adalah perdarahan berlebihan ( 600 ml
atau lebih ) dari saluran genitalia yang
terjadi dalam 12 - 24 jam pertama setelah melahirkan.
2.
Perdarahan paska persalinan lambat / late HPP/
secondary HPP adalah perdarahan yang terjadi antara hari kedua sampai enam
minggu paska persalinan.
2.1.4. Penyebab Perdarahan Post Partum
1. Atonia Uteri
a.
Definisi
Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Prawirohardjo, 2011).
b.
Tanda dan Gejala
1)
Perdarahan pervaginam
2)
Konsistensi lunak
3)
Fundus uteri tinggi
4)
Terdapat tanda-tanda syok.
c.
Etiologi
1)
Umur terlalu muda 25 tahun atau tim 35 tahun
2)
Paritas
3)
Partus lama yang menyebabkan inersia uteri
karena kelelahan pada otot-otot uterus
4)
Uterus terlalu regang dan besar, pada kondisi
ini miometrium teregang dengan hebat sehingga kontraksi setelah kelahiran bayi
tidak menjadi efisien.
5)
Kandung kemih yang penuh menghalangi kontraksi
uterus.
6)
Solusio placenta, bila terjadi solusio maka
darah di dalam rongga uterus dapat meresap diantara serat-serat otot uterus dan
mengakibatkan kontraksi uterus menjadi tidak efektif.
7)
Penatalaksanaan yang salah pada kala tiga
8)
Placenta yang baru lepas sebagian, maka akan
terjadi robekan pada sinus-sinus maternalis dan plasenta yang masih melekat
menghambat kontraksi dan relaksasi dan otot-otot uterus.
9)
Persalinan yang terlalu cepat, bila uterus sudah
berkontraksi terlalu kuat dan terus menerus maka uterus akan kekurangan
kemampuannya untuk berkontraksi (Saifudin, 2005).
d.
Penatalaksanaanya
1)
Pencegahan:
a)
Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III
pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan
pascapersalinan akibat atonia uteri
b)
Pemberian misoprostol peroral 2 – 3 tablet (800
– 1.000 mg)
segera setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2011).
2)
Penanganan:
a)
Rangsangan taktil (pemijatan). Fundus uteri
segera setelah lahirnya plasenta (maksimal 15 menit).
Pantau apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya ®
evaluasi rutin. Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung,
periksa apakah perineum, vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau
rujuk segera.
Jika ®
tidak lanjutkan langkah berikutnya.
a)
Bersihkanlah bekuan darah dan/atau selaput
ketuban dari vagina dan lubang serviks.
b)
Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.
Jika penuh atau dapat dipalpasi, kateterisasi kandung kemih menggunakan
teknik aseptik. Lakukan kompresi
bimanual internal (KB1) selama 5 menit dengan cara:
(1)
Cuci tangan dengan sabun dan air bersih, lalu
keringkan dengan handuk bersih.
(2)
Gunakan sarung tangan yang steril DTT.
(3)
Letakkan tangan kiri seperti di atas (menekan
fundus uteri dan luar)
(4)
Masukkan tangan kanan dengan hati-hati ke dalam
vagina dan buat kepalan tinju.
(5)
Kedua tangan didekatkan dan secara bersama-sama
menekan uterus.
(6)
Lakukan tindakan ini sampai diperoleh pertolongan
lebih lanjut, bila diperlukan.
Prinsipnya
adalah menekan uterus dengan cara manual agar terjadi hemostasis.
Pantau kembali
apakah uterus herkoitr
JikaYa ®
a)
Teruskan KB 1 selama 2 menit
b)
Keluarkan tangan perlahan - lahan.
c)
Pantau kala empat dengan ketat.
Jika Tidak ®
lanjutkan langkah berikutnya
1)
Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi
bimanual eksternal dengan cara:
a)
Letakkan satu tangan pada abdomen di depan
uterus, tepat di atas symphisis pubis.
b)
Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen
(dibelakang korpus uteri), usahakan memegang bagian belakang uterus seluas
mungkin).
c)
Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan
untuk melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan
uterus di antara kedua tangan tersebut. Ini akan membantu uterus berkontraksi
dan menekan pembuluh darah.
2)
Keluarkan tangan perlahan - lahan.
3)
Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan
jika hipertensi).
4)
Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18
dan berikan 500 ini Ringer Laktat +20 unit oksitosin. Habiskan 500 ini pertama
secepat mungkin.
5)
Ulangi KB 1.
Pantau kembali
apakah uterus berkontraksi?
Jika Ya ®
pantau ibu dengan seksama selama kala empat persalinan.
Jika Tidak ®
lanjutkan langkah berikutnya
a)
Rujuk segera
b)
Dampingi ibu ke tempat rujukan.
Lanjutkan infus Ringer Laktat + 20 unit oksitosin
dalam 500 ini larutan dengan laju 500 mI/jam hingga tiba di tempat rujukan atau
hingga menghabiskan 1,5 1 infus. Kemudian berikan 125 mI/jam. Jika tidak
tersedia cairan yang cukup, berikan 500 ini kedua dengan perlahan dan berikan
minuman untuk rehidrasi (Prawirohardjo, 2007).
2. Robekan Jalan Lahir
a.
Definisi
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat
episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau
karena versi ekstraksi (Prawirohardio, 2011).
b.
Tanda/Gejala
Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir
segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan plasenta baik
(Wiknjosatro, 2006)
c.
Etiologi
1)
Episiotomi yang terlalu lebar
2)
Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan
dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang
tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah
berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan servik uteri.
3)
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan
luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan
biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam,
terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding
lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum.
4)
Robekan perineum terjadi pada hampir semua
persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala
janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada
sirkum ferensia suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya
dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai
kontraksi uterus yang kuat (Prawirohardjo, 2007).
d.
Penatalaksanaan
1)
Pencegahan
a)
Lakukan episotomi
b)
Pemijitan perineum (perineum masage)
c)
Posisi meneran yang benar.
2)
Penanganan
a)
Periksalah dengan seksama keadaan jalan lahir,
dan periksa robekan pada serviks, vagina dan perineum.
b)
Tentukan tingkatan robekan jalan lahir yaitu:
(1)
Robekan tingkat 1 yang mengenai mukosa vagina
dan jaringan ikat, robekan ini dapat sembuh sendiri tidak perlu di jahit.
(2)
Robekan tingkat II yang mengenai mukosa vagina
dan kulit perineum, lakukan heating dengan jahitan pada mukos vagina secara
jelujur menggunakan catgut chromic 2-0 selanjutnya dilakukan jahitan otot
perineum dan jahitan kulit.
(3)
Robekan tingkat III dan IV yang mengenai rectum
dan spingter ani, dilakukan jabitan pada spingter ani mengunakan catgut chromic
3-0 atau 4-0 secara interuptus dengan 0,5 cm antara jahitan (Prawirohardjo,
2007)
3. Retensio Placenta
a.
Definisi
Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30
menit setelah bayi lahir (Prawirohardjo, 2007).
b.
Tanda/Gejala
1)
Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir
setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus baik.
2)
Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat
putus akibat kontraksi berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan
lanjutan (Salemba, 2010).
c.
Etiologi
1)
Plasenta belum terlepas dan dinding rahim karena
melekat dan tumbuh dalam. Menurut tingkat perlekatannya:
2)
Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada
desidua endometrium lebih dalam.
3)
Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
4)
Plasenta akreta : vili khorialais tumbuh menembus miometrium
sampai ke serosa.
5)
Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa
atau peritoneum dinding rahim.
6)
Plasenta sudah terlepas dan dinding rahim namun
belum keluar karena atonia uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian
bawah rahim yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).
Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan
terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan terjadi
perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya (WHO, 2003).
d.
Penatalaksanaan
1)
Pencegahan:
Upaya pencegahan retensio plasenta yaitu dengan cara mempercepat proses
separasi dan kelahiran plasenta dengan cara memberikan uterotonika segera
setelah bayi lahir dan melakukan peregangan tali pusat terkendali. Upaya ini
juga disebut penatalaksanaan aktif kala III.
2)
Penanganan
a)
Jika placenta terlihat didalam vagina, mintalah
ibu untuk mengedan. jika anda dapat merasakan placenta dalam vagina, keluarkan
placenta tersebut.
b)
Pastikan kandung kemih kosong bila diperlukan
lakukan kateterisasi.
c)
Jika placenta belum keluar. Berikan oksitosin 10
U LM, jika belum dilakukan pada penanganan aktif kala tiga, jangan berikan
ergometrin karena dapat menyebabkan kontraksi uterus yang tonik yang bisa
memperlambat pengeluaran placenta.
d)
Jika placenta belum lahir setelah 30 menit
pemberian oksitosin dan uterus terasa berkontraksi, lakukan peregangan tali
pusat terkendali, hindari penarikan tali pusat dan penekanan nindus yang yang
terlalu kuat karena dapat menyebabkan inversi uterus.
e)
Jika traksi tali pusat terkendali belum
berhasil, cobaiah untuk melakukan pengeluaran placenta secara manual dengan
cara mengeluarkan plasenta secara manual yang merupakan tindakan darurat untuk
mengatasi perdarahan pasca persaiinan cian mencegah kematian ibu. Waktu sangat
menentukan, dan kebersihan mutlak perlu. Cuci tangan sebelum memulai tindakan.
f)
Peralatan yang diperlukan adalah:
(1)
Alat dan bahan untuk pemberian cairan intravena
(2)
Kateter
(3)
Analgesia atau anastesia
(4)
Kocher
(5)
Sarung tangan steril
(6)
Desinfektan
(7)
Partus set
g)
Prosedur yang diiakukan adaiah:
(1)
Berikan analgesia secara intramuskuler (misalnya
pethidin 25 mg) dan sedatif (misalnya diazepam 10 mg i.m, fenobarbital 30 mg
atau fènergan 50 mg melaiui karet infus) untuk menenangkan ibu. Jika obat
tersebut tidak tersedia, langsung lakukan pengeluaran plasenta secara manual.
Ibu mungkin tidak tenang dan tidak nyaman, tetapi tindakan ini dilakukan untuk
menyelamatkan nyawanya.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah
lahir.
(2)
Pasang infus 5% Dextrose dalam cairan NaC1 0,9 %
atau cairan infus apapun yang tersedia. Cairan infus kan menggantikan sebagian
cairan yang hilang akibat perdarahan. Hal ini dapat mencegah syok.
Catatan : ibu sudah datang dalam keadaan perdarahan dan janin telah
lahir.
(3)
Beritahu ibu tentang apa yang akan dilakukan.
Baringkan ibu terlentang dengan kedua lututnya ditekuk. Jika ia tidak dapat
buang air kecil sendiri, pasang kateter dengan benar dan kosongkan kandung
kencingnya. Kandung kencing yang penuh dapat menahan lahirnya plasenta. Cabut
kateter setelah kandung kemih dikosongkan. Jika plasenta terlihat dalam vagina,
mintalah ibu untuk mengedan sedikit. Jika plasenta belum keluar dalam 15 menit,
berikan oksitosin 10 unit I.M sekali lagi. Dan minta suami untuk memilin-milin
putting susu ibu dan meminta keluarga menyiapkan surat rujukan.
(4)
Lakukan masase uterus agar berkontraksi. Jepit
tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat sejajar lantai. Jika
plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit cobalah untuk melakukan pengeluaran
plasenta secara manual.
(5)
Cuci tangan dengan 6 langkah. Kenakan sarung
tangan steril, waktu sangat menentukan, lanjutkan prosedur.
(6)
Bersihkan vulva dan perineum dengan cairan
antiseptic kemudian jari tangan kiri membuka labia minora.
(7)
Kemudian masukkan tangan dengan posisi obstetrik
(ibu ditekuk ke dalam telapak tangan dengan punggung tangan ke bawah) ke dalam
vagina. Telusuri tali pusat bagian bawah sampai ke plasenta. Jika tangan sudah,
dimasukkan ke dalam uterus, jangan mengeluarkannya sampai plasenta berhasil
dilepaskan dan dikeluarkan. Tangan tidak boleh keluar masuk dan uterus, karena
hal ini dapat memperbesar resiko infeksi.
(8)
Setelah tangan mencapai pembukaan serviks, minta
asisten untuk memegang kocher, kemudian tangan lain penolong menahan fundus
uteri. Hal ini akan mencegah uterus bergerak dan membantu kontraksi uterus.
(9)
Sambil menahan rundus uteri, masukkan tangan
dalam ke kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.
Melepas Plasenta
Dari Dinding Uterus
a)
Buka tangan obstetric menjadi seperti memberi
salam (ibu jari merapat ke pangkai jari telunjuk. Jaringan terasa seperti spons
(bahan busa) yang terlepas ketika plasenta terpisah dan uterus. Tentukan
implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
b)
Bila berada di belakang, tali pusat tetap di
sebelah atas. Bila di bagian depan, pindahkan tangan ke bagian depan tali pusat
dengan punggung tangan menghadap ke atas.
c)
Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan
plasenta dari tempat implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari di
antara plasenta dan dinding uterus, dengan punggung tangan menghadap ke dinding
dalam uterus.
d)
Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang
sama (punggung tangan pada dinding kavurn uteri) tetapi tali pusat berada di
bawah telapak tangan kanan.
e)
Kemudian gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan
sambil bergeser ke kranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat
dilepaskan.
Catatan: Sambil melakukan tindakan, perhatikan keadaan ibu (pasien),
lakukan penanganan yang sesuai bila terjadi penyulit.
Mengeluarkan
Plasenta
a)
Sementara satu tangan masih di dalam kavum
uteri, lakukan eksplorasi ulangan untuk memastikan tidak ada bagian plasenta
yang masih melekat pada dinding uterus.
b)
Pindahkan tangan luar ke supra sinifisis untuk
menahan uterus pada saat plasenta dikeluarkan.
c)
Instruksikan asisten yang memegang kocher untuk
menarik tali pusat sambil tangan dalam menarik plasenta keluar (hindari
percikan darah).
d)
Keluarkan plasenta dengan hati-hati pada saat
uterus berkontraksi. Jangan hanya menarik sebagian plasenta karena plasenta
dapat robek. Selaput ditarik keluar secara perlahan dan hati-hati, dengan cara
yang sama seperti mengeluarkan plasenta. Ingat, selaput sekecil apapun yang
tertinggal di dalam uterus dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan
dan/atau inteksi.
e)
Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah
disediakan.
f)
Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan
tangan luar) ke dorsokranial setelah plasenta lahir.
g)
Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah
perdarahan yang keluar tidak lebih dari 500 cc
h)
Dekontaminasi pasca tindakan, cuci tangan pasca
tindakan.
Perawatan
Pascatindakan
a)
Periksa kembali tanda vital pasien, segera
lakukan tindakan dan instruksi apabila masih diperlukan.
b)
Catat kondisi pasiendan buat laporan tindakan di
dalam kolom yang tersedia.
c)
Buat instruksi pengobatan lanjutan dan hal-hal
penting untuk dipantau.
d)
Beritahukan kepada pasien dan keluarganya bahwa
tindakan telah selesai tetapi pasien masih memerlukan perawatan.
e)
Jelaskan pada petugas tentang perawatan apa yang
masih diperlukan, lama perawatan dan apa yang perlu dilaporkan (Anggraini,
2010).
4. Rest Placenta
a.
Definisi
Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung
pembuluh darah (Prawirohardio, 2011).
b.
Tanda dan gejala
1)
Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau
sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan
segera
2)
Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus
berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang (WHO, 2003).
c.
Etiologi
1)
Kesalahan penatalaksanaan kala tiga
2)
Potongan-potongan placenta yang ketinggalan
tanpa diketahui
3)
Jaringan yang melekat dengan kuat
d.
Penatalaksanaan
1)
Pencegahan
Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan
perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien-pasien akan kembali
lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah 6-10 hari pulang ke
rumah dan sub-involusi uterus.
2)
Penanganan
a)
Berikan antibiotika karena perdarahan juga
merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dengan
dosis awal 1 G intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan
metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral.
b)
Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan
eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi
sisa plasenta dengan AVM atau D&K.
c)
Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah.
Bila kadar HB ³
8 gr %, berikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
5. Robekan Servik
a.
Konsep Dasar
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang
multipara berbeda dengan yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan
serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah
uterus. Apabila terjadi rahan yang tidak berhenti walaupun plasenta sudah lahir
lengkap dan uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan adanya perlukan jalan
lahir khususnya robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus
diperiksa dengan spekulum. Pemeriksaan juga harus dilakukan secara rutin
setelah tindakan obstetrik yang sulit (Sumarah, 2009).
Perdarahan pasca persalinan pada uterus yang berkontraksi baik harus
memaksa kita untuk memeriks aserviks uteri dengan pemeriksaan spekulum sebagai
profilaksis sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk
pemeriksaan spekulum (obstetric patologi Unpad, edisi 2, 2005).
b.
Diagnosa
Jika perdarahan post partum pada uterus yang berkontraksi baik harus
idlakukan pemeriksaan serviks secara inspekulo. Sebagai profilaksis sebaiknya
semua pesalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk pemeriksaan inspekulo.
c.
Etiologi
Etiologi robekan serviks yaitu : partus presipitatus, trauma karena
pemakaian alat seperti cunam, vakum ekstraktor, melahirkan kepala janin dengan
letak sungsang secara paksa padahal pembukaan serviks uteri belum lengkap,
partus lama dimana telah terjadi serviks edem sehingga jaringan serviks sudha
menjadi rapuh dan mudah robek.
d.
Pencegahan
Tindakan : siapkan pasiend alam posisi lithotomic, bila penderita tidak
dapat berkemih, lakukan kateterisasi; cabut kateter setelah kandung kemih
dikosongkan; masukkan kateter di tempat yang tersedia (dekontaminasi); pasang
bilah spekulum bawah secara vertikal, kemudian putar gagang speculum ke bawah;
pasang speculum atas, atur sedemikian rupa sehingga dinding vagina dan porsio
tampak dengan jelas.
e.
Penanganan
1)
Ambil kedua klem yang menandai tempat robekan
2)
Perbaiki posisi klem kiri dan kanan (di antara tempat
robekan) dengan memindahkan masing-masing klem ke lateral kiri dan kanan
(dengan jarak 2,5 cm dari tepi robekan kiri dan kanan).
3)
Upayakan agar cakupan jepitan klem dapat mencapai garis yang malaluyi titik paling
ujung dari robekan.
4)
Bila pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri yang
disebabkan oleh penjepitan atau pasien tidak kooperatif (gelisah), instruksikan
asisten untuk menyuntikkan sedatif dan analgetika
5)
Bila ujung robekan dapat dicapai, teruskan jarum
dimulai dari 1 cm di atas luka, ikat dengan
jahitan angka delapan.
6)
Operator
sebagai patokan arah: mulai penjahitan dari bagian paling distal terhadap
operator, tusukkan jarum pada bagian luar karena porsio tembuskan ke dalam dan
silangkan ke dalam kiri, tembuskan ke kiri luar distal, menyeberangi garis
robekan ke luar kanan distal menembus dalam kanan distal, silangkah ke kiri
dalam proksimal kemudian menembus ke kiri luar proksimal, buat simpul kunci dan
jepit sisa benar sebagai panduan jahitan berikut : lanjutkan penjahitan dengan
cara yang sama hingga ke ujung luar robekan hingga seluruh robekan porsio
terjahit dengan baik dan perdarahan dapat diatasi.
f.
Perawatan pasca tindakan
1)
Periksa kembali tanda vital pasien, segera
lakukan tindakan dan buat instruksi, apabila diperlukan
2)
Catat kondisi pasien pasca tindakan dan buat
laporan tindakan di dalam kolom yang tersedia pada status penderita
3)
Buat instruksi pengobatan lanjutan,
pemantauankondisi pasien dan kondisi yang harus segera dilaporkan.
6. Robekan Uteri (Ruptur Uteri)
a.
Konsep Dasar
Faktor predisposisi yang
menyebabkan ruptur uteri yaitu multiparitas hal ini disebabkan karena dinding
perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam posisi antefleksi sehingga
terjadi kelainan letak dan posisi janin, janin sering lebih besar, sehingga
dapat menimbulkan CPD, pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan yang tidak
tepat, kelainan letak dan implantasi plasenta umpamnya pada plasenta akreta,
plasenta inkreta atau perkreta, kelainan bentuk uterus, hidramnion.
b.
Jenis
Jenis ruptur
uteri yaitu meliputi:
1)
Ruptur uteri spontan ; terjadi pada keadaan
dimana terdapat rintangan pada waktu persalinan yaitu pada kelainanletak dan
persentasi janin, panggul sempit, kelainan panggul, tumor jalan lahir.
2)
Ruptur uteri traumatik; terjadi karena ada
dorongan pada uterus misalnya fundus akibat melahirkan anak pervaginam seperti
ekstraksi, p enggunaan cunam, manual plasenta.
3)
Ruptur uteri jaringan parut; terjadi karena
bekas operasi sebelumnya pada uterus seperti bekas SC.
4)
Pembagian jenis menurut anatomik: ruptur uteri
komplit : dimana dinding uterus robek, lapisan serosa (peritoneum) robek
sehinga janind apat berada dalam rongga perut dan ruptur uteri inkomplit:
dinding uterus robek sedangkan lapisan serosa tetap utuh.
c.
Gejala
His kuat dan
terus-menerus, rasa nyeri perut yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu
ditekan, gelisah atau ketakutan, nadi dan pernafasan cepat, cincin cvan Bandl
meninggi. Setelah terjadi ruptur uteri dijumpai gejala syok (akral dan
ekstremitas dingin, nadi melemah, kadang hilang kesadaran), perdarahan (bisa keluar
dari vagina atau dalam rongga perut), pucat, nadi cepat dan halus, pernafasan
cepat dan dangkal, tekanan darah turun. Pada palpasi sering bagian bawah janin
teraba langsung dibawah dinding perut, ada nyeri tekan, dan dibagianbawah
teraba uterus kira-kira sebesar kepala bayi. Umumnya janin sudah meninggal.
d.
Penanganan
Penanganan pad aruptur uteri yaitu :
1)
Melakukan laparotomi. Sebelumnya penderita
diberi transfuse darah sekurang-kurangnya infus RL untuk mencegah syok
hipovolemik.
2)
Umumnya histerektomi dilakukan setelah janin
yang berada di dalam rognga perut dikeluarkan, penjahitan luka robekan hanya
dilakukan pada kasus-kasus khusus, dimana pinggir robekan masih segera dan rata
serta tidak terlihat adanya tanda-tanda infeksi dan tidak terdapat jaringan yang
rapuh dan nekrosis.
7. Inversio Uteri
a.
Definis
Suatu keadaan dimana fundus uteri mausk ke dalam kavum uteri, dapat
secara mendadak atau terjadi perlahan, selain dari pada itu pertolongan
pesalinan yang makin banyak dilakukan tenaga terlatih maka kejadian inversio
uteripun makin berkurang.
b.
Diagnosa untuk menentukan keadaan inversio uteri
Untuk menegakan diagnosa, maka periksa fundus dan hasilnya adalah fundus
uteri menghilang dari abdomen; pemeriksaan dalam; fundis uteri di dalam
lingkungan/ruangan rahim dapat dengan atau tanpa plasenta, disertai rahim.
c.
Penanganan (dilakukan oleh dokter)
1)
Jika ibu kesakitan, berikan petidin 1 mg/kg BB
(tetapi jangan lebihd ari 100 mg) I.M. atau I.V secara perlahan atau berikan
Morfin 0.1 mg/kg Bb I.M.
2)
Catatan jangan diberikan oksitosi sampai inversi
telah direposisi
3)
Jika perdarahan berlanjut, l akukan uji
pembekuan darah dengan cara sederhana
4)
Berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal
setelah mereposisi uterus misal : ampisilin 2g I.V ditambah metronidazol 500 mg
I.V. atau sefazolin 1 gr I.V ditambah metronidazol 500 mg I.V.
5)
Jika terdapat tanda-tanda infeksi berikan
antibiotik untuk metritis
6)
Jika dicurigai terjadi nekrosis, lakukan
histerektomi vaginal. Hal ini mungkin membutuhkan rujukan ke pusat pelayanan
kesehatan primer.
7)
Cara melakukan reposisi inversio uteri: pasang
infus, masukkan tangan ke vagina, fundus didorong ke atas berikan uterotonika,
lakukan plasenta manual.
8. Pembekuan Darah
a.
Definisi
Adalah kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya
bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah (Anggraini, 2010).
b.
Tanda dan gejala
1)
Perdarahan tidak berhenti setelah placenta
lahir, dan perdarahar terjadi secara terus menerus padahal tidak terdapat
robekan jalan lahir dan tidak ada sisa placenta, serta bekuan lunak darah cepat
pecah dengan mudah.
2)
Perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi
trombosis sampai keadaan klinis yang stabil dan hanya terdeteksi oleh tes
laboratorium (Prawirohardjo, 2007).
c.
Etiologi
Sering disebabkan oleh:
1)
Solusio placenta
2)
Kematian janin dalam uterus
3)
Eklampsia
4)
Emboli air ketuban
5)
Penyakit darah
6)
Kelainan pembekuan darah
7)
Afibrinogenemia/hipofibrinogenemia
(Prawirohardjo, 2007)
d.
Penatalaksanaan
1)
Pencegahan
a)
Perbaiki keadaan umum ibu jangan sampai anemia.
b)
Pemberian vitamin K.
2)
Penanganan
a)
Bila dicurigai adanya koagulapati maka tangani
kemungkinan penyebab kegagalan pembekuan ini.
b)
Gunakan produk darah untuk mengontrol
perdarahan:
(1)
Berikan darah lengkap segar, jika tersedia untuk
menggantikan faktor pembekuan dan sel darah merah.
(2)
Jika darah lengkap segar tidak tersedia,
sediakan Plasma beku segar untuk menggantikan faktor pembekuan (15 ml/kg BB)
atau sel darah merah packed (yang tersedimentasi) untuk penggantian sel darah
merah. Kriopresipitat untuk menggantikan fibrinogen dan konsentrasi trombosit (jika
perdarahan berlanjut dan trombosit dibawah 20.000) (Prawirohardjo, 2007).
9. Manual Plasenta
a. Pengertian
Manual plasenta adalah prosedur pelepasan plasenta dari
tempat implantasinya pada dinding uterus dan mengeluarkannya dari kavum uteri
secara manual yaitu dengan melakukan tindakan invasi dan manipulasi tangan
penolong persalinan yang dimasukkan langsung kedalam kavum uteri. Pada umumnya
ditunggu sampai 30 menit dalam lahirnya plasenta secara spontan atau dengan
tekanan ringan pada fundus uteri yang berkontraksi. Bila setelah 30 mnenit
plasenta belum lepas sehingga belum dapat dilahirkan atau jika dalam waktu
menunggu terjadi perdarahan yang banyak, pasenta sebaiknya dikeluarkan dengan
segera.
Manual plasenta merupakan tindakan operasi kebidanan
untuk melahirkan retensio plasenta. Teknik operasi plasenta manual
tidaklah sukar, tetapi harus diperkirakan bagaimana persiapkan agar tindakan
tersebut dapat menyelamatkan jiwa penderita.
b. Etiologi
Indikasi pelepasan plasenta secara manual adalah pada
keadaan perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc yang tidak
dapat dihentikan dengan uterotonika dan masase, retensio plasenta setelah 30
menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi,
versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan lahir dan
tali pusat putus.
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hampir
sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oeh gangguan kontraksi
uterus.
Manual plasenta dilakukan karena indikasi retensio plasenta
yang berkaitan dengan :
1) Plasenta
belum lepas dari dinding uterus dikarenakan:
a) Plasenta
adhesive yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta
b) Plasenta
akreta yaitu implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miometrium
c) Plasenta
inkreta, yaitu implantasi jonjot korion placenta hingga mencapai/memasuki
miometrium
d) Plasenta
perkreta, yaitu implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot
hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.
e) Plasenta
inkarserata, yaitu tertahannya plasenta didalam kavum uteri yang disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri.
2) Plasenta
sudah lepas, akan tetapi belum dilahirkan dan dapat terjadi perdarahan yang
merupakan indikasi untuk mengeluarkannya
3) Mengganggu
kontraksi otot rahim dan menimbulkan perdarahan.
4) Retensio
plasenta tanpa perdarahan dapat diperkirakan
a) Darah
penderita terlalu banyak hilang,
b) Keseimbangan
baru berbentuk bekuan darah, sehingga perdarahan tidak terjadi,
c) Kemungkinan
implantasi plasenta terlalu dalam.
c. Patofisiologi
Manual plasenta dapat segera dilakukan apabila :
1) Terdapat
riwayat perdarahan postpartum berulang.
2) Terjadi
perdarahan postpartum melebihi 400 cc
3) Pada
pertolongan persalinan dengan narkosa.
4) Plasenta
belum lahir setelah menunggu selama setengah jam.
Manual plasenta dalam keadaan darurat dengan indikasi
perdarahan di atas 400 cc dan teriadi retensio plasenta (setelah menunggu ½
jam). Seandainya masih terdapat kesempatan penderita retensio plasenta dapat
dikirim ke puskesmas atau rumah sakit sehingga mendapat pertolongan yang
adekuat.
Dalam melakukan rujukan penderita dilakukan persiapan dengan
memasang infuse dan memberikan cairan dan dalam persalinan diikuti oleh tenaga
yang dapat memberikan pertolongan darurat.
d. Tanda
dan Gejala Manual Plasenta
1) Anamnesis,
meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai
episode perdarahan postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multipel fetus
dan polihidramnion. Serta riwayat pospartum sekarang dimana plasenta tidak
lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan.
2) Pada
pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis
tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.
3) Perdarahan
yang lama > 400 cc setelah bayi lahir.
4) Placenta
tidak segera lahir > 30 menit.
2.1.5.
Faktor
Predisposisi
Beberapa
kondisi selama hamil dan bersalin dapat merupakan faktor predisposisi
terjadinya perdarahan paska persalinan, keadaan tersebut ditambah lagi dengan
tidak maksimalnya kondisi kesehatannya dan nutrisi ibu selama hamil. Oleh
karena itu faktor-faktor haruslah diketahui sejak awal dan diantisipasi pada
waktu persalinan :
1.
Trauma persalinan
Setiap
tindakan yang akan dilakukan selama proses persalianan harus diikuti dengan
pemeriksaan jalan lahir agar diketahui adanya robekan pada jalan lahir dan
segera dilakukan penjahitan dengan benar.
2.
Atonia Uterus
Pada
kasus yang diduga berisiko tinggi terjadinya atonia uteri harus diantisipasi
dengan pemasangan infus. Demikian juga harus disiapkan
obat uterotonika serta pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.
obat uterotonika serta pertolongan persalinan kala III dengan baik dan benar.
3.
Jumlah darah sedikit
Keadaan
ini perlu dipertimbangkan pada kasus keadaan itu jelek, hipertensi saat hamil,
pre eklampsia dan eklamsi.
4.
Kelainan pembekuan darah
Meskipun
jarang tetapi bila terjadi sering berakibat fatal, sehingga perlu diantisipasi
dengan hati-hati dan seksama.
2.1.6.
Patofisiologi
Pada
dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka.
Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga
sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada
waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup,
kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan
terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat
penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan
demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan
yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium.
2.1.7.
Manifestasi Klinis
Untuk
memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan paska persalinan sehingga
pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala dan tanda
|
Penyulit
|
Diagnosa penyebab
|
·
Uterus tidak berkontraksi dan lembek
·
Perdarahan segera setelah bayi lahir
|
·
Syok
·
Bekuan darah pada serviks atau pada posisi
terlentang akan menghambat aliran darah keluar
|
·
Atonia uteri
|
·
Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
·
Uterus berkontraksi dan keras
·
Plasenta lengkap
|
·
Pucat
·
Lemah
·
Mengigil
|
·
Robekan jalan lahir
|
·
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
·
Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan
keras
|
·
Tali pusat putus
·
Inversio uteri
·
Perdarahan lanjutan
|
·
Retensio plasenta
|
·
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
·
Perdarahan segera
|
·
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri
tidak berkurang
|
·
Tertinggalnya sebagian plasenta
|
·
Uterus tidak teraba
·
Lumen vagina terisi massa
|
·
Neurogenik syok, pucat dan limbung
|
·
Inversio uteri
|
2.1.8.
Penatalaksanaan
1.
Penatalaksanaan umum
a.
Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b.
Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih
dan aman
c.
Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d.
Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan
apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
e.
Atasi syok jika terjadi syok
f.
Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan
darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml
dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g.
Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi
kemungkinan robekan jalan lahir
h.
Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan
darah.
i.
Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j.
Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska
persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
2.
Penatalaksanaan khusus
a.
Atonia uteri
v
Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
v
Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian
uterotonika, lakukan pengurutan
uterus
v
Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada
laserasi jalan lahir
v
Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
v
Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus
melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak
tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan,
pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke
fasilitas kesehata rujukan.
v
Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan
diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina
untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
v
Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri
femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam
tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu
badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan
menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
b.
Retensio plasenta dengan separasi parsial
v
Tentukan jenis retensio yang terjadi karena
berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
v
Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk
mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
v
Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL
dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per
rektal.
v
Bila traksi terkontrol gagal melahirkan
plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
v
Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
v
Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
v
Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr
IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).
c.
Plasenta inkaserata
v
Tentukan diagnosis kerja
v
Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan
kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk
menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20
Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin
timbul.
v
Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan
manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.
v
Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan
sebagian plasenta tampak jelas.
v
Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan
8 dan lepaskan spekulum
v
Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat
dan plasenta tampak jelas.
v
Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan
plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten
untuk memegang klem tersebut.
v
Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra
lateral
v
Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil
diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
d.
Ruptur uteri
v
Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc
dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
v
Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan
plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah
sakit rujukan
v
Bila konservasi uterus masih diperlukan dan
kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus
v
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan
kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
v
Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari
cavum abdomen
v
Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada
tanda-tanda infeksi.
e.
Sisa plasenta
v
Penemuan secara dini, dengan memeriksa
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
v
Berika antibiotika karena kemungkinan ada
endometriosis
v
Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka
dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui
oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
v
Hb 8 gr%
berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.
f.
Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
v
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi
laserasi dan sumber perdarahan
v
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi
larutan antiseptik
v
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan
kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
v
Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling
distal
v
Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
v
Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang
busi rektum hingga ujung robekan
v
Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan
jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 (
deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan
jahit dengan benang no 2/0.
v
Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum
dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
v
Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara
sub mukosa dan sub kutikuler
v
Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor
berikan antibiotika untuk terapi.
g.
Robekan serviks
v
Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks
yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh
kepala bayi.
v
Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir
lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral
bawah kiri dan kanan porsio
v
Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang
robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi
lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
v
Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan
v
Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila
jelas ditemui tanda-tanda infeksi
v
Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi
dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah
2.2.Konsep asuhan keperawatan HPP
2.2.1.
Pengkajian
Identitas klien : Sering terjadi pada
ibu usia dibawah 20 tahun dan diatas 35
tahun
2.2.2.
Riwayat Kesehatan
1.
Keluhan utama
keluhan
utama yang sering didapatkan dari klien dengan perdarahan post partum adalah
perdarahan dari jalan lahir, badan lemah, limbung, keluar keringat dingin,
kesulitan nafas, pusing, pandangan berkunang-kunang.
2.
Riwayat kehamilan dan persalinan
Riwayat hipertensi dalam kehamilan,
preeklamsi / eklamsia, bayi besar, gamelli, hidroamnion, grandmulti gravida,
primimuda, anemia, perdarahan saat hamil. Persalinan dengan tindakan, robekan
jalan lahir, partus precipitatus, partus lama/kasep, chorioamnionitis, induksi
persalinan, manipulasi kala II dan III.
3.
Riwayat kesehatan :
Kelainan darah dan hipertensi
4.
Pengkajian fisik :
v Tanda
vital :
·
Tekanan darah : Normal/turun ( kurang dari
90-100 mmHg)
·
Nadi : Normal/meningkat ( 100-120 x/menit)
·
Pernafasan
: Normal/ meningkat ( 28-34x/menit )
·
Suhu : Normal/ meningkat
·
Kesadaran
: Normal / turun
v Fundus
uteri/abdomen : lembek/keras, subinvolusi
v Kulit
: Dingin, berkeringat, kering, hangat, pucat, capilary refil memanjang
v Pervaginam
: Keluar darah, robekan, lochea ( jumlah dan jenis )
v Kandung
kemih : distensi, produksi urin menurun/berkurang
B. Diagnosa Keperawatan
1.
Kekurangan volume cairan s/d perdarahan
pervaginam
2.
Gangguan perfusi jaringan s/d perdarahan
pervaginam
3.
Cemas/ketakutan s/d perubahan keadaan atau
ancaman kematian
4.
Resiko infeksi s/d perdarahan
5.
Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
C. Rencana tindakan keperawatan
1.
Kekurangan volume cairan s/d perdarahan
pervaginam
Goal :
Mencegah disfungsional bleeding dan memperbaiki volume cairan
Rencana
tindakan :
1.
Tidurkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi
sedangkan badannya tetap terlentang
R/
Dengan kaki lebih tinggi akan meningkatkan venous return dan memungkinkan darah
keotak dan organ lain.
2.
Monitor tanda vital
R/
Perubahan tanda vital terjadi bila perdarahan semakin hebat
3.
Monitor intake dan output setiap 5-10 menit
R/
Perubahan output merupakan tanda adanya gangguan fungsi ginjal
4.
Evaluasi kandung kencing
R/
Kandung kencing yang penuh menghalangi kontraksi uterus
5.
Lakukan masage uterus dengan satu tangan serta
tangan lainnya diletakan diatas simpisis.
R/
Massage uterus merangsang kontraksi uterus dan membantu pelepasan placenta,
satu tangan diatas simpisis mencegah terjadinya inversio uteri
6.
Batasi pemeriksaan vagina dan rektum
R/ Trauma
yang terjadi pada daerah vagina serta rektum meningkatkan terjadinya perdarahan
yang lebih hebat, bila terjadi laserasi pada serviks / perineum atau terdapat
hematom
Bila tekanan darah semakin turun, denyut
nadi makin lemah, kecil dan cepat, pasien merasa mengantuk, perdarahan semakin
hebat, segera kolaborasi.
7.
Berikan infus atau cairan intravena
R/
Cairan intravena mencegah terjadinya shock
8.
Berikan uterotonika ( bila perdarahan karena
atonia uteri )
R/
Uterotonika merangsang kontraksi uterus dan mengontrol perdarahan
9.
Berikan antibiotik
R/
Antibiotik mencegah infeksi yang mungkin terjadi karena perdarahan pada
subinvolusio
10.
Berikan transfusi whole blood ( bila perlu )
R/
Whole blood membantu menormalkan volume cairan tubuh.
2.
Gangguan perfusi jaringan s/d perdarahan
pervaginam
Goal :
Tanda vital dan gas darah dalam batas normal
Rencana
keperawatan :
1.
Monitor tanda vital tiap 5-10 menit
R/
Perubahan perfusi jaringan menimbulkan perubahan pada tanda vital
2.
Catat perubahan warna kuku, mukosa bibir, gusi
dan lidah, suhu kulit
R/
Dengan vasokontriksi dan hubungan keorgan vital, sirkulasi di jaingan perifer
berkurang sehingga menimbulkan cyanosis dan suhu kulit yang dingin
3.
Kaji ada / tidak adanya produksi ASI
R/
Perfusi yang jelek menghambat produksi prolaktin dimana diperlukan dalam
produksi ASI
4.
Tindakan kolaborasi :
v Monitor
kadar gas darah dan PH ( perubahan kadar gas darah dan PH merupakan tanda
hipoksia jaringan )
v Berikan
terapi oksigen ( Oksigen diperlukan untuk memaksimalkan transportasi sirkulasi
jaringan ).
3.
Cemas/ketakutan berhubungan dengan perubahan
keadaan atau ancaman kematian
Goal : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya
dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Rencana tindakan :
1.
Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan
paska persalinan
R/
Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
2.
Kaji respon fisiologis klien ( takikardia,
takipnea, gemetar )
R/
Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
3.
Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta
sikap mendukung
R/
Memberikan dukungan emosi
4.
Berikan informasi tentang perawatan dan
pengobatan
R/
Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui
5.
Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
R/
Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
6.
Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
R/
Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.
4.
Potensial infeksi sehubungan dengan perdarahan
Goal : Tidak terjadi infeksi ( lokea tidak berbau dan TV
dalam batas normal )
Rencana tindakan :
1.
Catat perubahan tanda vital
R/
Perubahan tanda vital ( suhu ) merupakan indikasi terjadinya infeksi
2.
Catat adanya tanda lemas, kedinginan, anoreksia,
kontraksi uterus yang lembek, dan nyeri panggul
R/
Tanda-tanda tersebut merupakan indikasi terjadinya bakterimia, shock yang tidak
terdeteksi
3.
Monitor involusi uterus dan pengeluaran lochea
R/
Infeksi uterus menghambat involusi dan terjadi pengeluaran lokea yang
berkepanjangan
4.
Perhatikan kemungkinan infeksi di tempat lain,
misalnya infeksi saluran nafas, mastitis dan saluran kencing
R/
Infeksi di tempat lain memperburuk keadaan
5.
Tindakan kolaborasi
·
Berikan zat besi ( Anemi memperberat keadaan )
·
Beri antibiotika ( Pemberian antibiotika yang
tepat diperlukan untuk keadaan infeksi ).
5.
Resiko shock hipovolemik s/d perdarahan.
Goal :
Rencana
tindakan :
1.
R/
D. Evaluasi
Semua tindakan yang dilakukan diharapkan memberikan hasil :
·
Tanda vital dalam batas normal :
a.
Tekanan darah : 110/70-120/80
mmHg
b. Denyut nadi : 70-80 x/menit
c. Pernafasan : 20 – 24 x/menit
d.
Suhu : 36 – 37 oc
·
Kadar Hb : Lebih atau sama dengan
10 g/dl
·
Gas darah dalam batas normal
·
Klien dan keluarganya mengekspresikan bahwa dia
mengerti tentang komplikasi dan pengobatan yang dilakukan
·
Klien dan keluarganya menunjukkan kemampuannya
dalam mengungkapkan perasaan psikologis dan emosinya
·
Klien dapat melakukan aktifitasnya sehari-hari
·
Klien tidak merasa nyeri
·
Klien dapat mengungkapkan secara verbal perasaan
cemasnya
daftar Pustaka
Brunner & Suddart,s (1996), Textbook of Medical Surgical Nursing –2, JB.
Lippincot Company, Pholadelpia.
Klein. S (1997), A Book
Midwives; The Hesperien Foundation,
Berkeley, CA.
Lowdermilk. Perry. Bobak (1995), Maternity Nuring , Fifth Edition, Mosby Year Book, Philadelpia.
Prawirohardjo Sarwono ; EdiWiknjosastro H (1997), Ilmu Kandungan, Gramedia,
Jakarta.
RSUD Dr. Soetomo (2001), Perawatan Kegawat daruratan Pada Ibu
Hamil, FK. UNAIR, Surabaya
Subowo (1993), Imunologi Klinik, Angkasa, Bandung.
Tabrani Rab 9 1998), Agenda Gawat Darurat, Alumni, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar