Selasa, 02 Juli 2013

REPRODUKSI PERTIMBANGAN ETIK dan HUKUM dalam KEPERAWATAN MATERNITAS



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan maternitas dan perinatal sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan etik dan hukum  kepada perawat dibandingkan area asuhan keperawatan lain. Perawat maternitas dan perinatal memerikan pelayanan dan keperawatan yang luas untuk klien diberbagai lingkungan praktik yang berbeda. Perawat ini dihadapkan dengan isu seputar kelahiran, kehidupan, kematian dan kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari- hari. Hal yang penting dalam isu ini adalah keterlibatan dua klien, ibu dan janin atau bayi baru lahir.
Bab ini membicarakan tentang pertimbangan etik dan hukum dalam asuhan keperawatan maternitas dan perinatal. Sebagai dasar diskusi ini, tinjauan etik, hukum, akuntanbilitas keperawatan dijelaskan. Dijelaskan juga, informasi spesifik seputar isu etik dan hukum sebelum konsepsi, aborsi dan keperawatan janin, neonatus yang sakit dan ibu.
Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik.
Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien.
Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan.
Secara umum terdapat dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas.
Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas tentang etik dan hukum dalam keperawatan.
1.2  TUJUAN
1.2.1     Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pertimbangan etik dan hukum dalam keperawatan khususnya keperawatan maternitas.
1.2.2     Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
ü  Definisi etik,
ü  Definisi hukum,
ü  Hubungan antara etik dan hukum,
ü  Aspek hukum pada perawatan maternitas dan perinatal,
ü  Pertimbangan etik dan hokum sebelum konsepsi,
ü  Pertimbangan etik dan hokum dalam aborsi,
ü  Pertimbangan etik dan hokum untuk janin, neonatus dan ibu yang sakit.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  TINJAUAN ETIK DAN HUKUM
2.1.1     ETIK
A.    Definisi
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Sedangkan menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau profesi”
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
B.     Fungsi Etika
1)      Sarana untuk memperoleh orientasi kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
2)      Etika ingin menampilkanketrampilan intelektual yaituketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
3)      Orientasi etis ini diperlukan dalam mengabil sikapyang wajar dalam suasana pluralism
C.     Macam-Macam Etika
1)      ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika Deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2)      ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang mengajarkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Etika Normatif juga memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan dilakukan.
Secara umum etika dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1)      Etika Umum, mengajarkan tentang kondisi-kondisi & dasar-dasar bagaimana seharusnya manusia bertindak secara etis, bagaimana pula manusia bersikap etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat pula dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori etika.
2)      Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam kehidupannya dan kegiatan profesi khusus yang dilandasi dengan etika moral. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud  Bagaimana manusia bersikap atau melakukan tindakan dalam kehidupan terhadap sesama.  Etika Khusus dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
A.    Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
B.     Etika sosial, yaitu mengenai sikap dan kewajiban, serta pola perilaku manusia sebagai anggota bermasyarakat. Etika sosial meliputi banyak bidang, antara lain :
ü  Sikap terhadap sesama
ü  Etika keluarga
ü  Etika profesi misalnya etika untuk pustakawan, arsiparis,dokumentalis, pialang informasi.
ü  Etika politik
ü  Etika lingkungan
ü  Etika idiologi adalah filsafat atau pemikiran kritisrasional tentang ajaran moral sedangka moral adalahajaran baik buruk yang diterima umum mengenaiperbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu dikaitkandengan moral serta harus dipahami perbedaan antaraetika dengan moralitas.

2.1.2     Hukum
A.    Definisi
Definisi hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):
ü  Peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah atau otoritas.
ü  undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
ü  patokan (kaidah, ketentuan).
ü  keputusan (pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan, vonis
ü  Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
B.     Bentuk-Bentuk Hukum
1)      Hukum Publik
Hukum publik mengatur hubungan antara warga negara dengan negara yang menyangkut kepentingan umum tertentu yang mempelajari bentuk negara, bentuk pemerintahan, hak-hak asasi warga negara, dan sebagainya.Yang menitikberatkan hal-hal yang bersifat mendasar (fundamental) dari nagara.
ü  Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah serangkaian peraturan hukum yang mengatur bentuk negara, susunan dan tugas-tugas serta hubungan antara alat-alat perlengkapan negara. Hukum Tata Negara hanya khusus menyoroti negara menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat teknis yang dibuat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Hukum Tata Negara.
ü  Hukum Pidana
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan perbuatan mana diancam dengan sangsi pidana tertentu.Bentuk atau jenis pelanggaran dan kejahatan dimuat didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ü  Hukum Acara/hukum formal
Hukum acara/hukum formal merupakan seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk menyelesaikan, melaksanakan, atau mempertahankan Hukum Material. Hukum Acara dibedakan antara Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Dalam Hukum Acara Pidana, diatur tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan penuntutan. Dalam Hukum Acara juga diatur siapa-siapa yang berhak melakukan penyitaan, penyidikan, pengadilan mana yang berwenang mengadili dan sebagainya.Semua itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP),yaitu UU No.8 Tahun 1981.
ü  Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara merupakan seperangkat peraturan yang mengatur cara berkerja alat-alat perlengkapan negara, termasuk cara melakukan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh setiap organ negara dalam melakukan tugasnya. Hukum Administrasi Negara
2)         Hukum Perdata (privat)
Perdata sama artinya dengan warga negara,pribadi,sipil,atau privat.Sumber pokok hukum perdata adalah Burgerlijk wetboek (BW) yang dalam arti luas juga mencakup Hukum Dagang dan Hukum Adat. Jadi Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang kepentingan-kepentingan orang perorangan

C.     Hubungan Antara Etik Dan Hukum
Antara etika dengan hukum terjalin hubungan erat, karena lapangan pembahasan keduanya sama-sama berkisar pada masalah perbuatan manusia. Tujuannya pun sama, yakni mengatur perbuatan manusia demi terwujudnya keserasian, keselarasan, kebahagiaan mereka. Bagaimana seharusnya bertindak, terdapat dalam kaidah-kaidah hukum dan kaidah-kaidah etika. Bedanya ialah jika hukum memberikan putusan hukumnya perbuatan, maka etika memberikan penilaian baik atau buruknya. Putusan hukum ialah menetapkan boleh tidaknya perbuatan itu dilakukan dengan diiringi sangsi-sangsi apa yang bakal diterima oleh pelaku. Penilaian etika apakah perbuatan itu baik dikerjakan yang bakal mengantarkan manusia kepada kebahagiaan, dan menilai apakah itu buruk yang bakal mengantarkan seseorang kepada kehinaan dan penderitaan .
Selain daripada itu terdapat perbedaan dalam luasnya dalam bidang yang dicakup. Ada masalah yang diperkatakan etika, tetapi tidak dicakup oleh hukum. Yang kita maksudkan disini hukum umum yang bersifat sekuler atau hukum wadl’I yang dibuat oleh manusia. Misalnya etika yang memerintahkan berbuat apa saja yang berguna dan melarang apa saja yang merusak, sedangkan hukum sekuler kadang-kadang tidaklah sejauh itu. Misalnya menyantuni fakir miskin dinilai oleh etika sebagai perbuatan yang baik dan terpuji, namun dalam hokum sekuler tiada hukum yang mengharuskan perbuatan itu dan tiada sangsi manakala hal itu ditinggalkan. Akan tetapi dalam hukum Islam yang ruang lingkup pembahasannya lebih lengkap dan sempurna dan sama dengan akhlak. Karena semua perbuatan yang dinilai baik dan buruknya oleh akhlak, telah mendapatkan pula kepastian hukum tertentu. Misalnya, menyingkirkan duri dari jalan raya, etika menilainya sebagai kelakuan yang baik, sedangkan dalam hukum wadl’i tiada arti apa-apa, tiada ganjaran apa-apa. Namun dalam hukum Islam dinyatakan sebagai perbuatan yang dihukumkan, mandub (sunat) yakni, kalau dikerjakan mendapatkan pahala dan kalau tidak dilakukan tidaklah berdosa. Dengan demikian, pertalian antara hukum fiqih Islam dengan etika Islam demikian eratnya dibandingkan dengan hukum sekuler dan etika filsafat. Tiada satupun perbuatan yang dinilai oleh akhlaq, tidak mendapatkan kepastian hukum dalam Islam salah satu dari lima kategori, yaitu : wajib, sunat, mubah, haram dan makruh. Sebaliknya segala perbuatan yang diputuskan hukumnya oleh hukum Islam, etika Islam selalu memberikan penilaian baik dan buruknya. Ini adalah manifestasi dari pada luasnya ruang lingkup hukum Islam yang menghukum segala tingkah laku manusia baik yang lahir maupun yang tersembunyi, salah satu dari lima kategori tersebut. Demikian juga halnya batas segala perbuatan, baik yang lahir maupun yang tersembunyi.

2.2  Aspek Hukum Pada Perawatan Maternitas & Perinatal
1)            Praktik keperawatan & akuntabilitas
Praktek keperawatan di Indonesia sering kali diasumsikan sama dengan praktek kedokteran, baik oleh masyarakat atau perawat itu sendiri. Penyebab utama hal ini adalah kurangnya pengetahuan tentang praktek keperawatan profesional dan seringkali dilatarbelakangi oleh motif ekonomi yang menjadikan praktek tersebut sebagai
lahan bisnis. Upaya untuk tetap dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru merupakan hal yang yang menarik dan menantang. Upaya ini tidak hanya menyangkut pembenahan kualitas praktik keperawatan tetapi juga pembenahan aspek hukum yang melindungi perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan dan masyarakat yang menerima layanan kesehatan.
2)            Definisi Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kemampuan memberi jawaban kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan seseorang/sekelompok orang terhadap masyarakat luas dalam suatu organisasi (Syahrudin Rasul, 2002:8).
Sedangkan menurut UNDP, akuntabilitas adalah evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang akan datang.
Akuntabilitas merupakan konsep yang komplek yang lebih sulit mewujudkannya dari pada memberantas korupsi. Akuntabilitas adalah keharusan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekan pada pertanggungjawaban horizontal (masyarakat) bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (otoritas yang lebih tinggi). (Turner and Hulme, 1997).
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari seseorang atau sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas tertentu kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara horizontal.
3)            Dimensi akuntabilitas
Dimensi akuntabilitas ada 5, yaitu (Syahrudin Rasul, 2002:11):
1)      Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability for probity and legality
Akuntabilitas hukum terkait dengan dilakukannya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan, korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin ditegakkannya supremasi hukum, sedangkan akuntabilitas kejujuran menjamin adanya praktik organisasi yang sehat.
2)      Akuntabilitas manajerial 
Akuntabilitas manajerial yang dapat juga diartikan sebagai akuntabilitas kinerja (performance accountability) adalah pertanggungjawaban untuk melakukan pengelolaan organisasi secara efektif dan efisien.
3)      Akuntabilitas program 
Akuntabilitas program juga berarti bahwa programprogram organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu dan mendukung strategi dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Lembaga publik harus mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan program.
4)       Akuntabilitas kebijakan 
Lembaga-lembaga publik hendaknya dapat mempertanggung jawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu dilakukan.
5)      Akuntabilitas financial 
Akuntabilitas ini merupakan pertanggung jawaban lembagalembaga publik untuk menggunakan dana publik (public money) secara ekonomis, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan dan kebocoran dana, serta korupsi. Akuntabilitas financial ini sangat penting karena menjadi sorotan utama masyarakat. Akuntabilitas ini mengharuskan lembaga-lembaga publikuntuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja financial organisasi kepada pihak luar.

2.3  Pertimbangan Etik Dan Hukum Sebelum Konsepsi
2.3.1  Inseminasi buatan
A.    Definisi inseminasi buatan
Kata inseminasi berasal dari bahasa inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Inseminasi buatan (artificial insemination), dalam bahasa arab dikenal dengan suatu cara atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus).
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari  artificial insemination  yang berarti memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung sel-sel kelamin pria (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi atau penampungan semen. Berdasarkan pengertian tersebut, maka definisi tentang inseminasi buatan  adalah memasukkan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin wanita dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alami.
B.     Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan
1)      Jika benihnya berasal dari Suami Istri
ü  Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
ü  Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hokum ps.255 KUHPer.
ü  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps.1320 dan 1338 KUHPer.)
2)      Jika salah satu benihnya berasal dari donor
ü  Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA.Dasar hokum ps.250 KUHPer.
ü  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps.250 KUHPer.
3)      Jika semua benihnya dari donor
ü  Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
ü  Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.

2.3.2  Fertilisasi invitro dan transfer embrio
A.    Definisi Fertilisasi invitro
Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF) adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus.  Pada kondisi normal, pertemuan ini berlangsung di dalam saluran tuba.  Dalam proses bayi tabung proses ini berlangsung di laboratorium dan dilaksanakan oleh tenaga medis sampai menghasilkan suatu embrio dan di iplementasikkan ke dalam rahim wanita yang mengikuti program bayi tabung tersebut.  Embrio ini juga dapat disimpan dalam bentuk beku (cryopreserved) dan dapat digunakan kelak jika dibutuhkan.  Bayi tabung merupakan pilihan untuk memperoleh keturunan bagi ibu-ibu yang memiliki gangguan pada saluran tubanya.  Pada kondisi normal, sel telur yang telah matang akan dilepaskan oleh indung telur (ovarium) menuju saluran tuba (tuba fallopi) untuk selanjutnya menunggu sel sperma yang akan membuahi sel telur tersebut tersebut.  Dalam bayi tabung proses ini terjadi dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan (embrio) maka segera di iplementasikan ke rahim wanita tersebut dan akan terjadi kehamilan seperti kehamilan normal.






Dari segi tehnik, karena prosedur konsepsi buatan ini sangat menegangkan, tingkat keberhasilannya belum begitu tinggi, dan biayanya sangat mahal, maka pasangan suami istri (pasutri) yang diterima untuk program ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
ü  Telah dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya.
ü  Terdapat indikasi yang sangat jelas.
ü  Memahami seluk beluk prosedur konsepsi buatan secara umum
ü  Mampu membiayai prosedur bayi tabung ini

B.     Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan
1)      Jika benihnya berasal dari Suami Istri
ü  Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
ü  Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hokum ps.255 KUHPer.
ü  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps.1320 dan 1338 KUHPer.)
2)      Jika salah satu benihnya berasal dari donor
ü  Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA.Dasar hokum ps.250 KUHPer.
ü  Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps.250 KUHPer.
3)      Jika semua benihnya dari donor
ü  Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
ü  Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program fertilisasi in vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia. Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur penerapan teknologi fertilisasi in vitro transfer embrio ini pada manusia mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1)      sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoklonal.
2)      sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri

2.3.3  Ibu pengganti
Perkembangan teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri tersebut tidak bisa mengandung.
Praktek surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
1)      hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
2)      dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3)      pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Hal ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal 16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut, terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
2.3.4  Amniosintesis



2.4  Pertimbangan  Etik Dan Hukum Dalam Aborsi
2.4.1  Definisi
Pengertian aborsi menurut : Beberapa kelompok masyarakat yang pro kehidupan mendefinisikan aborsi sebagai sebuah tujuan untuk menghalangi proses perkembangan yang dari waktu ke waktu konsepsi hingga melahirkan.
Pengertian aborsi menurut : Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan bahwa aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu. 
Pengertian aborsi menurut  Ensiklopedia Indonesia  sebagai berikut : ‘Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.’ Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh.

2.4.2  Pertimbangan etik
Menurut etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan  sumpah dokter yang berkaitan dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
Dalam etika profesionalisme, apabila seorang dokter tidak memberanikan dirinya untuk melaksanakan tindakan aborsi, maka dokter tersebut dapat merekomendasikan pelaksanaan aborsi tersebut kepada dokter lain yang jelas kompeten di bidangnya, dengan tetap memantau dan bertanggung jawab atas keselamatan dan perkembangan pasien selanjutnya.

2.4.3  Pertimbangan hokum
Pasal 15 ayat (1) dan (2) UndangUndang Keschatan Nomor 23 Tahun 1992. Ada beberapa hal yang dapat dicermati dari jenis aborsi ini yaitu bahwa temyata aborsi dapat dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis. Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga kesehatan mempunyai hak untuk melakukan aborsi dengan mcnggunakan pertimbangan Demi menyelamatkan ibu hamil atau janinnya.
            Berdasarkan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, tindakan medis (aborsi) sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli.
            Aborsi tersebut dapat dilakukan dengan persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluargnya. Hal tersebut berarti bahwa apabila prosedur tersebut telah terpenuhi maka aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Dengan kata lain vonis medis oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan tindak pidana atau kejahatan.
            Berbeda halnya dengan aborsi yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, aborsi jenis ini disebut dengan aborsi provokatus kriminalis. Artinya bahwa tindakan aborsi seperti ini dikatakan tindakan ilegal atau tidak dapat dibenarkan secara hukum. Tindakan aborsi seperti ini dikatakan sebagai tindakan pidana atau kejahatan.
            Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengkualifikasikan perbuatan aborsi tersebut sebagai kejahatan terhadap nyawa. Agar dapat membahas secara detail dan cermat mengenai aborsi provokatus kriminalis, kiranya perlu diketahui bagaimana konstruksi hukum yang berakitan dengan tindakan aborsi sebagai kejahatan yang ditentukan dalam KUHP. Pasal 346 : "Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
            Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
            Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun . (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.

2.5  Pertimbangan Etik Dan Hukum Untuk Janin, Neonatus Dan Ibu Yang Sakit
2.5.1     Janin yang sakit
2.5.2     Neonatus yang sakit
2.5.3     Ibu yang sakit
2.5.4     Tanggung jawab perawat
Tanggung jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik.
A.    Tanggung jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
ü  Senantiasa berpedoman kepada adanya kebutuhan keperawatan individu, keluarga dan masyarakat.
ü  Dilakukan dengan tetap menjaga suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai yang dianut oleh individu, keluarga dan masyarakat
ü  Dilaksanakan dengan iktikad baik dan ikhlas
ü  Bekerja sama dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam upaya kesehatan
B.     Tanggung jawab perawat terhadap tugas
ü  Menjaga mutu pelayanan keperawatan
ü  Menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya
ü  Tidak menyalahgunakan ilmu pengetahuan dan keterampilannya
ü  Tidak terpengaruh oleh perbedaan suku, agama, ras dan adat istiadat
ü  Mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien, juga dalam hal terjadi pengalihan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
C.     Tanggung jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain.
Perawat dengan sesama perawat dan tenaga kesehatan lain harus selalu memelihara hubungan baik dan bersikap terbuka dalam bidang pengetahuan keperawatan.
D.    Tanggung jawab perawat terhadap profesi keperawatan
Perawat sebagai profesi harus mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan :
ü  Senantiasa menambah ilmu, keterampilan dan pengalaman dalam upaya meningkatkan kemampuan professional
ü  Menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan
ü  Berperan dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan dan mengimplementasikannya dalam pelayanan dan pendidikan keperawatan.
ü  Memelihara mutu organisasi
E.     Tanggung jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air
ü  Melaksanakan kebiksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
ü  Berperan aktif menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan dan perawatan kepada masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh praptianingsih (2007), penggunaan tanggung jawab dalam kode etik perawat memberikan beban yang tidak proporsional bagi perawat. Meskipun perawat telah memberikan asuhan keperawatan dengan baik, sesuai dengan standar profesi dan standar asuhan keperawatan, tetapi apabila pasien merasa tidak puas atas pelayanan keperawatan yang diterimanya, perawat berdasarkan kode etik keperawatan berkewajiban untuk menanggungnya. Dalam konteks hokum, tanggung jawab merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan, sedangkan kewajiban merupakan keharusan bagi seseorang. Apabila dalam kode etik ditentukan tentang kewajiban perawat, sepanjang perawat telah melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi dan standar asuhan keperawatan, apapun hasilnya, yang bersangkutan terbebas dari kewajiban memikul tanggung jawab dan tanggung gugat.


BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
v  Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
v  Hukum merupakan peraturan-peraturan hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
v  Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia
v  bayi tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
v  Menurut etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan  sumpah dokter yang berkaitan dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
v  Aborsi dapat dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis
v  Tanggung jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-tugas yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik.
v  Dalam konteks hukum, tanggung jawab merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan, sedangkan kewajiban merupakan keharusan bagi seseorang.

3.2  Saran
Kesadaran perawat akan pentingnya mempelajari hukum, sangat diperlukan. Tidak hanya untuk perlindungan untuk perawat itu sendiri dalam melaksanakan tugas, akan tetapi juga masyarakat pada umunya. Perawat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan koridor hokum, akan menjamin keamanan dalam bidang hokum bagi perawat dan juga pasien. Penting untuk perawat melaksanakan tugasnya sesuai dengan etika keperawatan, mengetahuai hak dan kewajiban, peran dan fungsi, tanggung jawab dan tanggung gugat.
Hendaknya mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujud nyatakan peran perawat yang legal etis dalam pengambilan keputusan dalam konteks etika keperawatan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;