BAB 1
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Asuhan keperawatan maternitas dan perinatal sering menimbulkan lebih
banyak pertanyaan etik dan hukum kepada
perawat dibandingkan area asuhan keperawatan lain. Perawat maternitas dan
perinatal memerikan pelayanan dan keperawatan yang luas untuk klien diberbagai
lingkungan praktik yang berbeda. Perawat ini dihadapkan dengan isu seputar
kelahiran, kehidupan, kematian dan kemampuan untuk menjalani kehidupan sehari-
hari. Hal yang penting dalam isu ini adalah keterlibatan dua klien, ibu dan
janin atau bayi baru lahir.
Bab ini membicarakan tentang pertimbangan etik dan hukum dalam asuhan
keperawatan maternitas dan perinatal. Sebagai dasar diskusi ini, tinjauan etik,
hukum, akuntanbilitas keperawatan dijelaskan. Dijelaskan juga, informasi
spesifik seputar isu etik dan hukum sebelum konsepsi, aborsi dan keperawatan
janin, neonatus yang sakit dan ibu.
Perawat profesional harus menghadapi
tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari
hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran,
hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan
perhatian terhadap etik.
Standart perilaku perawat ditetapkan
dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional,
dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik
dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien,
profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung
jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien.
Keperawatan sebagai suatu profesi
harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu
berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka
mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka
lakukan.
Secara umum terdapat dua alasan
terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya.
Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat
yang dilakukan konsisten dengan prinsip-prinsip hukum. Kedua, untuk melindungi
perawat dari liabilitas.
Untuk itu, dalam makalah ini akan
dibahas tentang etik dan hukum dalam keperawatan.
1.2 TUJUAN
1.2.1
Tujuan Umum
Adapun
tujuan umum dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui pertimbangan etik
dan hukum dalam keperawatan khususnya keperawatan maternitas.
1.2.2
Tujuan Khusus
Tujuan
khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
ü Definisi
etik,
ü Definisi
hukum,
ü Hubungan
antara etik dan hukum,
ü Aspek
hukum pada perawatan maternitas dan perinatal,
ü Pertimbangan
etik dan hokum sebelum konsepsi,
ü Pertimbangan
etik dan hokum dalam aborsi,
ü Pertimbangan
etik dan hokum untuk janin, neonatus dan ibu yang sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJAUAN ETIK DAN HUKUM
2.1.1 ETIK
A. Definisi
Etika
berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/
kebiasaan yang baik. Etika sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang
buruk,tentang hak dan kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1995) Etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
atau masyarakat.
Sedangkan
menurut Maryani & Ludigdo (2001) “Etika adalah seperangkat aturan atau
norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan
maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan
masyarakat atau profesi”
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis
dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita
rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan
pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu
apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis,
tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika
memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.
Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika
adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang
meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif.
Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
B. Fungsi Etika
1) Sarana untuk memperoleh orientasi
kritis berhadapan dengan berbagai moralitas yang membingungkan.
2) Etika ingin menampilkanketrampilan
intelektual yaituketrampilan untuk berargumentasi secara rasional dan kritis.
3) Orientasi etis ini diperlukan dalam
mengabil sikapyang wajar dalam suasana pluralism
C. Macam-Macam Etika
1) ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang
berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh
manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika Deskriptif memberikan fakta sebagai
dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.
2) ETIKA
NORMATIF, yaitu etika yang mengajarkan berbagai sikap dan pola prilaku
ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Etika Normatif juga memberi penilaian sekaligus memberi
norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan dilakukan.
Secara umum etika dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1) Etika Umum, mengajarkan
tentang kondisi-kondisi & dasar-dasar bagaimana seharusnya manusia bertindak secara etis,
bagaimana pula
manusia bersikap
etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan
bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika umum dapat pula
dianalogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan
teori-teori etika.
2) Etika
Khusus, merupakan penerapan
prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan. Penerapan ini bisa berwujud
: Bagaimana seseorang bersikap dan bertindak dalam kehidupannya dan kegiatan profesi khusus yang dilandasi
dengan etika moral.
Namun, penerapan itu dapat juga berwujud
Bagaimana manusia bersikap atau melakukan tindakan dalam kehidupan
terhadap sesama. Etika Khusus dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
A. Etika
individual, yaitu menyangkut
kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
B. Etika
sosial, yaitu mengenai sikap dan kewajiban, serta pola perilaku manusia sebagai
anggota bermasyarakat. Etika sosial meliputi banyak bidang, antara lain :
ü Sikap terhadap sesama
ü Etika keluarga
ü Etika profesi misalnya etika untuk
pustakawan, arsiparis,dokumentalis, pialang informasi.
ü Etika politik
ü Etika lingkungan
ü Etika idiologi adalah filsafat atau
pemikiran kritisrasional tentang ajaran moral sedangka moral adalahajaran baik
buruk yang diterima umum mengenaiperbuatan, sikap, kewajiban dsb. Etika selalu
dikaitkandengan moral serta harus dipahami perbedaan antaraetika dengan
moralitas.
2.1.2 Hukum
A. Definisi
Definisi
hukum menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997):
ü Peraturan atau adat,
yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah
atau otoritas.
ü undang-undang, peraturan dan
sebagainya untuk mengatur kehidupan masyarakat.
ü patokan (kaidah, ketentuan).
ü Hukum merupakan peraturan-peraturan
hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib
dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa hukuman) terhadap
siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
B. Bentuk-Bentuk
Hukum
1) Hukum Publik
Hukum
publik mengatur hubungan antara warga negara dengan negara yang menyangkut
kepentingan umum tertentu yang mempelajari bentuk negara, bentuk pemerintahan,
hak-hak asasi warga negara, dan sebagainya.Yang menitikberatkan hal-hal yang
bersifat mendasar (fundamental) dari nagara.
ü Hukum Tata Negara
Hukum
tata negara adalah serangkaian peraturan hukum yang mengatur bentuk negara,
susunan dan tugas-tugas serta hubungan antara alat-alat perlengkapan negara.
Hukum Tata Negara hanya khusus menyoroti negara menitikberatkan pada hal-hal
yang bersifat teknis yang dibuat berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Hukum
Tata Negara.
ü Hukum Pidana
Hukum
Pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum dan perbuatan mana diancam dengan
sangsi pidana tertentu.Bentuk atau jenis pelanggaran dan kejahatan dimuat
didalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ü Hukum Acara/hukum formal
Hukum
acara/hukum formal merupakan seperangkat aturan yang berisi tata cara untuk
menyelesaikan, melaksanakan, atau mempertahankan Hukum Material. Hukum Acara
dibedakan antara Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Dalam Hukum Acara
Pidana, diatur tata cara penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan
penuntutan. Dalam Hukum Acara juga diatur siapa-siapa yang berhak melakukan penyitaan,
penyidikan, pengadilan mana yang berwenang mengadili dan sebagainya.Semua itu
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP),yaitu UU No.8 Tahun
1981.
ü Hukum Administrasi Negara
Hukum
administrasi negara merupakan seperangkat peraturan yang mengatur cara berkerja
alat-alat perlengkapan negara, termasuk cara melakukan kekuasaan dan wewenang
yang dimiliki oleh setiap organ negara dalam melakukan tugasnya. Hukum
Administrasi Negara
2)
Hukum Perdata
(privat)
Perdata sama
artinya dengan warga negara,pribadi,sipil,atau privat.Sumber pokok hukum
perdata adalah Burgerlijk wetboek (BW) yang dalam arti luas juga mencakup Hukum
Dagang dan Hukum Adat. Jadi Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur tentang
kepentingan-kepentingan orang perorangan
C. Hubungan
Antara Etik Dan Hukum
Antara etika dengan hukum terjalin hubungan erat,
karena lapangan pembahasan keduanya sama-sama berkisar pada masalah perbuatan
manusia. Tujuannya pun sama, yakni mengatur perbuatan manusia demi terwujudnya
keserasian, keselarasan, kebahagiaan mereka. Bagaimana seharusnya bertindak,
terdapat dalam kaidah-kaidah hukum dan kaidah-kaidah etika. Bedanya ialah jika
hukum memberikan putusan hukumnya perbuatan, maka etika memberikan penilaian
baik atau buruknya. Putusan hukum ialah menetapkan boleh tidaknya perbuatan itu
dilakukan dengan diiringi sangsi-sangsi apa yang bakal diterima oleh pelaku.
Penilaian etika apakah perbuatan itu baik dikerjakan yang bakal mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan, dan menilai apakah itu buruk yang bakal
mengantarkan seseorang kepada kehinaan dan penderitaan .
Selain daripada itu terdapat perbedaan dalam luasnya
dalam bidang yang dicakup. Ada masalah yang diperkatakan etika, tetapi tidak
dicakup oleh hukum. Yang kita maksudkan disini hukum umum yang bersifat sekuler
atau hukum wadl’I yang dibuat oleh manusia. Misalnya etika yang memerintahkan
berbuat apa saja yang berguna dan melarang apa saja yang merusak, sedangkan hukum
sekuler kadang-kadang tidaklah sejauh itu. Misalnya menyantuni fakir miskin
dinilai oleh etika sebagai perbuatan yang baik dan terpuji, namun dalam hokum
sekuler tiada hukum yang mengharuskan perbuatan itu dan tiada sangsi manakala
hal itu ditinggalkan. Akan tetapi dalam hukum Islam yang ruang lingkup
pembahasannya lebih lengkap dan sempurna dan sama dengan akhlak. Karena semua
perbuatan yang dinilai baik dan buruknya oleh akhlak, telah mendapatkan pula
kepastian hukum tertentu. Misalnya, menyingkirkan duri dari jalan raya, etika
menilainya sebagai kelakuan yang baik, sedangkan dalam hukum wadl’i tiada arti
apa-apa, tiada ganjaran apa-apa. Namun dalam hukum Islam dinyatakan sebagai
perbuatan yang dihukumkan, mandub (sunat) yakni, kalau dikerjakan mendapatkan
pahala dan kalau tidak dilakukan tidaklah berdosa. Dengan demikian, pertalian
antara hukum fiqih Islam dengan etika Islam demikian eratnya dibandingkan
dengan hukum sekuler dan etika filsafat. Tiada satupun perbuatan yang dinilai
oleh akhlaq, tidak mendapatkan kepastian hukum dalam Islam salah satu dari lima
kategori, yaitu : wajib, sunat, mubah, haram dan makruh. Sebaliknya segala
perbuatan yang diputuskan hukumnya oleh hukum Islam, etika Islam selalu
memberikan penilaian baik dan buruknya. Ini adalah manifestasi dari pada
luasnya ruang lingkup hukum Islam yang menghukum segala tingkah laku manusia
baik yang lahir maupun yang tersembunyi, salah satu dari lima kategori
tersebut. Demikian juga halnya batas segala perbuatan, baik yang lahir maupun
yang tersembunyi.
2.2 Aspek Hukum Pada Perawatan
Maternitas & Perinatal
1)
Praktik keperawatan & akuntabilitas
Praktek keperawatan di Indonesia sering kali
diasumsikan sama dengan praktek kedokteran, baik oleh masyarakat atau perawat
itu sendiri. Penyebab utama hal ini adalah kurangnya pengetahuan tentang
praktek keperawatan profesional dan seringkali dilatarbelakangi oleh motif
ekonomi yang menjadikan praktek tersebut sebagai
lahan bisnis. Upaya untuk tetap dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru merupakan hal yang yang menarik dan menantang. Upaya ini tidak hanya menyangkut pembenahan kualitas praktik keperawatan tetapi juga pembenahan aspek hukum yang melindungi perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan dan masyarakat yang menerima layanan kesehatan.
lahan bisnis. Upaya untuk tetap dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan baru merupakan hal yang yang menarik dan menantang. Upaya ini tidak hanya menyangkut pembenahan kualitas praktik keperawatan tetapi juga pembenahan aspek hukum yang melindungi perawat sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan dan masyarakat yang menerima layanan kesehatan.
2)
Definisi Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kemampuan memberi jawaban
kepada otoritas yang lebih tinggi atas tindakan seseorang/sekelompok orang
terhadap masyarakat luas dalam suatu organisasi (Syahrudin Rasul, 2002:8).
Sedangkan menurut UNDP, akuntabilitas adalah
evaluasi terhadap proses pelaksanaan kegiatan/kinerja organisasi untuk dapat
dipertanggungjawabkan serta sebagai umpan balik bagi pimpinan organisasi untuk
dapat lebih meningkatkan kinerja organisasi pada masa yang akan datang.
Akuntabilitas merupakan konsep yang komplek yang
lebih sulit mewujudkannya dari pada memberantas korupsi. Akuntabilitas adalah
keharusan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekan pada
pertanggungjawaban horizontal (masyarakat) bukan hanya pertanggungjawaban
vertikal (otoritas yang lebih tinggi). (Turner and Hulme, 1997).
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban dari
seseorang atau sekelompok orang yang diberi amanat untuk menjalankan tugas
tertentu kepada pihak pemberi amanat baik secara vertikal maupun secara
horizontal.
3)
Dimensi akuntabilitas
Dimensi akuntabilitas ada 5, yaitu (Syahrudin Rasul,
2002:11):
1)
Akuntabilitas hukum dan kejujuran (accuntability
for probity and legality)
Akuntabilitas hukum terkait dengan dilakukannya kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam organisasi, sedangkan
akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan,
korupsi dan kolusi. Akuntabilitas hukum menjamin ditegakkannya supremasi hukum,
sedangkan akuntabilitas kejujuran menjamin adanya praktik organisasi yang
sehat.
2)
Akuntabilitas manajerial
Akuntabilitas manajerial yang dapat juga diartikan sebagai
akuntabilitas kinerja (performance accountability) adalah
pertanggungjawaban untuk melakukan pengelolaan organisasi secara efektif dan
efisien.
3)
Akuntabilitas program
Akuntabilitas program juga berarti bahwa programprogram
organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu dan mendukung strategi
dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Lembaga publik harus
mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan
program.
4)
Akuntabilitas kebijakan
Lembaga-lembaga publik hendaknya dapat mempertanggung jawabkan
kebijakan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan dampak dimasa depan.
Dalam membuat kebijakan harus dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut,
mengapa kebijakan itu dilakukan.
5)
Akuntabilitas financial
Akuntabilitas ini merupakan pertanggung jawaban
lembagalembaga publik untuk menggunakan dana publik (public money)
secara ekonomis, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan dan kebocoran dana,
serta korupsi. Akuntabilitas financial ini sangat penting karena menjadi
sorotan utama masyarakat. Akuntabilitas ini mengharuskan lembaga-lembaga
publikuntuk membuat laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja financial
organisasi kepada pihak luar.
2.3 Pertimbangan Etik Dan Hukum Sebelum
Konsepsi
2.3.1 Inseminasi
buatan
A. Definisi
inseminasi buatan
Kata inseminasi berasal dari bahasa inggris “insemination” yang artinya
pembuahan atau penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Inseminasi
buatan (artificial insemination), dalam bahasa arab dikenal dengan suatu cara
atau teknik memperoleh kehamilan tanpa melalui persetubuhan (coitus).
Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari
artificial insemination
yang berarti memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung
sel-sel kelamin pria (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu
terjadi kopulasi atau penampungan semen. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
definisi tentang inseminasi buatan adalah
memasukkan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin wanita dengan
menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alami.
B. Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap
Inseminasi Buatan
1) Jika benihnya berasal dari Suami Istri
ü Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri
maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai
anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki
hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
ü Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di
saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300
hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun
jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hokum ps.255 KUHPer.
ü Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan
penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No.
1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal
anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan
tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan
perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps.1320
dan 1338 KUHPer.)
2) Jika salah satu benihnya berasal dari donor
ü Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel
telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan
setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang
dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes
golongan darah atau tes DNA.Dasar hokum ps.250 KUHPer.
ü Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps.250 KUHPer.
3) Jika semua benihnya dari donor
ü Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang
tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh
seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
ü Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak
tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak
terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula
anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur
berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai
anaknya.
2.3.2 Fertilisasi
invitro dan transfer embrio
A. Definisi
Fertilisasi invitro
Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran
disebut In Vitro Fertilization (IVF) adalah suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel sperma
dan sel telur dalam suatu wadah khusus. Pada kondisi normal, pertemuan
ini berlangsung di dalam saluran tuba. Dalam proses bayi tabung proses
ini berlangsung di laboratorium dan dilaksanakan oleh tenaga medis sampai
menghasilkan suatu embrio dan di iplementasikkan ke dalam rahim wanita yang
mengikuti program bayi tabung tersebut. Embrio ini juga dapat disimpan
dalam bentuk beku (cryopreserved) dan dapat digunakan kelak jika
dibutuhkan. Bayi tabung merupakan pilihan untuk memperoleh keturunan bagi
ibu-ibu yang memiliki gangguan pada saluran tubanya. Pada kondisi normal,
sel telur yang telah matang akan dilepaskan oleh indung telur (ovarium) menuju
saluran tuba (tuba fallopi) untuk selanjutnya menunggu sel sperma yang akan
membuahi sel telur tersebut tersebut. Dalam bayi tabung proses ini
terjadi dalam tabung dan setelah terjadi pembuahan (embrio) maka segera di
iplementasikan ke rahim wanita tersebut dan akan terjadi kehamilan seperti
kehamilan normal.
Dari segi tehnik, karena prosedur
konsepsi buatan ini sangat menegangkan, tingkat keberhasilannya belum begitu
tinggi, dan biayanya sangat mahal, maka pasangan suami istri (pasutri) yang
diterima untuk program ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
ü Telah
dilakukan pengelolaan infertilitas selengkapnya.
ü Terdapat
indikasi yang sangat jelas.
ü Memahami
seluk beluk prosedur konsepsi buatan secara umum
ü Mampu
membiayai prosedur bayi tabung ini
B. Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap
Inseminasi Buatan
1) Jika benihnya berasal dari Suami Istri
ü Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri
maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai
anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki
hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
ü Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di
saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300
hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun
jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami
ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami
ibunya. Dasar hokum ps.255 KUHPer.
ü Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan
penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No.
1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat
menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau
dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan
tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai
dengan ps.1320 dan 1338 KUHPer.)
2) Jika salah satu benihnya berasal dari donor
ü Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel
telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan
setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang
dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes
golongan darah atau tes DNA.Dasar hokum ps.250 KUHPer.
ü Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps.250 KUHPer.
3) Jika semua benihnya dari donor
ü Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang
tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh
seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
ü Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak
tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak
terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula
anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur
berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari
tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia terhadap kemungkinan
yang terjadi dalam program fertilisasi in vitro transfer embrio ditemukan
beberapa kaidah hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat meng-cover
kebutuhan yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada
khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan kelebihan
embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya. Secara khusus, permasalahan
mengenai inseminasi buatan dengan bahan inseminasi berasal dari orang yang
sudah meninggal dunia, hingga saat ini belum ada penyelesaiannya di Indonesia.
Perlu segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur
penerapan teknologi fertilisasi in vitro transfer embrio ini pada manusia
mengenai hal-hal apakah yang dapat dibenarkan dan hal-hal apakah yang dilarang
Etika
Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut
di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil
Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada
hakekatnya menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan
serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya
kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar
ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :
1) sel atau jaringan dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan zat antigen monoklonal.
2) sel atau jaringan hewan untuk
penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri
sendiri
2.3.3 Ibu
pengganti
Perkembangan
teknologi di bidang kedokteran, telah menemukan metode baru yaitu inseminasi
buatan yang dikenal dengan sebutan in vitro fertilization (program
bayi tabung). Teknologi kedokteran ini ditemukan pada tahun 1970-an yang
dikembangkan dengan tujuan untuk mengatasi masalah bagi pasangan suami istri
yang tidak bisa mendapatkan keturunan (mandul). Sejalan dengan pembuahan in
virto fertilization (IVF) yang semakin pesat, muncul ide surrogate
mother (ibu pengganti/sewa rahim/gestational agreement) yaitu
wanita yang bersedia disewa rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung,
melahirkan, dan menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi
kepada pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri
tersebut tidak bisa mengandung.
Praktek
surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia
dengan ibu pengganti/sewa rahim tergolong metode atau upaya kehamilan di luar
cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit
tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU
Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat
dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
1) hasil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam
rahim istri dari mana ovum berasal;
2) dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu;
3) pada
fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Hal
ini berarti bahwa metode atau kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur
dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti (surrogate mother), secara
hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Larangan ini juga termuat dalam pasal
16 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama), yang menegaskan bahwa
kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
: 73/Menkes/Per/II/1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi
Buatan : Pasal 4, juga menegaskan bahwa pelayanan teknologi reproduksi buatan
hanya dapat diberikan kepada pasangan suami istri yang terikat perkawinan yang
sah dan sebagai upaya terakhir untuk memperoleh keturunan serta berdasarkan
suatu indikasi medik. Dari kedua peraturan perundang-undangan tersebut,
terdapat kesamaan yang menegaskan bahwa bayi tabung yang diperbolehkan hanya
kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel
telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri
bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi masyarakat yang hendak melakukannya
(surrogate mother), diancam sangsi pidana (pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal
ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari
pasangan suami isteri tersebut.
2.3.4 Amniosintesis
2.4 Pertimbangan Etik Dan Hukum Dalam Aborsi
2.4.1 Definisi
Pengertian
aborsi menurut : Beberapa kelompok masyarakat yang pro kehidupan mendefinisikan
aborsi sebagai sebuah tujuan untuk menghalangi proses perkembangan yang dari
waktu ke waktu konsepsi hingga melahirkan.
Pengertian aborsi menurut :
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan bahwa aborsi sebagai
penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang
dari 22 minggu.
Pengertian aborsi menurut Ensiklopedia Indonesia sebagai berikut : ‘Pengakhiran kehamilan
sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.’
Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia
kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi
merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan
untuk bertumbuh.
2.4.2 Pertimbangan
etik
Menurut
etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun
karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan sumpah dokter yang
berkaitan dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika
kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati
nurani masing-masing dokter.
Dalam etika profesionalisme, apabila
seorang dokter tidak memberanikan dirinya untuk melaksanakan tindakan aborsi,
maka dokter tersebut dapat merekomendasikan pelaksanaan aborsi tersebut kepada
dokter lain yang jelas kompeten di bidangnya, dengan tetap memantau dan
bertanggung jawab atas keselamatan dan perkembangan pasien selanjutnya.
2.4.3 Pertimbangan
hokum
Pasal
15 ayat (1) dan (2) UndangUndang Keschatan Nomor 23 Tahun 1992. Ada beberapa
hal yang dapat dicermati dari jenis aborsi ini yaitu bahwa temyata aborsi dapat
dibenarkan sccara hukum apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis.
Dalam hal ini berarti dokter atau tenaga kesehatan mempunyai hak untuk
melakukan aborsi dengan mcnggunakan pertimbangan Demi menyelamatkan ibu hamil
atau janinnya.
Berdasarkan pasal 15 ayat (2)
Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992, tindakan medis (aborsi) sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan
sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli.
Aborsi tersebut dapat dilakukan
dengan persetujuan dari ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluargnya.
Hal tersebut berarti bahwa apabila prosedur tersebut telah terpenuhi maka
aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi
secara hukum. Dengan kata lain vonis medis oleh tenaga kesehatan terhadap hak
reproduksi perempuan bukan merupakan tindak pidana atau kejahatan.
Berbeda halnya dengan aborsi yang
dilakukan tanpa adanya pertimbangan medis sebagaimana yang ditentukan dalam
pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992, aborsi
jenis ini disebut dengan aborsi provokatus kriminalis. Artinya bahwa tindakan
aborsi seperti ini dikatakan tindakan ilegal atau tidak dapat dibenarkan secara
hukum. Tindakan aborsi seperti ini dikatakan sebagai tindakan pidana atau
kejahatan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) mengkualifikasikan perbuatan aborsi tersebut sebagai kejahatan terhadap
nyawa. Agar dapat membahas secara detail dan cermat mengenai aborsi provokatus
kriminalis, kiranya perlu diketahui bagaimana konstruksi hukum yang berakitan
dengan tindakan aborsi sebagai kejahatan yang ditentukan dalam KUHP. Pasal 346
: "Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.”
Pasal 347 : (1) Barang siapa dengan
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan
sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun .
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal
349 : Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
2.5 Pertimbangan Etik Dan Hukum Untuk
Janin, Neonatus Dan Ibu Yang Sakit
2.5.1
Janin yang sakit
2.5.2
Neonatus yang sakit
2.5.3
Ibu yang sakit
2.5.4
Tanggung jawab perawat
Tanggung
jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-tugas
yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam
pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik.
A. Tanggung
jawab perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
ü Senantiasa
berpedoman kepada adanya kebutuhan keperawatan individu, keluarga dan
masyarakat.
ü Dilakukan
dengan tetap menjaga suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai yang
dianut oleh individu, keluarga dan masyarakat
ü Dilaksanakan
dengan iktikad baik dan ikhlas
ü Bekerja
sama dengan individu, keluarga dan masyarakat dalam upaya kesehatan
B. Tanggung
jawab perawat terhadap tugas
ü Menjaga
mutu pelayanan keperawatan
ü Menjaga
rahasia yang dipercayakan kepadanya
ü Tidak
menyalahgunakan ilmu pengetahuan dan keterampilannya
ü Tidak
terpengaruh oleh perbedaan suku, agama, ras dan adat istiadat
ü Mengutamakan
perlindungan dan keselamatan pasien, juga dalam hal terjadi pengalihan tugas
yang menjadi tanggung jawabnya.
C. Tanggung
jawab perawat terhadap sesama perawat dan profesi kesehatan lain.
Perawat
dengan sesama perawat dan tenaga kesehatan lain harus selalu memelihara
hubungan baik dan bersikap terbuka dalam bidang pengetahuan keperawatan.
D. Tanggung
jawab perawat terhadap profesi keperawatan
Perawat
sebagai profesi harus mampu mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang
terus meningkat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan :
ü Senantiasa
menambah ilmu, keterampilan dan pengalaman dalam upaya meningkatkan kemampuan
professional
ü Menjunjung
tinggi nama baik profesi keperawatan
ü Berperan
dalam menentukan pembakuan pendidikan dan pelayanan dan mengimplementasikannya
dalam pelayanan dan pendidikan keperawatan.
ü Memelihara
mutu organisasi
E. Tanggung
jawab perawat terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air
ü Melaksanakan
kebiksanaan yang telah ditetapkan oleh pemerintah
ü Berperan
aktif menyumbangkan pikiran kepada pemerintah dalam upaya meningkatkan
pelayanan kesehatan dan perawatan kepada masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh praptianingsih (2007), penggunaan tanggung jawab dalam kode etik perawat
memberikan beban yang tidak proporsional bagi perawat. Meskipun perawat telah
memberikan asuhan keperawatan dengan baik, sesuai dengan standar profesi dan
standar asuhan keperawatan, tetapi apabila pasien merasa tidak puas atas
pelayanan keperawatan yang diterimanya, perawat berdasarkan kode etik
keperawatan berkewajiban untuk menanggungnya. Dalam konteks hokum, tanggung
jawab merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan, sedangkan kewajiban
merupakan keharusan bagi seseorang. Apabila dalam kode etik ditentukan tentang
kewajiban perawat, sepanjang perawat telah melakukan pekerjaannya dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi dan standar asuhan keperawatan,
apapun hasilnya, yang bersangkutan terbebas dari kewajiban memikul tanggung
jawab dan tanggung gugat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
v Etika berasal dari bahasa Yunani
Kuno yaitu ‘ethos’ yang berarti adat istiadat/ kebiasaan yang baik. Etika
sendiri adalah Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk,tentang hak dan
kewajiban moral. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) Etika adalah nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
v Hukum merupakan peraturan-peraturan
hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang supaya mentaati tata tertib
dalam masyarakat serta memberikan sangsi yang tegas (berupa hukuman) terhadap
siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
v Etika Teknologi Reproduksi Buatan
belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Tetapi dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan
khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III,
April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya menolak kloning pada
manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia
v bayi
tabung yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu
menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian
embrionya ditanam dalam rahim isteri bukan wanita lain atau menyewa rahim. Bagi
masyarakat yang hendak melakukannya (surrogate mother), diancam sangsi pidana
(pasal 82 UU No. 23 Tahun 1992). Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak
tersebut sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
v Menurut etika kedokteran, setiap
dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun karena masih terdapat pertentangan
maksud pasal dan sumpah dokter yang berkaitan dengan waktu dimulainya
suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam
kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter.
v Aborsi dapat dibenarkan sccara hukum
apabila dilakukan dengan adanya pertimbangan medis
v Tanggung
jawab (responsibility) merupakan penerapan ketentuan hukum terhadap tugas-tugas
yang berhubungan dengan peran tertentu dari perawat, agar tetap kompeten dalam
pengetahuan, sikap dan bekerja sesuai kode etik.
v Dalam
konteks hukum, tanggung jawab merupakan konsekwensi dari sebuah perbuatan,
sedangkan kewajiban merupakan keharusan bagi seseorang.
3.2 Saran
Kesadaran
perawat akan pentingnya mempelajari hukum, sangat diperlukan. Tidak hanya untuk
perlindungan untuk perawat itu sendiri dalam melaksanakan tugas, akan tetapi
juga masyarakat pada umunya. Perawat yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan
koridor hokum, akan menjamin keamanan dalam bidang hokum bagi perawat dan juga
pasien. Penting untuk perawat melaksanakan tugasnya sesuai dengan etika
keperawatan, mengetahuai hak dan kewajiban, peran dan fungsi, tanggung jawab
dan tanggung gugat.
Hendaknya
mahasiswa dapat benar-benar memahami dan mewujud nyatakan peran perawat yang
legal etis dalam pengambilan keputusan dalam konteks etika keperawatan.
0 komentar:
Posting Komentar